September 30, 2007

Bilik Jumpa Sastra: Membicarakan Trisula Muda Penyair Lampung

-- Teguh Prasetyo

"PUISI merupakan tempat serta upaya membuat sesuatu yang tampak sia-sia menjadi berharga."

Kalimat yang dilontarkan Goenawan Mohamad mungkin bagi masyarakat awam hanyalah sebatas kalimat lalu saja. Namun, ternyata bagi mereka yang menjadi penyair, bisa jadi kalimat ini menjadi semacam motivator untuk terus berbuat dan berkarya dalam kerja-kerja kreatifnya guna melahirkan karya sebagai sebuah perwujudan eksistensi kepenyairannya.

Dan bisa jadi kalimat tersebut juga yang kemudian menjadi semacam satu ruh yang mengantarkan kegiatan bilik jumpa sastra yang bertajuk Trisula Muda Penyair Lampung yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila di Gedung PKM, Kamis (27-9). Adapun trisula penyair muda yang dihadirkan ialah Lupita Lukman, Anton Kurniawan, dan Hendri Rosevelt.

Menurut penyair Ari Pahala Hutabarat, ketiga penyair tersebut memang bisa dikatakan yang paling menonjol karyanya dibanding dengan para penyair muda Lampung lain yang kini mulai bermunculan. "Ketiganya merupakan penyair muda yang paling berbakat. Ini bisa dilihat dari kuantitas karyanya yang bisa dilihat di berbagai koran daerah dan nasional secara kontinu."

Selain dari segi kuantitas karya yang banyak tersebar, menurut Ari, karya ketiga penyair muda ini bisa dikatakan sangat berkualitas. "Sebab, memang dalam melakukan pemilihan penyair muda yang bisa dimasukkan trisula penyair muda ini, kami juga mempertimbangkan kualitas karya yang dihasilkan. Jadi tidak semata-mata kuantitasnya yang banyak menyebar di berbagai media," katanya.

Sebab itu, dalam acara yang merupakan kegiatan bulanan UKMBS bekerja sama dengan Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) ini, ketiga penyair dibedah. Terutama berkaitan dengan proses kreatif yang telah dilaluinya selama ini, sehingga bisa melahirkan karya-karya yang berkualitas.

Bahkan, tidak sampai di situ saja, tiga penyair muda ini pun harus memaparkan alasan yang digunakan ketika memilih satu kalimat yang digunakan dalam karyanya hingga makna yang terkandung dalam satu karya.

Namun, tentu saja tidak hanya sebatas itu karena selain dibedah karyanya, ketiga penyair ini juga membacakan karya-karyanya langsung di hadapan lebih dari 50 peserta.

"Paling tidak dengan menghadirkan ketiga penyair muda berbakat ini, coba diperkenalkan ke khazanah yang lebih formil kepada para peserta yang hadir. Sebab, selama ini mereka lebih banyak dikenal karyanya dibanding dengan orangnya," ujar Ari.

Sementara Anton Kurniawan, penyair yang kini juga berprofesi sebagai pengajar di Kabupaten Lampung Barat, mengatakan dia merasa tidak spesial dibanding dengan para penyair muda Lampung lain yang banyak bermunculan. "Nggak ada yang spesial dari karya saya. Apalagi saya sendiri hingga kini masih dalam proses dan pencarian yang sampai sekarang terus saya lakukan."

Terlebih lagi, menurut dia, proses kreatifnya dalam penulisan masih bisa dikatakan sangat baru, yakni pada tahun 2003. "Awalnya karena saya berdekatan dengan dunia teater, akhirnya membuat saya begitu dekat dengan puisi. Apalagi puisi ini bisa mewakili gundah gulana yang dialami setiap penulis," kata Anton.

Makanya, menurut Anton, karyanya juga banyak mendapatkan banyak kritikan peserta. "Karena ternyata karyanya dipandang melepas dari logika yang ada dan dikatakan masih sangat gelap. Terlebih lagi dengan maksud dan makna yang terkandung dalam karyanya masih sulit ditangkap arahnya mau menuju ke mana."

Meskipun demikian, karya Anton pernah menjadi juara pertama penulisan puisi tentang perempuan yang digelar Lembaga Advokasi Perempuan Damar beberapa tahun lalu. Bahkan pada tahun 2006, karyanya berhasil menjadi juara kedua dalam Lomba Cipta Puisi Festival Krakatau 2006 dan berhasil menyisihkan karya para penyair dari seluruh Indonesia.

