-- Mukhammad Isnaeni dan Dian Anggraini*
BERBAHASA tidak hanya perkara mengatakan kepada orang lain tentang sesuatu hal dengan sebuah lambang verbal. Berbahasa adalah berpikir, bahasa adalah pikiran.
Bahasa bukanlah entitas otonom, melaikan representasi pengalaman manusia atas dunia. Fungsi itulah yang disebut Halliday (1978) sebagai fungsi ideasional bahasa. Lebih lanjut, Louis Hjelmslev, seorang guru besar ilmu bahasa pada Universitas Kopenhagen, Denmark, pernah berkata, "Segala ide dapat diungkapkan dalam semua bahasa."
Bahasa apa pun akan menyediakan perangkat dan peranti yang khas. Dengan bahasanya, setiap masyarakat bahasa (language community) dapat mengungkapkan cara dan konsep berpikir yang unik, autentik, dan mungkin juga renik. Bahasa berkaitan pula dengan kebudayaan seperti yang dihipotesiskan Sapir and Whorf yang berpendapat bahasa merupakan cara pandang manusia atas dunia (world-view) secara kolektif-kultural, atau menurut Saussure (1916), bahasa (langue) merupakan fakta sosial yang mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat.
Demokrasi Berbahasa
Era reformasi yang menggantikan era Orde Baru di negeri ini, secara tidak langsung, telah memfasilitasi dan memberi kelonggaran pada setiap orang untuk berbahasa sesuka hatinya. Para penutur bahasa yang semau gue, yang tidak mau tunduk pada kaidah berbahasa, akan selalu berlindung di balik tirai demokrasi berbahasa. Padahal, sikap santun berbahasa akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi bahasa penuturnya.
Memang benar bahwasanya berbahasa adalah urusan setiap individu, sehingga setiap orang bebas mengekspresikan idenya dengan menggunakan bahasa masing-masing, terserah mau memakai bahasa daerah, bahasa Indonesia atau bahasa asing. Namun, bukankah tidak ada kebebasan yang tiada batas?
Invasi Bahasa Asing
Kita semua tahu bahwa masyarakat Indonesia adalah kebanyakan masyarakat dwibahasawan (bilingual), bahkan ada juga yang menguasai banyak bahasa (multilingual), walau ada juga yang masih ekabahasawan. Selain mengusai bahasa ibu (baca: bahasa daerah), masyarakat Indonesia juga menguasai bahasa Indonesia yang dipakai sebagai lambang identitas nasional. Seiring dengan datangnya arus globalisasi, bahasa asing (baca: bahasa Inggris) juga makin menyeruak di seantero negeri ini.
Hal ini tentu saja patut diwaspadai sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi bahasa ibu dan bahasa Indonesia yang makin terbatas ruang gerak di daerah sendiri. Bagaimana tidak, hampir di sembarang tempat dan sembarang waktu, kita dapat dengan mudah menemukan tulisan-tulisan berbahasa asing yang dapat menjadi menu konsumsi publik.
Untuk menggambarkan keadaan ini, Alif Danya Munsyi, dengan penuh keprihatinan, mengatakan sembilan dari sepuluh kosakata bahasa Indonesia barasal dari bahasa asing. Artinya, secara kuantitas, bahasa asing memang sudah memonopoli hampir seluruh sendi kebahasaan di Indonesia.
Ungkapan ini, sepertinya, bukan sebagai sebuah ungkapan metaforis-hiperbolis dari sang munsyi, tapi hal ini lebih berbasis pada sebuah data empiris. Sungguh miris, bukan?
Nasib Bahasa Daerah?
Pengakuan terhadap bahasa daerah diakui konstitusi, yakni Pasal 32 UUD 1945 yang menegaskan negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian kebudayaan nasional. Hal ini berarti bahwa bahasa daerah memiliki hak hidup dalam tataran masyarakat Indonesia.
Bahasa daerah, sebagai wujud budaya tiap-tiap daerah, mempunyai peranan yang penting dalam membangun budaya nasional. Bahasa daerah merupakan salah satu akar budaya yang harus dipelihara dengan baik. Penulis percaya bahwa tanpa akar yang tumbuh kuat di budaya daerah, sangat sukar bagi kita melanjutkan membentuk budaya nasional. Kepunahan bahasa daerah sangat berpengaruh pada punahnya budaya nasional. Padahal, bahasa adalah refleksi dan identitas yang paling kokoh sebuah budaya.
Melihat makin bebasnya bahasa asing yang bergerak dan singgah di benak dan mulut penutur bahasa Indonesia, tidak berlebihan kiranya, jika Stephen A. Wurn (2001) dalam Atlas of The World's Languages in Danger of Disappearing menyatakan kepunahan bahasa daerah di Nusantara ini, jika tidak segera disikapi, tinggal menunggu waktu. Seperti yang disajikan dalam data tersebut, di Sulawesi, misalnya, dari 110 bahasa daerah, 36 bahasa terancam punah dan 1 sudah punah.
Di Maluku, 22 bahasa terancam punah dan 11 sudah punah dari 80 bahasa daerah yang ada. Ancaman kepunahan cukup besar ada di Papua. Dari 271 bahasa yang ada di sana, 56 terancam punah.
Setali tiga uang, Mendiknas Bambang Sudibyo mengungkapkan 726 bahasa daerah di Indonesia terancam punah akibat globalisasi dan perkembangan teknologi (Suara Pembaruan, tanggal 12 September 2006). Turunnya persentase penggunaan atau pemakaian sejumlah bahasa daerah, jika tidak ditangani secara benar dan serius, dikhawatirkan keberadaannya hilang dan redup di tengah terang benderang dan ingar-bingarnya penggunaan bahasa asing yang terus tumbuh dan berkembang bagai tumbuhnya jamur di musim hujan, rata dan ada di mana-mana.
Sebenarnya, bukan hanya bahasa asing yang dapat berpotensi mengancam eksistensi bahasa daerah di Indonesia, melainkan juga keberadaan bahasa Indonesia yang banyak memonopoli kegiatan formal akademik dapat menjadi variabel lain atau mempunyai kecenderungan dalam mempercepat punahnya bahasa daerah. Sudah barang tentu, hal ini patut dijadikan renungan bagi kita semua untuk dapat melakukan sinergi, antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Bahkan, sebisa mungkin, antara bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing dapat bahu-membahu, bergandengan tangan, serta tidak saling bunuh dan meniadakan.
Kita justru harus berusaha agar bahasa daerah tetap berada berdampingan dengan bahasa Indonesia. Bahasa daerah seharusnya menguatkan pengayaan terhadap bahasa Indonesia. Demikian juga sebaliknya, perkembangan bahasa Indonesia jangan sampai mengalahkan bahasa daerah, yang merupakan bagian kekuatan bangsa Indonesia.
Patut disayangkan, ada kecenderungan di wilayah tertentu yang generasi mudanya tak lagi menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari, tapi lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing. Kondisi ini diperparah sikap orang tua di rumah yang juga tidak menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi. Padahal, ranah keluarga merupakan benteng terakhir pemertahanan bahasa dan budaya daerah.
* Mukhammad Isnaeni dan Dian Anggraini, Staf Pembinaan Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sumber: Lampung Post, Senin, 19 November 2007
No comments:
Post a Comment