October 1, 2007

Mamak Kenut: (Katakanlah Ini Sebuah) Pengantar*

-- Juwendra Asdiansyah** dan Esti Malasofia***

AGAR terlihat seperti buku pada umumnya, Mamak Kenut perlu diberi pengantar. Sebagai editor, terpaksalah saya menulis pengantarnya. Tetapi... apa yang harus ditulis dalam pengantar ini?

Kehidupan meskipun tidak selalu menyenangkan, tidak pula penuh dengan kesusahan. Namanya juga hidup. Ia senantiasa memiliki warna sesuai dengan zamannya. Tak usah pula diperdebatkan zaman itu beubah atau berputar. Entah benar, entah tidak, terkadang memang ada semacam 'arus balik' kehidupan.
(Temon Do)

Arus balik? Mari kita bicarakan soal 'arus balik' sebagai menu pengantar buku ini.

Bahwa hidup tidak linier, semua orang tahu. Namun tidak banyak yang mampu bertahan; berdiri dalam ombang-ambing arus kehidupan; berjingkat dan berkelit-kelindan dari masa yang sering terbalik-balik. Udo Z. Karzi barangkali seorang dari kelompok yang tak banyak itu. Upaya warawan cum sastrawan ini untuk berakrobat, melompat, bahkan menari dalam dinding hidup yang kian menjepit, paling tidak dapat kita urut jejaknya dari buku ini: Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh.

Bahwa hidup itu warna warni, anak kecil juga tahu. Tapi, berapa banyak yang siap mengecap hidup dengan segala warnanya yang penuh warna: hitam, putih, kuning genteng, hejow dangdut atau merah janda. Bahwa hidup itu bianglala, itu pasti. Persoalannya, banyak kita mungkin lupa akan itu. Maka, membaca Mamak Kenut, mengingatkan kita soal hidup yang tidak 'tunggal' itu; hidup yang hitam putih, gelap terang, atas bawah, bolak-balik, enak susah, kaya miskin, tukang ojek-anggota DPR, preman-politisi, maling-birokrat... arus balik...

Irilah pada Mamak Kenut; dia yang bisa jadi siapa saja. Suatu kali ia jadi A, kali lain jadi B. Sungguh nikmat jadi Mamak Kenut; dia yang bisa bicara apa saja; ngoceh bau seenaknya. Ini hari ngomong X, besok XXX. Suatu kali ia mengeritik teman-temannya mantan aktivis:

... begitu mudahnya orang melupakan perlawanan begitu ia masuk ke dalam lingkar kekuasaan. Bukan hal aneh ketika menjadi aktivis begitu garang melawan rezim, tetapi begitu menjabat atau jangankan menjabat, dekat saja dengan si pejabat, segera saja menjadi "pak turut" atau "asal bapak senang".
(Lawan)

Mamak Kenut memang asal. Bisa jadi, itu karena idealismenya. Idealisme yang lama terkurung dan bergelegak--namun tetap terpelihara dan terjaga. Tidak banyak orang -- termasuk wartawan -- yang mampu keluar dari kerawanan itu. Udo Z. Karzi, dengan segala kesederhanaannya -- sebagian orang melihatnya sebagai keluguan -- ternyata masuk golongan yang mampu.

Cukup lama saya mengenal Udo. Kadang saya melihatnya sedikit naif. Ia ngotot untuk banyak hal. Jika Anda berbeda dengannya, Anda akan cepat berada dalam sebuah medan pertarungan yang dahsyah (terlalu hiperbolik nggak, ya?). Untuk sebuah prinsip, Udo akan membelanya sampai titik ludah penghabisan... Jadi, jika boleh saya sarankan, hindari bicara serius dengannya... Ha...ha...ha... tidak... saya becanda (Si Sarah makan kelanting, jangan marah just kidding). Yang ingin saya katakan, adalah di balik sosoknya yang ringkih, di antara kumis janggutnya yang satu satu, Udo menyimpan magma intelektualitas yang dahsyat -- yang jika tergoyang sedikit, maka akan menyembur dengan entakan yang sedahsyat-dahsyatnya.

Namun, jangan khawatir. Semburan yang dahsyat itu, yang menggelegar itu, suatu waktu dapat mendayu-dayu, mengalun... lalu romantis. Simaklah:

Nora adalah sebuah kesejukan di tengah kesumpekan politik negeri ini. Barangkali saja, saat memandang Nora, berjuta kenangan melintas. Berjuta-juta mimpi mengembang. Berjuta-juta harapan membuncah. Mungkin saja, ada sesuatu yang memancar dari sorot mata dan senyum Nora yang dapat membangun hari esok.
(Nora [Pakai k])

Ah, adakah wanita yang mampu bertahan jika di-Nora-kan oleh Mamak Kenut (entah Minan Tunja)? Mamak Kenut memang aneh.

Membaca Mamak Kenut mungkin sebuah upaya mencari hiburan. Sebab, membacanya adalah menyimak humor yang satir. Ia mungkin adalah sebuah karikatur. Menyulap kisah atas banyak peristiwa, kehidupan, sifat dan polah-laku, lagak-lagu manusia, menjadi sebuah parodi. Renyah yang miris. Komedi yang perih.

