BANDAR LAMPUNG (Lampost): Penyebaran sastra lisan Lampung saat ini terancam punah akibat terbatasnya penguasaan masyarakat terhadap bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Masyarakat asli Lampung pun malu menggunakan bahasa daerahnya sendiri.
Budayawan Lampung Hafizi Hasan mengemukakan hal tersebut di sela-sela Pementasan dan Diskusi Ragam Sastra Lampung di Chriza Art Galerry Jung Foundation, Senin (25-11).
Dia mengatakan persoalan mendasar tidak berkembangnya sastra lisan Lampung karena persoalan penguasaan bahasa Lampung oleh masyarakat.
"Masyarakat asli Lampung sendiri malu menggunakan bahasa daerahnya. Sehingga yang terjadi, penguasaan bahasa Lampung terutama sastra lisannya hanya dikuasai oleh kakek dan nenek mereka," kata Hafizi.
Menurut dia, pada pengajaran muatan lokal yang diajarkan di sekolah, materi yang diajarkan lebih berfokus pada pengenalan aksara Lampung saja. "Padahal pengajaran muatan lokal ini sudah diajarkan sejak tahun 80-an, tetapi hanya sebatas pengenalan terhadap aksara Lampung. Sedangkan bahasa Lampungnya belum diperkenalkan secara meluas."
Padahal, kata Hafizi, seharusnya pada penguatan lokal tersebut harus diberikan secara seimbang. "Misalnya pengenalan aksara Lampung dilakukan pada kelas I dan II, kemudian di kelas selanjutnya dilakukan pengenalan bahasa Lampung. Tapi kan yang terjadi tidak demikian. Anak-anak mengenal aksara saja, bahasa yang digunakan tetap bahasa Indonesia," ujarnya.
Akhirnya kondisi sastra lisan Lampung yang jumlahnya mencapai lebih dari 30 jenis itu sulit untuk berkembang. "Sekarang ini yang memahami mengenai sastra lisan Lampung, tinggal beberapa tokoh yang memang telah mempelajarinya sejak lama. Untuk yang dialek api, tinggal saya yang kerap memberikan sosialisasi kepada masyarakat dan pelajar. Untuk yang dialek nyow atau o, tinggal sekitar tiga orang tokoh saja."
Hafizi mengatakan dari 30-an jenis sastra lisan Lampung tersebut, baru empat sastra lisan yang sudah tergali yakni pisaan, muayak, ringget, dan wawancan. "Sementara sisanya seperti tetangguh, pepancoh, bubandung, dadi, kherasul, hahiwang, pardeni, ngegalung, dan lainnya masih sangat terbatas penggaliannya. Meskipun juga terkadang ada kesamaan di antaranya," kata dia lagi.
Sementara ketua pelaksana kegiatan Harry Jayaningrat mengemukakan bahwa diskusi sastra Lampung merupakan pencerahan keberadaan seni sastra Lampung agar para pelajar mengetahui tentang sejarah dan peta kesusastraan Lampung. "Seni sastra Lampung sebagai salah satu kesenian yang mengandung karakter seni budaya lokal yang perlu dikenalkan melalui sosialisasi, diskusi, dan sebagainya."
Terlebih lagi, kata Harry, perubahan era globalisasi yang begitu cepat dan kompleks merupakan tantangan yang harus dijawab sebagai bangsa yang sedang mengalami pembangunan. "Sehingga dalam menjawab hal tersebut, tidak bisa lagi hanya di konteks global."
Kegiatan digelar selama dua hari, 26--27 November dengan diikuti sebanyak 50 pelajar SLTA/SMK se-Bandar Lampung. Adapun hadir sebagai pembicara adalah Havizi Hasan, Azhari Kadir, Sutan Purnama, Isbedy Stiawan Z.S., Oyos Saroso H.N., A.M. Zulqarnaen, Syafril Yamin, Dharmawan, Ponco Puji Raharto, dan Ipung Purnowo. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 27 November 2007
No comments:
Post a Comment