DUNIA seni rupa di Sumatera terus bergeliat lagi dengan karya-karyanya. Pameran Seni Rupa dan Dialog Seni Rupa Se-Sumatera, Sumatera Kontemporer Art, digelar lagi. Kali ini di Jambi, 27 Oktober--4 November 2007. Ini semacam tanda kehidupan karya lukis masih ada di sini.
Pengamat seni rupa, yang juga Dosen Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana ISI Yogyakarta, Suwarno Wisetrotomo, memberi apresiasi menarik soal gelaran Sumatera Kontemporer Art itu. Ia mengatakan di Sumatera inilah satu-satunya terdapat kegiatan kesenirupaan yang dilabelkan se-Sumatera dan mampu bertahan selama sepuluh kali penyelenggaraannya secara kontinu.
Sehingga ini menjadi satu macam denyut kegiatan seni rupa di Indonesia. Terlebih lagi di luar Sumatera, misalnya di Pulau Jawa dan lainnya, tidak ada satu pun perhelatan kesenirupaan yang secara spesifik disebut sebagai pameran seni rupa se-Jawa.
Meskipun itu pun menjadi satu yang tidak begitu penting mengingat di Jawa dinamika dan ruang kompetisinya begitu tinggi. Baik itu yang dilakukan oleh individu, kelompok, institusi seperti bienelle dan lainnya.
Apalagi bila itu berkaitan dengan penyelenggara kegiatan di Pulau Jawa yang bisa berasal dari lokal hingga internasional, semuanya bisa diakses dengan leluasa. Dan pameran seni rupa se-Sumatera ini menjadi sangat menarik diapresiasi penyelenggaraanya.
Suwarno Wisetrotomo mengingatkan, bahwa sebaiknya sebutan se-Sumatera yang menempel dalam event ini tidak terjebak pada rutinitas yang tidak menawarkan atau membawa perubahan apa-apa.
Akan tetapi, menurut Suwarno, semuanya harus dapat dioptimalkan dan diberdayakan antara lain untuk mengidentivikasi diri sembari melakukan semacam satu analisis SWOT (strenght, weakness, opportunity, threats). "Dengan melakukan pendekatan SWOT, akan terlihat keunggulan atau potensi, kelemahan, kesempatan, dan tantangan yang dimiliki nantinya. Pendekatan semacam ini akan membantu proses pemberdayaan menjadi lebih merata."
Apalagi seperti dikemukakan dia, ini penting dilakukan karena berhadapan dengan logika bahwa Jawa khususnya Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, atau Bali sebagai pusat pertumbuhan pemikiran dan praktek seni rupa, bahkan juga pasar. "Padahal faktanya menunjukkan di setiap wilayah, entah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, atau Papua sesungguhnya menyimpan potensi sekaligus kelemahan serta potensi dan tantangan tersendiri."
Untuk itulah Suwarno mengatakan jika se-Sumatera tersebut berhasil menguatkan keberadaannya, sesungguhnya akan memiliki peran dalam membangun politik identitas. Sebab keberagaman seni rupa Indonesia yang membentang dari ujung Sumatera hingga ujung Papua dengan lenturnya mampu menyerap segala perubahan, pengaruh, ciri, dan sebagainya dari segala perkembangan seni rupa di dunia.
Karena itu, di meminjam istilah dari tujuan pembangunan milenium atau MDGs (millenium development goals) dalam mengatasi kemiskinan yakni "bangkit dan suarakan" untuk memprovokasi seni rupa Sumatera. "Jargon ini dapat digunakan sebagai daya dorong untuk perupa dan seni rupa Sumatera dalam kaitannya memasuki ruang pergaulan yang meluas di segala level. Makanya jika ini menjadi satu jargon dan kesadaran bersama, maka dipastikan peristiwa tahunan di Sumatera ini akan menjadi pusat perhtaian yang sesungguhnya."
Buah Tangan Perupa Lampung
Tiga karya rupa dari dua perupa Lampung, Ari Susiwa Manangisi dan Joko Irianta berhasil terjual dalam Pameran Seni Rupa dan Dialog Seni Rupa se-Sumatera bertajuk Sumatera Kontemporer Art yang digelar di Jambi, 27 Oktober--4 November yang lalu.
