-- Oyos Saroso HN*
SETELAH lama tidak lama terdengar aktivitasnya di dunia kepenyairan, Syaiful Irba Tanpaka tiba-tiba meluncurkan buku antologi puisi terbarunya berjudul Karena Bola Matamu. Kali ini, Syaiful benar-benar memberikan kejutan sekaligus mempertegas klaimnnya selama ini sebagai "penyair cinta": Lebih dari 90 persen puisi-puisinya bertema cinta anak remaja!
Bagi saya, kejutan itu mengandung dua pertanyaan: Pertama, apakah kumpulan puisi Syaiful kali ini sebuah kompromi terhadap selera pasar, mengingat sasaran yang akan dibidiknya adalah para pelajar SMA? Kedua, mengapa Syaiful begitu mudah merelakan dirinya menciptakan puisi-puisi yang relatif lebih cair, yang dari sisi kualitas kurang bagus dibanding puisi-puisinya terdahulunya?
Tema cinta bukanlah dominasi Syaiful. Sebelumnya sudah banyak penyair dunia dan penyair Indonesia yang menulis puisi-puisi cinta, baik dibukukan maupun tidak. Jejak awal kepenyairan Sitok Srengenge, misalnya, diawali dengan puisi-puisi cinta ("Persetubuhan Liar"). Dalam buku puisi karya Sitok itu terdapat banyak wanita, yang menurut Sitok, sebenarnya satu orang.
Saya harus berdebat semalam dengan Sitok di rumahnya yang sempit di kompleks Bengkel Teater Rendra awal tahun 1990-an sebelum kumpulan puisi itu terbit. Saya tahu kumpulan puisi tunggal pertama Sitok itu diterbitkan dengan penuh perjuangan. Dan nyatanya "Persetubuhan Liar" kemudian mendapat sambutan hangat, bukan saja oleh kalangan remaja, tetapi juga pembaca dewasa.
Bagi seorang penyair cinta (maksudnya penyair yang menghasilkan puisi-puisi cinta), puisi-puisi cinta bisa memantulkan ekspresi kedalaman batin. Meskipun bersifat pribadi, seorang penyair cinta yang baik akan mampu melahirkan puisi-puisi yang bisa dijadikan pengalaman bersama pembacanya. Ketika membaca puisi-puisi cinta, pembaca bisa mengidentifikasikan diri di dalamnya. Oleh sebab itu, tak mengherankan kalau beberapa puisi cinta karya penyair ternama Indonesia banyak yang menjadi "bacaan wajib" bagi para penyair pemula.
Tema cinta memang selalu menarik untuk digali. Itulah sebabnya, hampir semua penyair di dunia pernah menulis puisi cinta. Pablo Neruda pernah menghasilkan puisi-puisi cinta yang terkumpul dalam 20 Love Poetry. Octavio Paz menghasilkan An Erotic Beyond The Sade. Shakespeare juga menulis soneta-soneta dengan tema cinta. Bahkan, seorang Chairil Anwar yang gaya kesehariannya dikenal urakan dan liar juga pernah disergap rasa romantis dan sentimental ketika berurusan dengan perempuan yang dicintainya.
Banyak perempuan mampir dalam kehidupan Chairil Anwar. Ada yang hanya ditaksirnya tetapi tak berbalas, dipacarinya, bahkan ada perempuan yang sangat mencintai dan dicintai Chairil, tetapi tidak pernah sampai pada tahap perkawinan. Chairil akhirnya justru menikah dan memiliki anak dengan perempuan yang tidak begitu digila-gilainya.
Nama-nama wanita yang pernah singgah dalam hidup Chairil Anwar dan kemudian melahirkan beberapa puisi antara lain Karinah Moordjono, Sumirat, Dien Tamaela, Sri Aryati, Gadis Rasid, Ina Mia, Ida, Sri, dan Nyonya.
Dalam sebuah ceramah di tahun 1969, penyair dan kritikus sastra Sapardi Djoko Damono mengatakan pengalaman puitik adalah sesuatu yang unik, dan keautentikannya hanya akan terjamin apabila penyair berhasil melahirkan bahasa yang unik. Ini bisa tercapai lewat eksperimen-eksperimen yang tekun. Eksperimen bahasa itulah yang dilakukan Chairil Anwar sehingga melahirkan puisi-puisi cinta yang menurut saya sangat bagus dan menyentuh hati pembaca.
Dalam puisi "Buat Gadis Rasid", misalnya, Chairil menulis: Kita terapit, cintaku/-mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak—/Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati/Terbang/Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat/-the only possible non-stop flight/tidak mendapat//.
Dengan sangat halus Chairil mengungkapkan perasaan hatinya yang terjepit (tercepit) cinta. Sederhana saja bahasanya, tetapi lewat proses pemilihan kata yang matang. Hampir tidak ada kata-kata bombatiss yang muncul dari desakan perasaan yang menyesak di dada.
Saat Chairil patah hati dengan Sri Aryati, ia berubah menjadi sosok sendu yang sentimental. Hal itu tergambar dalam puisinya "Senja di Pelabuhan Kecil" berikut ini: Ini kali tiada yang mencari cinta/Di antara gudang, rumah tua, pada cerita/Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut/Gerimis mempercepat kelam//Ada juga kelepak elang/Menyinggung muram/, desir hari lari berenang/Menemu bujuk pangkal akanan// Tidak bergerak/Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak/Tiada lagi//Aku sendiri// (Chairil Anwar: "Senja di Pelabuhan Kecil").
