-- Asaroeddin Malik Zulqornain*
KETIKA Tanoh Lappung, "Sai Bumi Ruwa Jurai" (tulisan yang terdapat pada lambang daerah Lampung) yang artinya Satu bumi dua keturunan: Pepadun dan Saibatin dipelintir maknanya menjadi "pendatang dan asli", dapat dipatahkan dengan argumen jangankan di Lampung bahkan di Kutub Utara sekalipun pasti ada penduduk asli dan pendatang.
Muncul kemudian slogan bahwa Lampung ialah "Indonesia mini". Dan Gubernur Lampung, Sjachroedin Z.P. dengan lantang mematahkan isu murahan ini dalam pidato pembukaan Pergelaran Kesenian Lampung di Saburai, tanggal 23 Juli, karena "Indonesia mini" jika diartikan sebagai tempat berkumpulnya beragam suku/etnik pasti bisa didapatkan di mana saja di wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke.
Jika di daerah lain di luar daerah Lampung filosofi "di mana bumi di pijak--di situ langit dijunjung" dapat terlaksana dengan mulus dalam arti seseorang harus segera "mem-Palembang-kan" dirinya dengan dialek: "Berapo ongkos ke Plaju, Mangcek?" (Palembang) atau mem-Betawi-kan dirinya dengan dialog "lu-gue" ketika di Jakarta dan seterusnya sampai harus memelayukan bahasanya ketika kembali ke kampung halaman setelah menjadi TKW/TKI di negeri jiran.
Di Lampung justru sebaliknya. Bahkan, muncul joke: Ada dua orang sedang terlibat pembicaraan berbahasa Lampung, lalu datang orang ketiga yang tidak bisa berbahasa Lampung. Dan agar yang bersangkutan bisa langsung terlibat pada pembicaraan, maka kedua orang itu serta-merta mengganti bahasanya bukan dengan bahasa Indonesia justru bahasa ibu si orang ketiga!
Ketiga fakta yang penulis sebutkan di atas merupakan hambatan utama dalam pemasyarakatan bahasa Lampung, kesemuanya bersumber dari tidak adanya rasa bangga menjadi orang Lampung bahkan merasa liom (malu) dan merasa diri kampungan jika berkomunikasi dalam bahasa ibunya.
Lampung sebagai kesatuan budaya rasanya tidak mungkin mengundang kontroversi; lain halnya jika menjadikan Lampung sebagai kesatuan politik dan pilihan menjadikan bahasa Lampung sebagai alat berkomunikasi antarsesama warga--sebagaimana halnya yang terjadi di seluruh wilayah NKRI--dapat dijadikan sebagai benang merah yang mengikat warga untuk membangun lampung dengan kebersamaan dalam persepsi, misi, dan visi sehingga kebangkitannya sebagai provinsi yang unggul dan memiliki daya saing dapat segera terwujud. Dan Semboyan "Demimu Lampungku-padamu baktiku" seyogianya membara di setiap jiwa warga Lampung.
Di Masyarakat Adat
Bahasa daerah Lampung merupakan salah satu dari 700 bahasa ibu yang ada di Indonesia, sampai hari ini tetap tumbuh dan berkembang, terutama di masyarakat adat di seluruh wilayah Lampung sungguhpun dalam upaya pemasyarakatannya masih dilakukan dengan setengah hati dan kurang mendapat dukungan maksimal dari pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Namun, masyarakat adat Lampung di perdesaan tetap setia memakai dan membesarkannya seperti halnya bisa kita dengar pada setiap Sabtu malam, di RRI Tanjungkarang dalam acara Ragom Budaya Lampung. Kumandang kesenian sastra lisan Lampung yang disuarakan berbagai kelompok masyarakat adat dari seluruh pelosok Lampung yang datang berbondong-bondong dengan tanpa dibayar sesen pun merupakan bukti nyata eksistensi dan revitalisasi bahasa Lampung di tengah upaya pemarginalan yang maksimal dari para elite dan tidak tersedianya pejuang budaya yang peduli dengan perkembangan bahasa lampung di level provinsi.
Elite Cuma Sibuk Seremoni
Minimnya dukungan budaya dari para elite di level provinsi tidak membuat perkembangan bahasa Lampung terpuruk, tetapi akan jauh lebih baik jika sikap moral para tokoh masyarakat adat Lampung lebih mengedepankan upaya dan strategi bersama memasyarakatkan bahasa Lampung ketimbang sibuk dalam kegiatan yang bersifat seremoni dan politik praktis thok!
Akan jauh lebih mulia jika para elite Lampung bersikap bijak untuk menyosialisasikan pembuatan Perda Penggunaan Bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari atau memperjuangkan terbitnya Peraturan Gubernur tentang Kewajiban Berbahasa Lampung bagi setiap pejabat dalam acara nonresmi, misalnya, ketimbang meneriakkan kegalauan bahwa 75 tahun lagi bahasa lampung akan punah.
