September 9, 2007

Bingkai: Mempertimbangkan Teater Ruang

-- Asarpin*

DALAM Diskusi Forum Membaca Teater di Indonesia Hari ini yang diadakan Teater Garasi dan Jurnal LeBur, Yogyakarta, seperti yang pernah diceritakan Yudi Ahmad Tajudin, Afrizal melontarkan gagasan teater ruang. Bagi Afrizal, bukan acting yang menciptakan ruang, melainkan gagasan atas ruang yang mempunyai konsekuensi terhadap acting.

Konsekuensi lanjutan dari cara berpikir tentang teatar ruang itu pada akhirnya memunculkan semacam "kehendak penonton". Penonton dianggap sebagai publik yang aktif dan mempunyai selera sendiri yang tak bisa didikte ulasan pendek wartawan atau kritikus.

Misi luhur semacam itu pula yang hendak dihadirkan Jurnal LeBur, Yogyakarta, ketika seniman-seniman di luar arus utama kesenian, seperti Afrizal, Dewi Noviami, Landung Simatupang, Lauren Bain, Yudi Ahmad Tajudin, menjadi penjaga gawang dalam pertindingan gagasan tentang teater masa kini. Namun, di antara mereka tak sedikit perbedaan dalam menempatkan kritik teater, ulasan wartawan, dan penonton dalam pertunjukan teater.

Telaah yang dilakukan Alia Swastika dalam salah satu edisi Jurnal LeBur menunjukkan adanya perbedaan cara pandang dalam melihat apa yang oleh Afrizal dinamakan "peristiwa teater", "perang kode", dan "penonton sebagai latar depan".

Dalam suatu diskusi di jurnal itu, apa yang dinamakan peristiwa teater, perang kode, dan penonton sebagai latar depan, agaknya tak lengkap jika tak mengait-ngaitkannya dengan pandangan filsuf pasca-Marxis, Bourdieu, yang membagi tiga konsep budaya ke dalam cultural field, habitus, dan cultural capital untuk menunjukkan bahwa penonton memiliki otonomi sendiri yang berbeda dengan wartawan dan kritikus teater.

Sementara itu, kritikus teater seperti Alia Swastika tampak begitu apresiatif menempatkan "biografi penonton" sebagai sang pembaca dan penghayat yang aktif dan memiliki otonomi yang sejajar dengan pelaku teater, koreografer, kritikus, wartawan dan sutradara.

Di Lampung muncul Iswadi Pratama yang tampil menggugat dunia teater dan tidak hanya melalui penampilan aku dirinya di berbagai pertunjukan Teater Satu, tapi dalam beberapa kesempatan melakukan kritik atas pertunjukan teater lain yang membuat penonton kebingungan dan menjadi tak berdaya berhadapan dengan banjir bandang teks pertunjukan.

Iswadi seakan menohok harga diri para homo theatricus dan kritikus teater di negeri ini yang masih menempatkan penonton jauh ke latar belakang situasi skizofrenianya.

Dalam teater, ruang dihadirkan bukan sekadar nyanyian puitis-artistis, tapi juga historis, bahkan transhistoris. Dalam hal-hal tertentu Afrizal, seorang penyair sekaligus seorang pemikir, sastrawan juga kritikus sastra, antropolog juga prosais. Caranya menghayati ruang senantiasa melibatkan hampir seluruh tubuhnya, mulai dari emosi, pikiran, mata, telinga, bahkan tangan.

Dalam salah satu esai-prosanya yang belum diterbitkan, Afrizal pernah melukiskan sebuah tanaman rambat yang merayap ke dinding ruang kamarnya. Ia menceritakan bagaimana tangannya telah melepaskan tanaman rambat dari sumbernya dan tangannya telah menyebabkan sesuatu terjadi padanya.

Lalu ia melukiskan perjalanan hidupnya seperti tanaman yang merambat naik ke puncak untuk menggapai dunia atas. Dengan cara itu, tanaman itu akan terus tumbuh. Begitulah tanaman menjaga eksistensinya, dengan cara menumbuhkan dirinya terus-menerus.

Cara Afrizal menghayati dan memikirkan sebuah ruang atau sebuah bandar melibatkan sensibilitas seluruh tubuhnya. Tak hanya emosi yang tampak, tapi juga berkelebatnya pikiran. Puisi ruang dan caranya merasa lebih sebagai hiperbola, yang menuntutnya memikirkan lebih intens bagaimana menaklukkan ruang sekaligus waktu untuk melampaui ambang batas manusiawinya. Ruang dan waktu tak lagi ditempatkan sebagai yang tak terjamah, tapi sesuatu yang bisa diburu dan ditangkap oleh mata hatinya.

Saya beruntung memiliki beberapa naskah teater Afrizal, baik yang pernah diterbitkan atau dipentaskan dalam pertunjukan teater, maupun yang belum/tidak diterbitkan. Dari naskah-naskah tersebut, tema-tema keseniannya begitu kompleks untuk bisa dipetakan, apalagi dalam "peta cecah jiwa dari logosentrisme maya".

Wawasan estetik puisi dan teater ruang yang ditawarkannya bisa ditelusuri lebih jauh mulai dari Gaston Bachelard sendiri, hingga yang paling klasik seperti Aeschylus dalam drama "The Persians" atau Euripides dalam "The Bacchal" yang sangat Asiaistik.

Dalam naskah teater yang pernah dipentaskan, "Konstruksi Keterasingan" (1983), "Ekstase Kematian Orang-orang" (1984), "Semangka yang Dikuburkan" (1989) hingga "Biografi Yanti Setelah 12 Menit" (1991), Afrizal melakukan piknik ke negeri-negeri Asia melalui metafora "Asia membaca", sedangkan Aeschylus dan Euripides "tamasya ke Asia melalui peta yang dibuat Eropa", tulis Edward W. Said.

Jika Aeschylus bernyanyi lewat drama eksistensialis dan berseru: "Segenap tanah Asia/Kini merintih dalam kehampaan/Xerxes membawa tentaranya, oh, oh!/Xerxes binasa, lara, lara!/, lantaran pedihnya menyaksikan kekalahan Asia terhadap Eropa, Afrizal menemukan wajah Asia yang masih sibuk membaca.

Baik Aeschylus maupun Afrizal, juga Sitor Situmorang, saya kira sangat jeli menangkap suatu masa yang pernah jaya bernama Asia, yang tampil kuat memengaruhi peradaban Eropa. Jika dalam "The Bacchal" karya Euripides, sensibilitas ruang masih dihadirkan sebagai pertarungan sengit antara Timur dan Barat (bandingkan dengan sajak Kipling), Afrizal melakukan pergulatan yang intens melalui tarian "Panji Sepuh"-nya Sulistiyo Tirtohusumo, yang olehnya dilukiskan sebagai pertarungan "kekuasaan yang dihadirkan sebagai yang memiliki ruang dan waktunya sendiri".

Ruang memang bukan sesuatu yang netral, bebas nilai, objektif, tetapi sesuatu yang sengaja diciptakan atau dihadirikan, diproduksi, baik untuk kepentingan politik maupun kultural. Dalam ruang kota, misalnya, ruang diproduksi sedemikian rupa untuk tempat tamasya, belanja, bermain bola, taman, jalan, bioskop, tempat pertemun di gedung-gedung pencakar langit, yang semua itu selalu bersinggungan dengan kekuasaan. Teater ruang pada akhirnya sebuah resistensi terhadap kekuasaan, apa pun definisi kita tentang kekuasaan.

* Asarpin, Bergiat di Sastra 147 Lebakbudi, Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 September 2007

No comments:

Post a Comment