October 8, 2007

Budaya Politik: Debat tentang 'Mahan Agung'

-- Nanang Trenggono*

MENJELANG pemilihan gubernur, muncul gagasan kritis yang dilontarkan oleh calon gubernur M. Alzier Dianis Thabranie (Alzier), ketua Partai Golkar Provinsi Lampung mengenai fungsi dan penggunaan fasilitas rumah dinas gubernur. Ide yang dikemukakan, bila ia dipercaya rakyat menjadi gubernur Lampung mendatang, maka rumah dinas gubernur tidak semata-mata digunakan secara pribadi, tetapi diperuntukkan secara terbuka bagi rakyat Lampung.

Gagasan ini dipopulerkan dengan konsep "rumah rakyat". Pernyataan terbuka ini menimbulkan reaksi Gubernur Sjachroedin Z.P. secara pribadi. Selanjutnya, debat mengerucut secara diametral (dialogis) antara Alzier versus Sjachroedin. Bagaimana mengkaji debat ini? Apakah dari debat dua calon gubernur ini mengandung nilai positif?

***

Sedikit banyak sekarang ini, kita sedang berada dalam ruang kompetisi demokratis yakni dalam momen pemilihan gubernur secara langsung. Oleh karena itu, ada dua dasar pemikiran yang penting untuk memahami perdebatan dua calon gubernur tersebut.

Pertama, baik dari pengalaman yang ada di berbagai negara dunia maupun praktek politik di negeri ini, debat telah menjadi instrumen yang paling memuaskan dalam ruang publik ketika rakyat suatu daerah sedang dihadapkan pada momentum pemilihan pemimpinnya. Debat, dialog dan diskusi di hadapan publik harus ditempatkan sebagai metode untuk memenangkan pemahaman, kesadaran dan pilihan rakyat.

Debat tidak cepat-cepat dipahami apalagi disederhanakan menjadi perseteruan atau pertentangan yang akan mengurangi nilai-nilai kerukunan sosial atau harmoni kolektif. Bahkan Homi Bhabha (1994) menegaskan, bahwa "politik hanya bisa memenuhi kepentingan secara representatif bila dilakukan melalui debat publik yang benar".

Kedua, dalam pemilihan kali ini perlu dibangun sikap positif dalam kesadaran kolektif terhadap siapa saja yang mencalonkan diri menjadi gubernur Lampung ke depan. Bahkan jika perlu, didorong bagi semua tokoh yang memiliki kapasitas cukup dalam penilaian umum, untuk berpartisipasi mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur langsung.

Kita tekan dalam-dalam sikap apriori dan kecenderungan menjelek-jelekkan terhadap tokoh-tokoh yang ingin menjadi gubernur. Dengan demikian, perdebatan Alzier versus Sjachroedin dalam isu utama rumah dinas gubernur tidak disederhanakan sebagai perseteruan pribadi, tetapi sebaliknya ditempatkan menjadi wacana publik (public discourse) yang bisa diambil nilai positifnya. Lalu, apa hikmah dari debat publik tersebut?

***

Yang tidak luput dari perhatian publik, jika melewati rumah dinas gubernur Lampung yang saat ini didiami oleh Sjachroedin, maka dapat dibaca papan nama bertuliskan "mahan agung". Dalam bahasa Lampung berarti "rumah besar atau agung", yang dalam sejarah merupakan sebutan khusus terhadap rumah yang dihuni oleh pangeran.

Untuk bersikap konsisten terhadap pendekatan tulisan ini, maka tidak perlu dibahas lebih dalam suatu pertanyaan penting, "mengapa demikian?" Sebab, seperti halnya rumah-rumah dinas pejabat negara di negeri ini, banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa, dengan sebutan "pendopo" atau "pendopo agung". Lalu, telinga kita merasa familiar dengan sebutan-sebutan pendopo gubernur atau pendopo gubernuran, pendopo bupati atau pendopo kabupaten, pendopo kecamatan atau pendopo kepala desa.

Bila teks "mahan agung" disejajarkan dengan kata "pendopo" maka hampir tidak ada bedanya, semata-mata suatu istilah yang menunjukkan rumah yang dihuni oleh pejabat negara (rumah pejabat). Boleh jadi ada sedikit perbedaan, kalau istilah "mahan agung" belum sepopuler kata "pendopo", selain kesan publik terhadap sebutan "mahan agung" bisa bervariasi.

Tapi ada yang luput dari perhatian publik karena tidak pernah diungkap oleh media massa, yakni suatu gagasan yang dimunculkan oleh seorang tokoh sekelas Alzier mengenai rumah dinas gubernur memiliki dasar pemikiran. Berdasarkan pengalaman, kiprah dan perjalanan hidupnya, dapat diduga bahwa perspektif sejarah (historical approach) tentang fungsi dan nilai rumah dinas pejabat (gubernur) menjadi landasan untuk dikemukakan menjadi wacana publik.

