September 2, 2009

Pengajaran Bahasa Lampung: Sebagai Bahasa Kedua atau Bahasa Asing

Oleh Imelda


MENGALAMI sendiri sebagai orang Lampung yang baru mendapatkan pelajaran resmi bahasa daerahnya ketika kelas II sekolah menengah pertama (1990--1991), sebelumnya saya menamatkan sekolah dasar di Kota Serang yang sekarang menjadi Provinsi Banten, membuat saya berpikir mengenai apa sebenarnya sasaran pengajaran bahasa Lampung.

Pada masa ujian akhir kelas dua SMP, saya mendapatkan ujian bahasa daerah Lampung. Saya kira akan seperti ujian bahasa daerah Sunda yang ditulis dengan huruf latin, tetapi yang saya temukan adalah tulisan yang seperti huruf Jepang, yang membacanya pun saya tidak mengerti. Belum lagi ada pula soal-soal ujian yang ditulis dengan huruf Lampung kuno yang membuat saya mati kutu.

Menghadapi hal itu saya memutar otak. Kebetulan ada seorang teman yang bersuku Jawa yang duduk di belakang saya. Ia tentu tidak mengerti bahasa Lampung karena bahasa ini jarang terdengar di ruang-ruang publik. Sedangkan saya lahir dan besar di keluarga Lampung. Bagi saya, bahasa ini bukan bahasa yang asing karena orang tua, terutama ibu, adalah seorang Lampung totok, sehingga persentase berbahasanya lebih banyak berbahasa Lampung dibandingkan bahasa Indonesia.

Posisi teman saya sebagai orang Jawa tidak seberuntung saya yang bisa mengerti bahasa Lampung. Namun, teman saya itu memiliki kelebihan sangat pandai membaca huruf-huruf Kaganga. Dengan mengelaborasikan kelebihan kami masing-masing akhirnya kami mampu menyelesaikan soal dengan baik.

Soal-soal tersebut sebenarnya sangat mudah, tetapi menjadi sulit ketika saya harus membacanya dengan tulisan yang baru saya pelajari. Boleh dikatakan bahwa saat itu saya bisa mengatakan itu tulisan Kaganga pun sudah sangat bagus.

Pandainya teman saya yang bersuku Jawa membaca tulisan Kaganga dan bodohnya saya ketika tidak membaca tulisan itu membuat saya berpikir mengenai apa sebenarnya sasaran pengajaran bahasa Lampung yang mungkin sampai kini belum atau mulai disadari.

Melalui teori pengajaran bahasa Inggris yang saya pelajari ketika di Universitas Lampung (Unila) dulu, saya mulai berefleksi bahwa sebenarnya pengajaran bahasa Lampung tersebut sangat rancu. Ini tentu saja berhubungan dengan keinginan pemerintah membentengi bahasa Lampung dari kepunahan yang digembar-gemborkan pada era itu hingga sekarang.

Bahasa Asing atau Bahasa Kedua

Pengajaran yang menempatkan bahasa sebagai bahasa asing diibaratkan seperti orang Indonesia yang sedang belajar bahasa Inggris. Dalam tujuan akhir pengajaran bahasa Inggris tersebut, orang-orang Indonesia dituntut untuk bisa menguasai teks tertulis, sehingga yang ditekankan ialah pengajaran membaca dan menulis.

Di lain pihak, pengajaran yang menempatkan bahasa sebagai bahasa kedua diibaratkan seperti orang Malaysia yang belajar bahasa Inggris. Bagi mereka, tujuan akhir pengajaran bahasanya ialah untuk dapat berkomunikasi secara baik dengan 4 skill, terutama komunikasi oral: berbicara. Hal ini akhirnya membuat pengajaran menekankan pada kemampuan mendengarkan dan berbicara.

Dalam konteks bahasa Lampung yang menghadapi kepunahaan, pengajaran bahasa Lampung masih terdengar ambigu. Di satu sisi ingin membuat bahasa Lampung hidup dalam percakapan sehari-hari. Tetapi di sisi lain, sasaran pengajaran bahasanya masih berorientasi pada teks.

Otonomi Daerah dan Kebijakan Bahasa

Dalam konteks otonomi daerah, kebijakan pelestarian bahasa daerah/Lampung tampaknya mendapatkan perhatian yang cukup besar, mengingat bahasa juga menjadi penanda identitas ke-Lampung-an. Beberapa pertemuan adat atau kongres daerah mencatat bahwa penggalakkan penggunaan bahasa Lampung sangat penting. Bahkan, pemerintah daerah mulai pun mewajibkan berbahasa daerah pada hari tertentu. Entahlah apakah hal ini cukup efektif.

Bagi saya yang pernah mengalami permasalahan dalam pengajaran Bahasa Lampung pada masa lalu, mungkin sampai sekarang, kebijakan-kebijakan tersebut tidak akan berarti apa-apa, karena tujuan pengajarannya pun masih tidak jelas: sebagai bahasa asing atau bahasa kedua? Di satu sisi ingin membuat anak-anak bisa menggunakan bahasa secara aktif (bahasa Lampung sebagai bahasa kedua), tetapi di sisi lain, pengajaran bahasa Lampung yang ada tidak membuat mereka mampu.

Tulisan ini hanya untuk kembali mengingatkan bahwa kebijakan bahasa pada era otonomi daerah ialah menghidupkan kembali bahasa Lampung. Dengan demikian, perlu kiranya pemerintah daerah kembali menyelaraskan pengajaran bahasa daerah ini dengan sasaran akhirnya: bahasa Lampung kembali hidup.

* Imelda, peneliti Etnolinguistik di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI.

Sumber: Lampung Post, Rabu, 2 September 2009

No comments:

Post a Comment