-- Asarpin*
SATU bulan sudah tahun baru 2008 lewat. Tahun baru 2009 nanti dua tarikh Masehi dan Hijriyah dipertemukan Tuhan setelah lama bersimpangan jalan. Sementara kita nyaris tidak meniatkan perubahan apa-apa. Betapa kering tulisan kita akhir-akhir ini. Ratusan bahkan ribuan puisi lahir setiap tahun, tapi nyaris tidak memberi keunikan.
Likuran buku analekta cerita pendek setiap tahun diterbitkan, tapi tidak memberi kita harga pada strategi bertutur yang mengasyikkan. Puluhan buku novel dipasarkan, tapi tidak memberi kemaknaan pada novelty sebagai bukti adanya kebudayaan. Esai dan kritik sastra lebih menyerupai kerja kalangan dokter yang gemar melakukan autopsi terhadap pasiennya. Seni panggung dari teater hingga tari, performance art a,i,u hingga seni instalasi, hanya tak-tik-tong kelamai jagung dengan tara gundah-gundah bukan gula-gulana apalagi guna-guna.
Tidak ada hasrat bercerita ria, main-main, menampilkan lelucon yang menampik dan menggada kesadaran imaji kita saat membacanya. Saya shock, kata teman saya, Sihabudin, dari Yogyakarta yang baru menjejakkan kakinya di Lampung sebagai dosen Unila di Bandar Lampung ini, semua orang dari suku apa pun begitu serius dalam bergaul. Ya, kita tidak punya budaya plesetan, atau improvisasi dengan cara mengaduk-aduk, menyanding, merebut, membikin kelainan, membuat ketaksaan, apalagi kegilaan. Semua membelalakkan mata pada gaya kemodernan dengan alasan kemajuan, dengan dalih kekinian, dengan dalil dan teori mutakhir. Kalaupun ada cerita paling-paling hanya menampilkan ide esensial yang lumrah. Kalaupun tampak menyerupai esai dan kritik sastra, paling banter menyuguhkan pengetahuan postfactum jadi-jadian, ide pembacaan pastiche yang juga dilanjutkan dengan strategi pastiche sebagai pernyataan perang atau memerangi pengarang. Tidak ada perlawanan, apalagi ajakan untuk melakukan "perang kode" atau "memerangi kode" yang telah menghegemoni kesadaran masyarakat sastra.
Gaya penulisan prosa lebih sebagai monolog batin sendiri, dan kalau pun ada dialog, maka tokoh jadi bulan-bulanan dan pemerasan biografi. Menolak dianggap sebagai cerita biografis tapi memeras dan memiuh biografi keluarga, konon akan melahirkan ketaksaan, kelincahan, subversif, obviatif (pesona keempat) yang sebelumnya telah ditunjukkan dalam pesona ketiga dengan bahasa pengucapan yang khusus, dan entah frasa semacam apa lagi. Menampik embik kambing dan salak anjing, tapi tidak mampu menyudu karung goni berisi cerita aneka warna dengan motif kakerlak, gertak sambel, apalagi mengertak-ngertakkan kata.
Maka, jadilah prosa kita melompat-lompat tapi tidak kesurupan, itu mah namanya keranjingan, apalagi menampilkan gaya dissonansi warna, melukis dengan kata-kata. Wuh, kalian hanya mendaraskan keinginan pulang dengan lirikus yang belum sempat menambatkan hati di tempat yang baru tapi tidak cukup mencintai tempat asal. Telanjur ingin melupakan kampung halaman tapi gagal menambatkan hati di tempat yang baru. Atau berbalik: berhasrat mencampakkan kekotaan (cityness?) tapi kedesaan tidak tergarap, dan ruang antara tidak menghasilkan kebuncahan terhadap kata.
Kembalilah merebut gaya tutur nenek poyang kita agar kalian pandai menutur dan bertutur. Mengapa harus terus-terusan memasang masker untuk menutupi kemaluan kembali ke masa lalu, dan terus bersembunyi di balik tirai bahasa mancanegara yang awut-awutan. Tuturkan kisah-kisah lama yang diwariskan dari cerita nina bobok emak kalian yang mengendap dalam memori bawah sadar dan akal-budi tubuh kalian. Dengarkan lantunan "dang haku dang haku dang lagi ngajak lidang kantu kundang tanjukh ujungni, tandang midang mak jelas akhungni" atau "pung apung mengapung kelapa kupung geruling jak gunung, meranai Lampung dang biasa buhung nanti muli lamon senggiri mak haga masak lagi mati kuti". Atau timbalah gaya puisi lisan ini: "abu-abu, kelambu tutung, nak, Abu lijung, bapak nyusung: kekalau Tuhan nengis pekik umatni, sayang".