Tiba-tiba, Mat Puhit datang mengeluh. "Payah. Aku kan diminta partisipasi. Aku pikir mau dikasih uang sakunya. Eh, panitia malah minta bantuan akomodasi. Gimana?

O... jadi akomodasi itu duit ya? Kalau kita, semisal rakyat miskin kelaparan, berarti tidak akomodatif. Kalau kita...

"Akomodatif dikitlah," kata Udien yang tiba-tiba nongol minta ditraktir ngopi.

Setelah kopi diminum, "Nah, itu baru akomodatif."
(Politik Akomodasi)

Mamak Kenut lucu juga kan... kadang (Udo Z. Karzi yang saya kenal, memang tidak lucu-lucu amat). Tetapi, nampaknya dia tidak benar-benar melucu, karena kesan serius lebih kuat menyendal. Mungkin bisa disebut kelucuan yang serius. Atau keseriusan yang lucu. Nah, kalau soal serius, sebenar-benarnya serius, Mamak jagonya. Ini buktinya:

... Kita sering salah mengartikan kemerdekaan. Merdeka seharusnya tak membuat kita berpisah. Kemerdekaan yang hakiki, barangkali membuat kita saling menghormati, saling bertoleransi, saling memaafkan, saling berjabat tangan, saling membantu satu sama lain. Kita sama: benci penindasan,, karena penindasan menafikan kemerdekaan.
(Kemerdekaan)

Mamak Kenut memang sok dalem begitu, suasana haru-biru:

Kesendirian barangkali saja sesuatu yang membahagiakan tanpa harus menggantungkan nasib pada situasi yang tidak pernah memihak kepada kita. Kepasrahan bukan kebodohan karena ia merupakan suatu pilihan saja dari suasana yang terasa menyumpekkan. Kepolosan boleh jadi semacam cara saja menghindari dari perasaan sakit hati atau frustasi....
(Temon Do)

Tetapi lain kali Mamak Kenut jadi malas tidak ketulungan.

Dalam rangka menuruti hawa nafsunya, Sugimin (44), mencabuli lima anak di bawah umur... Dalam rangka melestarikan dinasti dalam tubuh birokrasi, para pejabat di delapan kabupaten melakukan apa pun... Dalam rangka...
(Dalam Rangka simak pula Sementara Itu)

What ever (Mamak Kenut sesekali pakai bahasa ulun Inggris), syukur ada Mamak Kenut. Di tengah dahaga -- tatkala membalik-balik lembar-lembar halaman surat kabar daerah ini -- Mamak Kenut menjadi oase. Ketika koran sudah jadi gelanggang politisi busuk bin apek beradu iklan gadungan, ketika iklan ditukar dengan "kampanye terselubung", ketika berita dan "opini" jadi "barang dagangan" banyak wartawan, maka Mamak Kenut merawat harapan. Jika Anda jenuh dengan Lampung yang penuh birokrat ngaco, politisi asem, pengusaha kampret, aktivis matre, mahasiswa konyol, dan cendekia ngawur, atau malah preman romantis, sempatkan membaca Mamak Kenut.

Kebenaran memang barang langka. Yang paling banyak adalah orang-orang yang merasa benar sendiri. Tetapi tak pernah jelas ukurannya. Tetapi tak pernah terang letak kebenarannya. Boleh jadi kebenaran di tangan preman yang mengandalkan otot ketimbang otak. Barangkali pula kebenaran tak lebih dari sesuatu yang dipungut di jalan-jalan penuh debu.
(Temon Do lagi-lagi)

Pesan saya: Bacalah buku ini sampai selesai. Kalau di tengah jalan Anda ngantuk -- seperti yang kami (saya dan Esti) alami ketika mengedit buku ini -- jangan risau. Percayalah, kantuk itu bukan karena buku ini menjemukan. Tetapi karena kita menjadi lelah, penat dengan 'apa-apa' yang dibaca. Ini memang gara-gara Mamak Kenut juga. Kadang, ia sekadar ngoceh bau saja, asal njeplak, sehingga tak perlu dipikir serius, tak perlu dibawa ke dasar hati, ditanam ke sudut otak. Tetapi, lebih sering ia membuat kening berkerenyit. Mengajak kita berpikir, merenung, refleksi, berdebat (sendiri), lalu kontemplasi... dan ooouuaaakkhhhhh... ngantuk...ah.

Ya sudah, berhenti aja dulu! Nyalakan rokok, ngudut pai, pergi ke dapur, ambil cangkir...ngopi...ngupi pai...

Di tengah rasa frustasi menghadapi ketidakadilan, mungkin saja setelah menghirup beberapa teguk kafein, dunia terasa lebih indah...
(Dalam rangka)


* Pengantar editor untuk buku Udo Z. Karzi berjudul Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh (belum terbit juga)

** Juwendra Asdiansyah, editor, wartawan Harian Seputar Indonesia

***
Esti Malasofia, editor

No comments:

Post a Comment