Kata-kata yang membangun puisi di atas bagaikan sebuah komposisi yang sangat padu. Diksi-diksi dan frase seperti gudang, rumah tua, kapal perahu tiada berlaut, gerimis mempercepat kelam, muram, air tidur hilang ombak, aku sendiri, pengap harap, selamat jalan, sendu penghabisan merupakan komposisi yang disusun untuk menggambarkan suasana hati yang muram dan patah hati. Semua itu jauh dari kata bombastis yang meledak-ledak.
Puisi Cinta Syaiful Irba Tanpaka
"Jangan menganggap membuat puisi cinta itu gampang!"
Peringatan tersebut bukan dilontarkan orang sembarangan. Peringatan itu datang dari penyair Jerman, Rainer Maria Rilke. Menurut Rilke, untuk menulis puisi cinta perlu kedalaman menuliskannya. Itu kalau sang penyair ingin menghasilkan sajak yang istimewa. Kenapa? Alasannya sederhana saja: sebab sajak bertema cinta sudah terlalu banyak ditulis penyair. Penyair yang baru belajar menjadi penyair menulis puisi cinta, anak SMA yang sedang memasuki masa adolesens menulis puisi cinta dalam buku hariannya, penyair-penyair terkenal nan hebat pun menulis puisi cinta.
Makanya, Rilke berpesan agar penyair muda menghindari tema cinta. Sebab, kalau memaksakan diri, akan ada kesan terlalu gampangan dan terlalu biasa. Padahal, sejatinya puisi cinta sangat sulit dibuat. Puisi cinta mensyaratkan kekuatan penuh penyairnya untuk mendayagunakan bahasa. Penulisnya harus matang, sehingga benar-benar menghasilkan puisi yang orisinal, individual, dan kaya rasa.
Bagaimana dengan puisi-puisi cinta karya Syaiful Irba Tanpaka? Syaiful mengakui puisi-puisinya kali ini memang khusus ditujukan bagi para remaja. Dia tak mau peduli apakah akan dicibir orang atau tidak. "Puisi cinta yang ditulis penyair yang sudah berusia 40-an tahun akan lebih legit. Ibarat kelapa, makin tua makin bersantan," ujarnya.
Membaca puisi-puisi Syaiful Irba Tanpaka dalam antologi puisi Karena Bola Matamu, saya seperti diajak bernostalgia ke masa lalu. Dua puluh tahun hingga lima belas tahun lalu kira-kira (1986--1995), ketika saya tergila-gila pada sajak nan rancak, puisi-puisi yang menggetarkan, yang dilahirkan para penyair sufi dari khazanah sastra Arab klasik dan sastrawan ternama Indonesia. Mereka mendendangkan cinta dengan puisi.
Saya suka dengan sebagian puisi-puisi Syaiful yang dikumpulkan dalam buku Karena Bola Matamu. Mungkin karena saya bisa bernostalgia dengan masa-masa kenakalan sekaligus masa-masa kreatif dan produktif saya. Mungkin juga karena sudah merasa tak bisa menulis puisi cinta lagi. Membaca puisi-puisi cinta Syaiful Irba Tanpaka, bagi saya akhirnya menjadi sebuah rekreasi. Sebagai sebuah rekreasi, ada banyak hal yang ditawarkan Syaiful.
Sungguh, saya merasa iri dengan Syaiful Irba, yang dalam usia di atas saya (40-an tahun) masih punya energi untuk menulis puisi-puisi cinta, seperti seorang remaja menulis puisi-puisi cinta untuk gadis pujaannya. Keirian itu bukan semata-mata disebabkan soal umur Syaiful yang jauh di atas saya, tetapi lebih karena memang menulis puisi cinta sejatinya bukan hal yang gampang.
Ya, siapa yang tidak iri menyaksikan (atau mendengarkan dan menikmati?) ungkapan seperti ini: waktu kosong.kau entah ke mana. aku lengang memecah/bayang berlarian. di jalan radin intan.100 pertanyaantumpah/dalam gairah sopkambing. gelombang elektromagnetik/ach! HP-mu gak aktif//kau entah ke mana/aku kerinduan membuncah. /di jalan radin intan/malam minggu terbakar. 100 percintaan// Mengenang/romeo dan juliet. mahkota biru kita//. (Syaiful Irba Tanpaka, puisi "Kau Entah ke Mana").
Sebagai pembaca, saya sering membayangkan apa yang ditulis penyair dialami saya sendiri. Maka, ketika membaca puisi tersebut di atas, saya pun membayangkan diri saya sedang menunggu seorang gadis di sebuah restoran pada suatu penggal malam minggu di Jalan Radin Intan Bandar Lampung. Mungkin ada menu sop kambing di restoran itu. Sambil bersiap menyantap seporsi sop kambing, saya pun mencoba menghubungi telepon genggam kekasih saya. Saya disergap kemasygulan karena nomor HP pujaan hati saya itu dimatikan. Jadilah malam minggu itu saya tak bernafsu menyantap sop kambing. Malam minggu jadi seperti neraka karena tidak ada "kau" (kekasihku) yang kini entah ada di mana.
Sebagai pembaca, saya seharusnya tidak memiliki "problem" pembacaan ketika berhadapan dengan puisi-puisi cinta Syaiful. Juga, semestinya, ketika saya membaca puisi-puisi karya penyair lainnya. Namun, sayang, saya mengenal secara pribadi Syaiful Irba, setelah jauh sebelumnya mengenal beberapa puisinya yang dipublikasikannya di media pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. Maka, ketika membaca puisi-puisi Bang Ipul, pertanyaan yang tiba-tiba menyergap saya adalah: mengapa puisi-puisi Bang Ipul sekarang jauh lebih cair dibanding dengan puisi-puisi lamanya?
* Oyos Saroso H.N., Penikmat puisi dan pengamat sastra, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 November 2007
No comments:
Post a Comment