September 13, 2009

[Perjalanan] 'Ngabuburit' di Pelabuhan Srengsem

TAK ada sunset hanya ada siluet. Tak ada permainan, hanya ada rasa dan suasana laut. Tetapi, Pelabuhan Srengsem, Bandar Lampung, tetap dihadiri warga. Sekadar melewatkan sore atau merasakan hawa laut.

Rabu (9-9), menjelang magrib, cuaca Kota Bandar Lampung cukup cerah. Tetapi musim angin laut yang sedang melanda membuat air di laut Teluk Lampung cukup menggejolak. Empasan ombak kepada setiap benda yang berada di tepi laut demikian keras. Sehingga, suara riak airnya menjadi orkestra warga tepi pantai sore itu.

Hari itu, Ramadan hari ke 19 tahun 1430 Hijriah. Lapar dan dahaga yang memuncak dirasa harus ada pengalihan perhatian. Maka, berbondong-bondong ratusan warga, dengan sepeda motor dan pejalan kaki, membawa alat pancing atau sekadar lenggang, memasuki pintu gerbang pelabuhan tua itu. Ya, pelabuhan kapal feri yang memasuki masa kedaluwarsanya pada 1981, saat Pelabuhan Bakauheni di ujung Lampung Selatan mulai dioperasikan.

Pelabuhan itu memang sudah menjadi monumen. Sejak ditinggalkan kapal-kapal feri yang sebelumnya rutin menyandari untuk menyeberangkan penumpang ke Merak (Banten), pindah ke Pelabuhan Bakauheni pada 1981, dermaga itu kesepian. Dinginnya udara laut dan debur ombak mengikis kerinduan dermaga kepada kapal-kapal itu makin jauh. Kini, fasilitas-fasilitas yang ada di tempat sandar kapal seluas dua hektare itu mulai luruh.
Di ujung dermaga, kapal beton bekas tanker tetes tebu milik PT GMP yang rebah dalam sandaran. Kini, kapal terbuat dari semen itu tinggal puing dan menjadi prasasti. Juga tiang-tiang besi tempat bertautnya tali-tali kapal yang termakan timbrah.

Namun, tanggul dengan lebar empat meter sepanjang sekitar 100 meter menjorok ke laut itu masih utuh. Dengan konstruksi fondasi beton di samping, jalan aspal di atas, dan trotoar semen yang di bawahnya terpendam saluran air, dermaga itu nyaman untuk menyambangi laut.
Merasakan belaian angin laut sejauh 100 meter ke tengah memang tidak bisa dilakukan jika tidak naik perahu. Namun, dengan menyusuri ujung dermaga itu, kita sudah dapat merasakan desah laut yang sesungguhnya.

Sore itu, langit di atas dermaga tidaklah cerah sehingga matahari yang akan tenggelam di ufuk barat terhalang awan. Sinar lembayung jingga yang biasanya membentuk siluet di langit dari latar belakang gunung-gunung di wilayah Pesawaran, hari itu tidak ada. Sinar jingga di kala sore itu, biasanya membiaskan warna di air laut yang mengombak menggoyang perahu-perahu nelayan.

Meski tak ada sinar, nelayan masih tampak beraktivitas di Teluk Lampung. Entah apa kegiatan mereka, apakah memancing ikan, menjala, atau berdagang berbagai kebutuhan kepada awak-awak kapal besar yang menunggu jadwal sandar untuk membongkar atau memuat barang di Pelabuhan Panjang.

Sementara itu, lampu kapal-kapal besar itu mulai mengerlip menjelang magrib. Itu terlihat ketika darat mulai temaram.

Pemandangan di sisi Utara Pelabuhan Srengsem, adalah rumah-rumah nelayan dengan model bangunan panggung berada di atas air laut. Di saksikan dari ujung dermaga, rumah-rumah itu menunjukkan komunitas khas warga yang dengan profesi yang berhubungan dengan laut. Sebab, sesungguhnya hunian seperti itu amat rawan jika gelombang besar menerpa.

Di belakangnya lagi, Pelabuhan Panjang bertahta. Ada kapal-kapal barang dan peti kemas yang berlabuh dengan irama yang terasa amat lamban. Di latarnya lagi, terlebih jika malam menjelang, wajah Kota Bandar Lampung di sisi selatan, yakni Telukbetung dan sekitarnya seperti kelimun kunang-kunang. Sinar lampu-lampunya berpendar dengan latar belakang gelap kelam.

Di sini selatan memang agak kurang menyenangkan pemandangan. Meski ada jeda pantai yang bisa dipakai berenang dan main pasir, 200 meter berikutnya adalah bangunan galangan kapal yang angkuh. Bangunan itu menjorok ke laut dengan menghilangkan pasir pantai menjadi pagar tembok perusahaan.

Di lokasi itu, terlihat derek-derek crane dengan tali-temalinya menjulang bagai menara seluler. Jumlahnya cukup banyak. Di ujung lokasi itu, ada pos pengamanan yang posisinya ditinggikan seperti menara pandang pemantau penjara.

Di lokasi bekas dermaga itu, fasilitas-fasilitas yang semula sebagai ruang tunggu dan kantor itu masih ada. Fasilitas-fasilitas ini sempat dipakai Dinas Perhubungan untuk berkantor. Namun, dalam 10 tahun terakhir, fasilitas itu tidak dimanfaatkan.

Namun, lokasi itu juga cukup memberi rasa aman kepada pengunjung yang membawa kendaraan roda empat. Di pelataran yang cukup luas, ada beberapa unit gedung yang ditinggali. Juga beberapa warung yang melayani pendatang dengan aneka penganan dan kebutuhan lainnya.

Pendatang lokasi "wisata" yang oleh penjaga pintu dikutip Rp2.000 per orang secara amatiran itu memang didominasi remaja. Namun, ada juga keluarga kecil dengan satu atau dua anak.
Mereka memang tidak tamasya (leisure) seperti umumnya nyantai ke pantai. Mereka hanya singgah menikmati udara laut yang semilir melebihi semburan kipas angin, juga bau laut yang menumbuhkan suasana kebebasan.

Hampir tidak ada yang terlalu lama bertahan dalam belaian angin laut itu. Sebab, memang tidak memungkinkan menggelar tikar, lesehan makan bersama, atau merebahkan diri di selasar sambil bergitar.

Dermaga yang kini dimiliki oleh PT Kereta Api (PT KA) ini memang bukan tempat yang nyaman untuk berwisata. Tetapi, di musim mudik ini, tempat ini sangat cocok bagi rombongan pulang mudik untuk beristirahat sejenak melepas penat. Satu atau dua jam berada di sini, bisa menyegarkan kembali pikiran, mata, dan tenaga. Mampir, Mas! n SUDARMONO

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 September 2009

No comments:

Post a Comment