Perupa Lampung, Ari Susiwa Manangisi, mengemukakan bahwa dua karya yang dibawanya laku terjual, sedangkan Joko Irianta, dari dua karya, satu karya yang terjual. "Karya saya yang berjudul 'Exempted' dan karya Joko Irianta yang berjudul 'mendengar, melihat, malu, lalu diam' dibeli kolektor Jambi Pak Sakti yang merupakan pimpinan harian Metro Jambi serta satu karya saya yang lain, 'Under the Golden Flame', dibeli oleh Ibu Christine dari Galery Semar Malang."
Dia mengatakan dirinya sangat appreciate terhadap apresiasi yang begitu besar ditunjukan masyarakat Jambi dalam pameran kali ini. "Bahkan dari 49 karya yang dipamerkan, 12 terjual. Sehingga ini menunjukan satu apresiasi yang tinggi yang ditunjukan masyarakat Jambi serta pemerintah daerahnya."
Tentunya, menurut Ari, dengan lakunya sebanyak 12 karya dari 49 karya yang dipamerkan menunjukan satu bentuk apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Sebab biasanya bila penyelenggaraannya di Lampung, karya lukis yang bisa terjual biasanya sekitar lima hingga tujuh karya rupa saja.
Bahkan dia juga mengatakan bahwa dalam pameran tersebut, apresiasi masyarakat yang diberikan sangat besar. "Contohnya saja para pelajar yang ada di sana diwajibkan untuk membuat karya ilmiah yang berkaitan dengan pameran tersebut. Sehingga akhirnya ini membuat para pelajar selalu datang dan hadir setiap harinya untuk menyaksikan pameran," ujarnya.
Ini tentu sangat baik sekali dicontoh oleh dinas terkait untuk bisa memberikan bentuk apresiasi terhadap karya rupa sejak dini. "Karena berdasarkan pengalaman kemarin ini, setiap harinya anak-anak pelajar ini berkumpul di arena pameran untuk menyaksikan karya rupa serta melakukan wawancara dengan perupanya. Para pelajar mempertanyakan bagaimana proses kreatif yang dijalani. Bahkan mereka datang hingga malam hari. Tentu saja ini sangat baik sekali guna memberikan sosialisasi dan pembelajaran kepada anak-anak."
Selain itu juga, menurut Ari, pameran ini memberikan satu entry point tersendiri terhadap perkembangan seni rupa kontemporer bagi perupa se-Sumatera. "Karena dalam dialog seni rupa yang menghadirkan tiga pembicara yakni Mirwan Yusuf, Adi Rosa, dan Suwarno memberikan masukan dan apresiasi terhadap perkembangan dunia seni rupa di Sumatera."
Bahkan di Jambi ini juga, kata Ari, juga digelar Festival Animasi Internasional yang diikuti animator dari berbagai negara.
"Tentunya ini menjadi satu PR bagi animator asal Lampung untuk bisa terus berkembang dan harus mengarah ke situ. Sehingga tidak tertinggal dengan animator asal daerah lain di Sumatera khususnya," kata dia lagi.
Untuk tahun 2008 yang akan datang, kata Ari, kegiatan ini akan kembali digelar di Jambi. "Berdasarkan kesepakatan kemarin, kegiatan ini akan dijadikan event tetap yang digelar di Jambi setiap memasuki bulan Oktober. Pada tahun depan, kurator yang akan menyeleksi karya rupanya adalah Mirwan Yusuf dan Suwarno."
Tentunya kata Ari, ini menjadi satu tantangan tersendiri bagi para perupa Lampung untuk bisa tampil dan terus berkarya dengan bahasa karya yang universal. Sehingga selain bisa dinikmati masyarakat Indonesia, karya rupa Lampung sudah selayaknya bisa berbicara pada dunia internasional. Atau paling tidak ini bisa diwujudkan oleh perupa Sumatera. Semoga. n TEGUH PRESETYO/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 November 2007
Lihat juga: Dialog Perupa Sumatera: Bukan Sekadar Ajang Kangen-kangenan
Pelukis Sumatera Harapkan Pengakuan Nasional
No comments:
Post a Comment