Kita punya mantra lisan, mengapa tidak mencoba memilinnya, atau tidak punya bahan, ini saya sarikan: "ba mati bu mati nyak nikam simameni mati, niku da-a ketupahan jak makmo telu bulan makung jadi daging, hup: tinuk tunjukko totong mataku, tunduklah niku tunduk nyak-ku". Takut dituduh ngekor Tardji? Tapi mengapa tidak malu ngekor GM dan lirik-lirik lain? Jika masih kurang berkenan, lakukan improvisasi sesuka hatimu, tuturan ini: among, kham khua jong muakhi haga ngicik cutik pai da ya: sanga patoh pun khua, cawa tuppak di ajong disan. Api nihan makhi khiya, ajo kicik sai tuha mitcik lagi sai bisa. Kidang mak ulah diya ajo ajong, sikam khoppok dipekhcaya tian nyapaikon cawa tupak di ajong sinna. Payu ajong, timbalni tian khoppok sai dija: khadu kutekhima sikam tangguh sia, mahaf sekhta mamang hati ajo ya.
Saya bukan cerpenis untuk menulis "cerita butak" (terima kasih Udo Karzi) atawa tukang tulis puisi. Walau saya tergoda menulis dalam diam hal-ihwal kelisanan itu. Saya menjadi seorang pendamba yang berharap ada yang betul-betul masuk ke dalam cenayang motif mitos dengan merebut aneka gaya, aneka strategi: seperti improvisasi, strategi memperbarui, strategi membuang bagian-bagian dan memasukkan bagian lain hingga satu cerita/puisi akan melahirkan jutaan cerita/puisi dalam setiap generasi.
Kalaupun satu dua saya coba tuliskan, tidak bakal ada media yang memuatnya, karena diam-diam ada yang ingin menitahkan saya sebagai esais dan kritikus sastra (ha..ha..terima kasih kepada yang merasa ingin menjadikan saya esais dan kritikus, tetapi saya ingin menjadi pembaca-menabarkan atawa menakwilkan saja, ha..ha..).
Sebagian kecil cerita butak dan satu puisi yang saya tulis saya kirimkan ke Udo Zul untuk berbagi, sementara puluhan cerita butak dan puluhan puisi mengendap saja dalam file komputer. Saya bermimpi melihat pengarang di sini yang melisankan kelisanan kata untuk dituliskan sebagai perlawanan terhadap ideologi UK dan GM, ND itu, yang gemar sekali menyindir dengan menyayat ini: "Apa boleh buat, tulisan tidak lagi pegang monopoli, mendengar radio, nonton TV dan video sudah jadi hobi dan kebiasaan kalian: di suatu masa ketika persentase buta huruf masih 30%, kalian memasuki zaman buta huruf baru: masa pratulisan langsung bergerak ke dalam masa pascatulisan.
Aduh, tidak ada yang melakukan perlawanan, kalau pun ada lebih ditujukan kepada karisma pembius dan komunitas yang menghegemoni, bukan ideologinya, bukan paham & wahamnya, dengan terus menakik tradisi untuk menandinginya, seperti yang dilakukan OSH, SS (kecuali sedikit oleh AM yang terus menantang dan baru-baru ini menohok dalam Jurnal Nasional).
Selama kosakata puisi dan prosa kita tidak bertambah, padahal ribuan kosa kata dalam mulut ibu dan nenek kita yang sesungguhnya sudah meng-Indonesia seperti tutung-tajungkang-lebuh-tandang-midang-bertandang-mamanghati-amput-mengamput-ceput-tukik-kituk-tukak-takik-rubang-rakuk-atawa ajaibkhanah-larah berlarahlarah-gabagaba-lesung-rawak-londang-awanama-(kh)remedi atau alimbubu-pundita-sirah-oncor dll. Bukan mau pamer, sayang, tapi tirulah teman-teman kita suku Jawa, seperti Umar Kayam dengan intim memperlakukan Barat sebagai secuil saja dengan memparaprasekan watak-watak mereka melalui permainan bahasa Jawa dalam buku Seribu Kunang-Kunang di Manhattan atau Danarto yang tidak malu-malu memungut kosa kata Jawa, atau karib kita, suku Riau seperti Tardji dengan retorika kelisanan yang tidak lupa dituliskan, atau Eko Endarmoko yang berjerih dengan memungut aneka logat.
Di Lampung ada karisma-karisma pembius dengan komunitas seni yang lama kelamaan bakal menyerupai GM-ND-NAA-UK itu. Jauhilah wahai teman-teman yang masih muda, berkaryalah dengan kekuatan sendiri, kembali pada kesunyian diri tanpa berhasrat mencari teman agar dirangkul dan dipamerkan. Dan akhirnya, ketimbang kalian memburu frasa post-post lacur mancanegara yang memang menganjurkan mimesis dan mimikri itu, lebih baik kembali menengok lumbung padi kita, gabah gabuk kita, lesung kipit kita, burung bakik atawa cotcok dan punai yang pandai melantun: "makdapok ane cocok, kham damai ane punai". Hai, asal jangan ngelahai-lahai sambil sedikit mencuri, seperti Chairil tapi jangan mencuri seperti teman saya Muslim. Kelewatan, padahal sudah dibilangin.
* Asarpin, Pembaca sastra
Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Februari 2008
No comments:
Post a Comment