UNTUK melestarikan bahasa daerah, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya dengan memasukkan mata pelajaran bahasa daerah ke dalam kurikulum. Bagaimana komentar para peserta kongres bahasa tentang bahasa daerah, berikut petikannya.
Sarwit Sarwono, peserta asal Bengkulu
Sebagian besar bahasa daerah di Bengkulu masih aktif, digunakan warga. Namun, ada satu bahasa, yakni bahasa Enggano, yang terancam punah. Karena jumlah penuturnya hanya sekitar 1.000 orang yakni sekitar 50 persen dari penduduk yang bermukim di daerah tersebut.
Kita di Bengkulu terus melestarikan bahasa daerah. Caranya, dengan memasukkannya dalam kurikulum di sekolah mulai dari TK, SD, SMP, bahkan di perguruan tinggi.
Mahasiswa yang kuliah di Bengkulu wajib mengikuti mata kuliah bahasa daerah. Sehingga diharapkan mereka tidak lupa pada akar budayanya.
Aji Aditya Junior, warga perantauan di Lampung
Saya sudah 20 tahun tinggal di Lampung. Tapi sampai sekarang belum juga bisa berbahasa Lampung. Menurut saya hal itu karena warga Lampung sendiri dalam hal itu generasi mudanya gengsi dan malu menggunakan bahasa mereka.
Padahal, kalau warga Lampung menjunjung tinggi bahasa daerahnya, mau tidak mau kita pendatang pasti menggunakan bahasa Lampung. Seperti yang terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan.
Selama ini pemerintah sudah berupaya melestarikan budaya dan bahasa Lampung dengan membangun menara Siger, menuliskan nama jalan dengan huruf Lampung. Namun itu saja menurut saya belum cukup, karena baru berupa simbol.
Harus ada upaya yang lebih keras lagi dari semua kalangan baik pemda maupun warga untuk melestarikan bahasa Lampung di daerahnya sendiri.
Nadra, peserta kongres asal Sumatera Barat
Cara paling efektif untuk melestarikan bahasa daerah adalah melalui keluarga yang dilakukan ibu kepada anaknya. Sebab, sejak masih dalam kandungan, dan mulai mengenal bahasa amak sudah sangat dekat dengan ibu. Berdasarkan data, ada sekitar 1.000 bahasa daerah yang hampir punah karena jumlah penuturnya kurang dari 12 orang. Di Indonesia sendiri penggunaan bahasa daerah saat ini sudah mulai berkurang. Namun, dengan pelestarian melalui keluarga dan lingkungan, bahasa daerah akan bisa terus dilestarikan.
Di Padang, selain melalui keluarga, kita juga melestarikan petatah-petitih Minang melalui arisan-arisan. Melalui kegiatan tersebut diharapkan generasi penerus bisa lebih mencintai dan mengenal bahasa daerahnya.
Evi Maha Kasti, penduduk asli Lampung
Saya merasakan saat ini bahasa Lampung sudah mulai ditinggalkan penuturnya karena sebagian besar generasi muda di Lampung gengsi menggunakan bahasa daerahnya. Saya sendiri kalau di luar lingkungan rumah, agak malu menggunakan bahasa daerah. Sebab suka ditertawakan teman. Padahal, di kantor saya, teman-teman saya yang pendatang, dengan cueknya menggunakan bahasa daerah mereka.
Kalau soal dialek "a" dan dialek "o" menurut saya itu bukan kendala utama bahasa Lampung tidak berkembang. Saya yang berasal dari daerah yang menggunakan dialek "a" dan kemudian menikah dengan warga Lampung yang menggunakan dialek "o" tidak kesulitan belajar bahasanya. Jadi, lebih pada kesadaran masyarakat Lampung dan pendatang untuk menjunjung tinggi bahasa daerahnya agar bisa lestari. Jadi, mari kita cari persamaan untuk melestarikan bahasa Lampung, bukannya memperlebar perbedaan. UNI/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 13 November 2007
No comments:
Post a Comment