Komentar yang sama juga dikemukakan Hendri Rosevelt yang juga mengawali kedekatan dengan dunia seni lewat teater dan baru beraktivitas dalam dunia sastra terutama puisi. Untuk itu, dia merasa belum layak disebut penyair.

"Karena saya tidak memiliki kewenangan memberikan satu argumen terhadap karya yang saya hasilkan. Akan tetapi, yang berhak memberikan argumen adalah orang lain yang membaca karya saya untuk dibedah dan diapresiasi," kata Hendri.

Sebab, ujar Hendri, puisi merupakan hal yang sangat personal untuk sekadar berbagi kisah saja. "Kemudian rasa tersebut ditambahkan dengan pengalaman ekstetis. Tidak lebih dan tidak kurang."

Oleh sebab itu, kata Hendri, puisi terus mengalami perubahan-perubahan dalam beberapa kurun waktu tertentu. "Makanya penulis sepertinya dituntut terus mengikuti realitas yang menjadi sumber inspirasinya baik berupa gagasan atau ide, pengalaman, dorongan atau hasrat terhadap sesuatu yang membuatnya terserap pada sebuah keadaan atau situasi yang menggetarkan dan berlangsung hanya beberapa saat."

Dan di sinilah penulis akan mengerahkan segenap kemampuannya serta perangkat dalam dirinya. "Bahasa kemudian menjadi satu-satunya sarana yang dinilai mampu mendekati kemisterian realitas tersebut sehingga terciptalah "jalan" yang mengantar si pembaca untuk menjenguknya," ujar peraih juara satu Peksiminas VIII tahun 2006 ini.

Sehingga, kemudian tidak salah apabila seorang pengamat sstra yang mengatakan puisi merupakan puncak bahasa, terutama dalam bentuk tulisan. "Artinya, betapa pun besar gagasan yang kita punyai atau hebatnya pengalaman yang didapat untuk dijadikan sebuah karya, pada akhirnya sangat membutuhkan logika dan rasa bahasa untuk menuliskannya. Dan bahasalah yang mampu mewakili realitas tersebut."

Meskipun demikian, menghadirkan karya puisi diumpamakan seperti lengan yang menunjuk ke sebuah wilayah atau peristiwa. "Sehingga bisa jadi kata yang berlangsung di benak kita saat itu tak ada makna, akan tetapi tiba-tiba saja begitu penting bagi saya untuk membiarkannya hadir dalam puisi. Ini seperti fosil purba yang dikemukan para arkeolog dalam penggaliannya."

Pun dengan Lupita Lukman, dia menceritakan bahwa awal karya puisinya lebih surealis. Namun, akhir-akhir ini malah cendrung naratif seperti menceritakan dengan menggunakan plot-plot dan deskriptif. Kalau bisa dikatakan dahulunya puisi saya itu pendek-pendek, tapi sekarang sangat panjang-panjang sekali.

Dia mengatakan eksplorasi karyanya kini lebih banyak berbicara waktu. "Ide itu datang begitu saja, apa yang terserak. Kalau ketemu momen dan suasana hati, saya bisa membuat puisi. Dan pastinya semuanya berdasar pada pengalaman langsung dari saya terhadap momen tersebut," ujarnya

Paling tidak, membedah ketiga penyair muda Lampung ini memberikan satu kegairahan tersendiri untuk terus berkarya dan mencipta. Gairah muda yang terlihat itu, terus menerus mencoba meretas setiap peristiwa lewat kata yang melewati pengalaman ekstetikanya. Sehingga setidaknya masih ada yang mencoba membuat sesuatu yang tampaknya sia-sia menjadi berharga lewat karya puisinya.

Dan penggalan puisi "Kepada Kawan" karya Anton Kurniawan bisa menjadi satu pelengkap di akhir tulisan ini. "... usai ini hari/ masihkah kita sempat menangkup kenangan/ membaca segala di bening mata/ mengenang harum mayang rambut/ atau sekadar bertukar kabar dan membuka catatan/ yang pernah tertulis dalam berlembar malam/...".

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 September 2007

No comments:

Post a Comment