October 28, 2007

Horison: Dunia Puisi Dalam LAF 2007

PENYAIR Inggit Putria Marga -- penerima Anugrah Kebudayaan 2005 dari Menteri Pariwisata dan Kebudayaan -- melenggang ke panggung. Sambil membaca secarik kertas di tangannya, kata-kata puitis pun meluncur dari bibirnya:

Beri aku sajakmu
Matahari yang belum pernah
terbit di langit lain
Kicau yang belum pernah
berdesau di pohon lain
Tubuh yang belum pernah
memeram sukma lain
Api yang belum pernah
melelehkan lilin lain
Wahyu yang belum pernah
sampai ke nabi lain

Keheningan yang tak pernah
menyimpan kenangan lain
Harapan yang tak pernah
mengarah ke tujuan lain
Amarah yang tak pernah
pecah oleh sebab lain
Tawa yang tak pernah menggema
karena alasan lain

Selain aku!

Mudah-mudahan kamu
yang menyala redup
di bukit, langit, dan lautan,
reda gerimis di dalam selokan,
timbul tenggelam di balik awan,
hilang tampak
di sekeliling bulan,
bangkit jatuh di ujung jalan

Berkenan mengabulkan!

Dan begitulah, seperti biasa, malam itu, satu demi satu penyair tampil di panggung Pasar Seni Enggal, Bandarlampung. Panggung yang temaram, malam yang dingin, penampilan para penyair yang nyaris hanya mengandalkan teks, dan jumlah penonton yang tidak terlalu banyak, membuat pentas Dunia Puisi dalam iven Lampung Arts Festival (LAF) 2007 itu terkesan sepi dan ngelangut, namun justru hidmat. Kata-kata puitis yang bermakna dalam, meresap ke hati penonton, meninggalkan kesan yang nyaris tak terlupakan.

Sekitar 40 penyair dari berbagai penjuru Tanah Air, malam itu (27 Agustus 2007), bertemu di Lampung, membacakan karya-karya andalan mereka, dan mendiskusikan beberapa persoalan terkini perpuisian Indonesia. Baca puisi berlangsung di Pasar Seni Enggal, sedangkan diskusi sastra berlangsung di kantor redaksi Lampung Post pada keesokan harinya.

Meskipun tidak merangkum seluruh potensi kepenyairan di Indonesia, pentas Dunia Puisi LAF 2007 berhasil mepertemukan para penyair nasional dan daerah dari berbagai generasi, sejak generasi 1980-an hingga 2000-an.

''Para penyair yang diundang rata-rata telah berkiprah di dunia puisi sejak 1980 hingga 2000. Masing-masing diundang untuk mewakili generasinya, sehingga dapat memperjelas benang regenerasi perpuisian di Indonesia dan memberi sumbangsih bagi apresian puisi di Lampung,'' kata Panji Utama, sekretaris Panitia Pelaksana LAF 2007.

Penyair nasional dari generasi 1980, antara lain diwakili oleh Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama, Sugandhi Putra, dan Syaiful Irba Tanpaka (Lampung), Ahmadun Yosi Herfanda, Bambang Widiatmoko, dan Endang Supriadi (Jakarta), Achmad Subbanuddin Alwy (Cirebon), Micky Hidayat dan YS Agus Suseno (Banjarmasin), serta Anwar Putra Bayu (Palembang).

Dari generasi sesudah mereka, antara lain ada I Wayan Sunarta (Denpasar), serta Oyos Suroso HN, Inggit Putria Marga, Budi P Hutasuhut, Y Wibowo, Jimmy Maruli Alfian, Anton Kurniawan, Alex R Nainggolan, Ari Pahala Hutabarat, AJ Erwin, dan Lupita Lukman (Lampung). ''Panitia sebenarnya juga mengundang sejumlah penyair dari Malaysia, Singapura, Thailand, Sri Lanka, dan Brunei Darussalam. Namun, mereka berhalangan datang,'' kata Panji Utama.

Beragam sajak dengan berbagai tema dibacakan oleh para penyair, sejak puisi cinta sampai sajak religius, sejak imaji alam yang lembut sampai kritik sosial yang pedas, seperti sajak yang dibacakan YS Agus Suseno berikut ini:

Katamu
katamu ingin negara ini maju
tapi biaya pendidikan mahal.
Katamu
katamu ingin melihat
negeri ini berkembang
tapi lihatlah
bangunan sekolah dihancurkan
diganti mal dan plaza.
Mau dibawa ke mana anak negeri ini?
Jadi pembantu di negeri orang?

Keesokan harinya, topik-topik sastra terkini dibahas dalam diskusi yang menampilkan Ahmad Syubanuddin Alwy, Wayan Sunarta, dan Ahmadun YH sebagai pembicara. Alwy dan Wayan menyorot kasus Sajak Malaikat karya Saiful Badar yang mengundang kontroversi dan kemarahan sekelompok umat beragama setelah dimuat di Harian Pikiran Rakyat. Sedangkan Ahmadun membahas tentang melemahnya kekuatan teks di tengah menguatnya kecenderungan politik sastra.

Tidak hanya pentas baca puisi dan diskusi sastra yang digelar dalam Festifal Kesenian Lampung atau LAF 2007. Iven tahunan dalam rangka Festival Krakatau 2007 ini juga menggelar berbagai pertunjukan dan diskusi seni, di Grahawangsa, Telukbetung Selatan, Graha Pena Bandar Lampung, dan Pasar Seni Enggal.

''Selain acara sastra, LAF 2007 juga menampilkan pentas musisi kontemporer dan diskusi musik, tari kontemporer, teater, pameran seni rupa, dan pemutaran film,'' kata Ketua Pelaksana LAF 2007, Harry Jayaninggrat, yang juga sekertaris umum (sekum) Dewan Kesenian Lampung (DKL).

Pertunjukan dan diskusi musik LAF 2007 menghadirkan Ben Pasaribu dengan tema Dua Arus. ''Selain Dunia Puisi, pertunjukan musik Dua Arus ini merupakan pergelaran utama LAF 2007. Pertunjukan ini memadukan musik tradisional, modern, dan kontemporer yang dipadukan secara apik,'' ujar Harry.

Seluruh acara LAF 2007 yang diselenggarakan oleh DKL itu berlangsung sejak 25 hingga 30 Agustus 2007. ''Pelaksanaan LAF ini merupakan ajang strategis pendukung Festival Krakatau dan Lampung Expo 2007,'' tambah Panji Utama.

Selama lima hari itulah para peserta dari Aceh (NAD), Sumut, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumsel, Babel, Banten, DKI Jakarta, NTB, Kalsel, Sulsel, Jabar, Yogyakarta, Jateng, dan Bali, mempertunjukkan karya-karya seni andalan mereka.

Selain itu, peserta dari 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung juga ikut mempertunjukkan karya seni budaya daerahnya masing-masing. ''Kami berupaya menyuguhkan kesenian yang berkualitas untuk masyarakat Lampung untuk meningkatkan apresiasi masyarakat,'' kata Panji.

Menurut Ketua DKL, Syafariah Widianti, LAF bertujuan untuk pengembangan kesenian di Lampung. ''LAF selain dapat dijadikan panggung pementasan karya para seniman, juga menjadi ajang dialog kebudayaan sekaligus tempat untuk memperkenalkan kesenian Lampung secara lebih luas lagi,'' katanya. (ayeha/berbagai sumber)

Sumber: Republika, Minggu, 28 Oktober 2007

No comments:

Post a Comment