ALAM sedang menunjukkan keseimbangan lewat berbagai geliat yang oleh manusia disebut bencana. Sejumlah gunung berapi di Nusantara kini tengah bergolak mencapai suatu keseimbangan. Setelah Gunung Merapi dan Kelud di Jawa yang tengah bergejolak, kini Gunung Anak Krakatau pun menggeliat.
Geliat Anak Krakatau merupakan satu fenomena tersendiri. Terlebih lagi legenda Gunung Krakatau yang terletak di tengah Selat Sunda ini sudah dikenal di seluruh dunia karena ledakan dahsyatnya pada tahun 1883 yang mampu mengetarkan hampir seluruh masyarakat dunia.
Dan kini, Gunung Anak Krakatau yang telah menjadi salah satu world natural heritage atau salah satu warisan dunia dalam kondisi "batuk-batuk". Tentu saja aktivitas gunung berapi yang memang tidak bisa ditebak sama sekali ini, menjadi satu fenomena alam yang sangat langka untuk disaksikan. Hal itu membuat begitu banyak orang yang ingin menyaksikan aktivitas Anak Krakatau saat mengeluarkan kepulan asap dan abu.
Namun, memang tidak sembarangan bisa menyaksikan fenomena tersebut. Sebab, pihak BMG telah mengeluarkan larangan bagi siapa pun yang ingin mengabadikan dan menyaksikan fenomena hanya dalam radius 3 kilometer saja. Sebab, lontaran material ditakutkan bersamaan dengan keluarnya zat beracun yang mematikan atau mofet, terdiri atas C12, HCl, SO2, CO, CO2, H2, dan N2.
Meskipun demikian, tidak sedikit orang yang ingin menyaksikan aktivitas vulkanis tersebut, tidak hanya para jurnalis yang memang berlomba ingin mengabadikan fenomena langka tersebut, tapi wisatawan asing maupun dalam negeri pun ikut ambil bagian.
Bagi masyarakat Lampung yang ingin melihat aktivitas gunung yang menjadi ikon pariwisata provinsi ini, bisa dilakukan dengan berkunjung ke Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau di Desa Hargopancuran, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan. Karena dari sini kita bisa melihat aktivitas gunung berapi ini, sehingga tidaK perlu ke Anyer, Banten.
Dan di Hargopancuran ini pengunjung bisa menyaksikan geliat Anak Krakatau menggunakan teropong milik pos pemantau. Dari alat inilah pengunjung seakan-akan begitu dekat melihat fenomena tersebut. Namun, untuk menggunakan alat ini tentu saja harus mendapatkan izin petugas lebih dahulu.
Selain itu, pengunjung pun bisa secara langsung melihat aktivitas pencatatan yang dilakukan petugas terhadap aktivitas Anak Krakatau di alat seismograf. Jadi, ketika terlihat banyaknya getaran pada alat seismograf, tidak berselang lama, kita akan melihat aktivitas letusan material ke udara yang membubung.
Kepala Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau, Andi Suwardi, mengatakan berdasar pada catatan alat seismograf hari Rabu (31-10), tercatat ada 198 kali letusan. Angka tersebut turun dibanding dengan hari sebelumnya yang mencapai 237 kali. Dan dari 198 kali letusan tersebut terdiri dari letusan vulkanik A (dalam) 31 kali, vulkanik B (dangkal) 38 kali, dan tremor (gempa) 47 kali.
Akibat meningkatnya aktivitas Anak Krakatau ini, menurut dia, banyak pengunjung yang datang ke pos pemantauan. "Tadi ada turis dari Inggris yang ingin menyaksikan fenomena tersebut. Kebetulan dia sedang berlibur musim panas di sini. Makanya dia menyempatkan datang ke pos," ujar Andi.
Bahkan, tidak hanya turis asing yang menyaksikan letusan Gunung Anak Krakatau, masyarakat sekitar pos pemantauan serta masyarakat sekitar Kalianda juga kerap mendatangi pos untuk menyaksikannya.
Pada hari Kamis (1-11) sore, sepuluhan ibu-ibu, remaja, serta anak-anak menyaksikan fenomena tersebut di pos pemantauan.
Pesisir yang Memesona
Selain bisa menikmati aktivitas Gunung Anak Krakatau dari Hargopancuran, aktivitas vulkanik ini juga bisa disaksikan di pesisir Kalianda, Lampung Selatan, yang membentang begitu indahnya.
Dari pinggir-pinggir pantai seperti Way Muli, Pantai Mujang, Pantai Wartawan, hingga Pantai Canti, aktivitas Gunung Anak Krakatau juga masih terlihat. Meksipun gunung tersebut terletak di balik Pulau Sebuku dan Pulau Sebesi, masih terlihat secara samar.
Sensasi sangat berbeda ketika hari menjelang sore. Senja langit berwarna jingga yang indah dipandang mata, menemani para nelayan yang tengah mencari ikan. Walaupun tidak bisa menyaksikan sunset (matahari terbenam) karena tertutup Pulau Sebuku, tetap saja panorama itu memberikan keindahan tersendiri.
Selain itu, bagi yang memang ingin menyaksikan lebih dekat lagi, pengunjung bisa mengunjungi Pulau Sebesi yang jaraknya lumayan tidak begitu jauh dengan Gunung Krakatau. Untuk biaya sewa perahu tersedia berbagai harga dari Rp750 ribu hingga Rp1,5 juta. Dan termurah dengan menumpang angkutan perahu yang hanya beroperasi setiap pagi mengangkut penumpang Pulau Sebesi ke Pelabuhan Canti seharga Rp20 ribu.
Butun, salah seorang nelayan yang tinggal di Desa Way Muli, mengatakan dia bersama para tetangganya yang berprofesi sesama nelayan tidak begitu terpengaruh dengan aktivitas Gunung Anak Krakatau. "Ya kami masih mencari ikan. Dan hasil tangkapan juga tidak berkurang. Jumlah tangkapan berbeda hanya pada saat musim bulan atau tidak. Tapi, ikan tetap saja ada seperti teri, tanjan, simba, dan lainnya."
Dia juga mengatakan aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau tidak memberikan kengerian yang berlebihan. "Biasa saja. Paling waswas kalau-kalau ada tsunami. Karena dahulu, berdasar pada cerita para tetua saat Krakatau meletus, tsunami begitu tinggi dan banyak korban yang berjatuhan. Makanya kami tetap waspada," katanya.
Akan tetapi, untuk aktivitasnya kali ini, Butun mengatakan tidak ngeri seperti ketika ada pemberitaan tsunami serta gelombang pasang beberapa waktu lalu. "Ketika itu banyak warga sini yang menyelamatkan diri ke dataran tinggi dan bukit untuk menghindari tsunami. Tapi kalau ini mah, insya Allah tidak begitu khawatir. Karena memang sudah sering Gunung Anak Krakatau 'batuk-batuk'." n TEGUH PRASETYO/AAN KRIDOLAKSONO/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 November 2007
No comments:
Post a Comment