-- Udo Z. Karzi dan Budi Hutasuhut
KOPI lampung! Ini sudah jadi merek (ikon) Lampung yang mengglobal. Tapi, dari hari ke hari petani kopi di Lampung tak beranjak nasibnya. Harga yang tak pernah menggembirakan membuat sebagian petani berkata, "Putus hubungan dengan kopi!"
Maka sayang sekali sebetulnya. Pernah sekitar April 2002, saat tanaman kopi marak berbunga, sebagian petani di Lampung yang menjadi sentra utama kopi nasional malah beramai-ramai membongkar kebunnya. Lahannya dialihkan untuk ditanami sayur-mayur atau tanaman hortikultura lainnya.
Aksi petani itu di sejumlah kecamatan penghasil kopi Lampung, seperti di Kecamatan Sumberjaya, Fajarbulan, Way Tenong, Belalau, Batubrak, dan Liwa (Lampung Barat), Pulau Panggung dan Talangpadang (Tanggamus), Banjit (Way Kanan). Mereka kecewa karena harga kopi bukannya naik malah turun. "Kini kopi kurang menjanjikan untuk memperbaiki hidup," kata seorang petani waktu itu.
Ya, bagaimana tidak harga kopi di petani waktu itu hanya dalam kisaran Rp2.500--Rp3.500 per kilogram (kg). Kopi biji dengan kadar air 15 persen dihargai Rp3.500 per kg, sedang pada eksportir Rp4.400 per kg.
Rendahnya harga kopi membuat petani tidak bergairah mengurus kebun kopinya. Selain menelantarkan, sebagian besar petani malah sampai tahap pembongkaran tanaman kopi di kebunnya untuk digantikan tanaman jenis lain, terutama sayur-mayur.
Petani membongkar kebun kopi mulai dengan memangkas ranting dan cabangnya, lalu mencongkel pohonnya hingga akar-akarnya tercabut. Daun dan rantingnya dibakar, batangnya dijadikan kayu bakar.
Tindakan itu merupakan puncak kekecewaan atas rendahnya harga kopi biji tadi. Sebetulnya protes dimulai petani pada 2001, tetapi saat itu mereka hanya sebatas menebang pohon.
"Sekarang kami bongkar saja. Habis mau diapain lagi. Harga kopi di sini Rp2.500 per kg, tidak cukup untuk membeli sekilogram gula Rp3.200," kata Sakat, petani di Fajarbulan, Lampung Barat, waktu itu.
Beberapa petani membongkar kebunnya untuk ditanami sayur-mayur seperti tomat, cabai, sawi, kol, dan bayam.
Ekonomis Sayuran
Dalam kalkulasi petani saat itu, ketika harga kopi anjlok seperti kini, adalah lebih ekonomis jika menanam sayur-mayur. Kalau kopi dipanen hanya sekali setahun, sayur-mayur bisa dua sampai tiga kali panen. Misalnya sawi, tomat, kol, dan daun sop.
"Saya membongkar tiga rante (setara 1.200 meter persegi) untuk ditanami sayuran. Jika dibandingkan lahan kopi 1,5 hektare, hasil penjualan sayur lebih besar dibandingkan kopi," kata Siran, petani di Way Tenong.
Hasil kopi di sentra-sentra kopi Lampung Barat rata-rata 600 kg--700 kg per hektare. Jika dijual dengan harga Rp3.500 per kg (harga tertinggi kini di petani), hasilnya Rp2,5 juta per hektare atau Rp300.000 per bulan.
"Perolehan itu sungguh tidak mencukupi. Kalau dihitung dengan biaya produksi, pasti minus. Tahun lalu saya merugi Rp650.000 per hektare," kata Sujarwo Yusuf (30), petani kopi yang juga pengurus salah satu partai politik di Lampung Barat.
Sementara kalau petani menanam sayur, seperti tomat bisa tiga atau empat kali panen dalam setahun (demikian juga kol, sawi, dan daun untuk sop) keuntungan bisa Rp3 juta untuk satu jenis sayur. "Hasil tiga rante tanaman sayur bisa ngalahin hasil 1,5 hektare kopi," kata Siran.
Hampir 90 persen daerah Lampung Barat dan Tanggamus terdiri dari wilayah perbukitan dan dataran tinggi. Selain cocok untuk tanaman keras seperti kopi dan juga kakao, juga cocok untuk tanaman hortikultura seperti sawi, labu, kol, tomat, dan sayuran lainnya.
Wakil Kepala Dinas Perkebunan Lampung Tri Haryanto saat itu mengatakan kondisi pasar kopi kini membuat petani bingung. Tapi, ia tetap mengimbau petani tidak membongkar tanaman kopinya.
Harga kopi jatuh dalam empat tahun berturut-turut. Turunnya produksi dan harga kopi tidak lepas dari tiga faktor. Pertama, petani tidak serius mengurus kebun kopinya; kedua, tingginya biaya operasional perawatan seperti biaya pembelian pupuk; dan ketiga, kondisi alam yang tidak menentu.
Selain itu, kebun kopi sudah banyak alih fungsi, sedangkan pohon-pohon kopi condong dibiarkan begitu saja terbengkalai. Seharusnya, kata dia, meskipun dilakukan diversifikasi dengan tanaman lain, tanaman kopi sebagai tanaman pokok harus tetap dirawat, sehingga penghasilan petani tidak turun drastis.
Kondisi seperti ini membuat petani terkesan putus asa. Sebetulnya, kendala-kendala yang dihadapi petani kopi kini masih bisa ditanggulangi jika saja mereka mampu mengelola kebun kopinya dengan baik.
Caranya, pada masa belum panen, petani sebaiknya memanfaatkan kebunnya dengan diversifikasi tanaman, tapi kopi selaku tanaman pokok juga harus dipertahankan dan dirawat dengan baik.
Ada kesan pemerintah daerah agak menganaktirikan petani tanaman keras dibandingkan tanaman pangan. Untuk tanaman pangan, Pemda banyak membangun irigasi, bantuan bibit, dan penyuluhan-penyuluhan lainnya. Namun bagi petani tanaman keras, seperti kopi dan lada, Pemda lepas tangan.
Padahal, dalam kondisi harga kopi merosot, petani sebetulnya membutuhkan bimbingan, terutama dalam hal mengubah budi daya monokultur kopi yang dijalani turun-temurun melalui program diversifikasi. Hingga kini petani belum terbiasa melakukan tumpang sari di sela-sela tanaman kopi. Yang banyak dilakukan petani sebagai upaya mengatasi kejatuhan harga kopi adalah menanam tanaman palawija dan padi di lahan lainnya.
Ibarat lingkaran setan, itulah yang terjadi pada komoditas kopi. Masalah harga, produksi, dan kemampuan petani saling bertautan, tetapi tidak pernah mampu diselesaikan. n
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Juni 2005
No comments:
Post a Comment