Terlebih lagi penilaian seperti yang disuarakan Rektor Unila Muhajir Utomo; "Bahasa Jawa atau Minang tidak usah dimotivasi pemerintah sudah bisa berkembang dengan sendirinya, tetapi kalau bahasa Lampung, kan tidak? Bahasa Lampung membutuhkan komitmen dan kesungguhan pemerintah daerah untuk membangkitkan kembali bahasa daerahnya," (Lampung Post, 22-2-2007). Tentu akan jauh lebih mulia jika beliau berketetapan hati untuk membuka kembali program studi D-2 & D-3 Bahasa Lampung yang sejak tahun 2003 ditutup.
Revisi Program Mulok
Memang pemerintah daerah khususnya bidang pendidikan telah melaksanakan program dalam upaya pelestarian bahasa Lampung, yakni memasukkannnya dalam kurikulum muatan lokal sejak SD sampai SMA.
Dalam pelaksanaannya memang mengalami hambatan ketika harus diimplementasikan mengingat ukuran keberhasilan dari pembelajaran bahasa Lampung tersebut tidak muncul di tingkat operasional ketika siswa berkomunikasi. Hal ini terjadi mungkin akibat ditetapkannya skala prioritas dalam kurikulum tersebut pada kemampuan siswa menulis aksara Lampung (Kaganga) ketimbang dapat bicara bahasa Lampung.
Untuk ke depan, akan jauh lebih baik jika kurikulum tersebut direvisi, dalam arti untuk tingkat SD sampai SMP lebih fokus pada kurikulum pembelajaran bahasa Lampung secara aktif, sehingga hasilnya dapat dinikmati langsung anak didik baik dalam berkomunikasi verbal dengan lingkungan dan orang tuanya maupun untuk korespondensi. Untuk belajar aksara Lampung dapat dimunculkan di tingkat SMA.
Hal ini perlu segera dibenahi karena output muatan lokal bahasa daerah Lampung kini hanya sekadar mengantarkan anak didik untuk dapat menulis aksara Lampung dengan benar, sehingga terkadang muncul kebingungan dari para orang tua yang notabene biasa berbahasa Lampung ketika putranya memintanya untuk menyelesaikan pe-er yang ditulis dalam aksara Lampung!
Jika hal ini bisa dilaksanakan, penulis yakin bahwa generasi muda Lampung terutama di daerah perkotaan dapat berkomunikasi dalam bahasa Lampung dan tujuan pendidikan bahasa Lampung di sekolah akan menuai hasil yang maksimal. Sebaliknya jika kurikulum tidak di revisi, proses pemasyarakatan bahasa daerah Lampung akan terkendala dan hanya sekadar berfungsi sebagai penambah nilai untuk bisa lulus sekolah tepat waktu.
Tidak Cukup Sekadar Merek
Melampungkan kelampungan orang Lampung dengan menjadikan bahasa Lampung sebagai bahasa pergaulan antarsesama warga di seluruh wilayah Lampung pada akhirnya akan dapat membangun jati diri orang Lampung yang ber-piil pesenggiri bukan sekadar klise dalam sebutan kopi lampung, Plaza Lampung, dan sebagainya.
Penyadaran untuk bersama berbahasa Lampung paling tidak dalam pergaulan sehari-hari, entah di pasar, kantor, rumah atau di mana saja dan kapan saja diharapkan akan dapat menumbuhkembangkan kesadaran menjadi orang Lampung sejati. Bagi penduduk asli memulainya dengan meminggirkan budaya liom ketika harus berkomunikasi dalam bahasa ibunya dengan siapa pun, dan pendatang mesti memiliki rasa bangga untuk menjadi orang Lampung.
Jangan Saling Menyalahkan
Siapa pun dia, dari mana pun asalnya, ketika merasa sudah pandai berbahasa Lampung mesti siap dan berani menyebarluaskannya kepada orang-orang terdekat di sekitarnya, begitu pula halnya kepada yang ingin belajar, maka dia harus berguru karena bagaimanapun juga takkan ada guru yang mencari muridnya!
Pemerintah daerah memang berkepentingan dan bertanggung jawab dalam pelestarian bahasa Lampung, tapi dalam prosesnya harus melibatkan seluruh warga tanpa terkecuali dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sebagai proyek moral pertanda rakyat Lampung sejati.
'Dialek' Lampung-Indonesia
Pada saatnya nanti Indonesia akan mengenal "dialek" Lampung--Indonesia yang khas dan unik di media TV Nusantara, sehingga peranannya dalam perkembangan bahasa Indonesia dapat diperhitungkan dan disejajarkan dengan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu dikenal.
Kondisi ini segera kami nikmati jika budaya liom ulun lappung dan budaya bangga pendatang yang tidak bisa bicara lampung binasa bersama berkat tuah piil pesenggiri yang menjadi kekuatan sejati rakyat Lampung. Jika prosesi sebambangan (bergabungnya dua kekuatan yang saling mencintai) ini terjadi, insya Allah bahasa Bumi Ruwa Jurai akan berkumandang di jagat Nusantara. Kimak ganta, kapan lagi, kimak kham, sapa lagi, puakhii. (Sukamaju, 29-8-07)
n Asaroeddin Malik Zulqornain, sastrawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 September 2007
No comments:
Post a Comment