Satu periode yang lalu, pada zaman pemerintahan daerah dijabat Gubernur Oemarsono, sebutan terhadap rumah dinas gubernur masih konservatif yakni "pendopo gubernur". Tapi pada saat itu, fungsi rumah dinas gubernur, selain menjadi tempat tinggal pribadi Oemarsono dan keluarganya, juga menjadi rumah terbuka bagi masyarakat Lampung yang ingin menggunakan pendopo gubernur untuk keperluan hajatan keluarga, diskusi mahasiswa, seminar daerah dan nasional atau acara-acara publik lainnya.

Bahkan, di awal jabatannya sebagai gubernur, Oemarsono telah beberapa kali menggelar ekspose program utama yang menjadi andalannya dalam memimpin daerah, yaitu program pembangunan desa dan pembangunan singkong rakyat yang populer dengan sebutan program DMSS (Desaku Maju Sakai Sambayan) dan Ittara (Industri Tepung Tapioka Rakyat).

Nilai yang dapat diambil dari fungsi rumah dinas gubernur pada masa pemerintahan Oemarsono adalah menjadi semacam "rumah aspirasi". Dari kacamata komunikasi, maka rumah dinas gubernur dibentuk menjadi medium komunikasi politik. Dengan demikian, gubernur secara langsung bisa merasakan, mendengar atau melihat rakyatnya dari jarak dekat.

Pada zaman Orde Baru bahkan mungkin masih dipertahankan sampai sekarang, sudah menjadi kesadaran publik bahwa walaupun tidak tepat analogi azas kekluargaan dalam politik pemerintahan, tetapi gubernur sebagai pemimpin daerah dimaknai secara simbolis sederhana sebagai bapak dan rakyat kebanyakan sebagai anak.

Rumah dinas gubernur disimbolkan sebagai rumah keluarga besar Lampung. Hal ini menjadi semacam rumah muumbi yang dalam suku asli Kenya menjadi pusat legitimasi bagi penyelesaian persoalan-persoalan sosial dan kehidupan rakyat.

Sekarang ini, pada masa kepemimpinan Gubernur Sjachroedin, rumah dinas gubernur yang diberi nama "mahan agung" memiliki kecenderungan tertutup bagi acara-acara publik. Walaupun karakter sederhana, sejuk dan nuansa elegan dari rumah gubernur ini masih tetap terjaga. Tampaknya, kemarakan rumah dinas gubernur sebagai simbol rumah aspirasi tidak terasakan lagi.

Boleh jadi, kondisi yang tenang, diam dan sepi memang menjadi karakter yang ingin dicitrakan dalam kepemimpinan Gubernur Sjachroedin. Tidak menutup kemungkinan juga, pola komunikasi politik dan penyerapan aspirasi publik diserahkan secara fungsional pada jajaran birokrasi pemerintahan daerah.

Pada sisi berbeda, pemikiran-pemikiran Alzier tentang rumah aspirasi tercerminkan dalam praktek kehidupan sosial dan politik baik sebagai sosok pribadi, tokoh masyarakat maupun ketua partai politik. Rumah merupakan tempat tinggal keluarga yang harus memberikan rasa nyaman, betah dan aman. Namun, rumah juga bisa berfungsi sebagai kantor dalam mengelola dan memimpin jabatan-jabatan publik, terbuka bagi kawan-kawan dan tamu siapa saja baik siang maupun malam.

Rumah pun merupakan medium komunikasi politik masyarakat sekitar dan publik pada umumnya, dan menjadi sumber aspirasi dalam menentukan keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan penting. Asumsi dasar tentang rumah melekat dalam perspektifnya mengenai waktu dan ruang. Rumah harus memiliki ruang yang lapang dan leluasa untuk berinteraksi banyak orang dan lingkungan yang asri, kondusif untuk bertukar pikiran, serta terbuka dua puluh empat jam untuk komunikasi politik.

Selain itu, pada saat ini, seseorang bisa menjadi pemimpin karena ditentukan oleh pilihan dan putusan rakyat. Oleh karena itu, aspek-aspek kehidupan internal dan kondisi eksternal dalam pemilihan gubernur langsung melandasi perspektifnya tentang rumah rakyat, yaitu rumah dinas gubernur akan diperuntukkan bagi kepentingan rakyat baik secara nyata maupun simbolis.

Dapat disimpulkan, dari debat publik tentang rumah dinas gubernur dalam konteks pemilihan gubernur langsung yang baru pertama kali terjadi ini telah memberi hikmah, yakni munculnya wacana publik tentang pola-pola komunikasi politik antara pemimpin dan rakyat.

* Nanang Trenggono, Dosen Universitas Lampung

Sumber: Lampung Post, Senin, 8 Oktober 2007

No comments:

Post a Comment