September 27, 2009

Demokratisasi Masyarakat Adat Sungkai

Oleh Syafarudin*

DEMOKRASI liberal yang menekankan kebebasan individu, pengakuan hak sipil, dan kesetaraan kini menjadi alternatif menggiurkan bagi masyarakat yang sudah bosan dengan praktek pemerintahan aristokrasi.

Dalam pandangan liberal, "demos" dan "kratos" mesti benar-benar menjadi pemerintahan rakyat, bukan lagi menjadi pemerintahan yang dimonopoli sejumlah elite yang memperoleh kekuasaan tanpa berkeringat karena hanya faktor keturunan semata.

Demokrasi dalam pandangan liberal diasumsikan sebagai tata nilai atau aturan yang disepakati bersama antarindividu. Meski demokrasi memberi ruang kepada negara atau kelompok, tetaplah mengutamakan pengakuan hak-hak sipil, mengakui pluralitas, melindungi semua dan menghindari diskriminasi.

Oleh sebab itu, demokrasi harus dapat membagi peran dan fungsi setara kepada tiap individu dan institusi perwakilan. Demokrasi harus dapat mendistribusikan kekuasaan secara adil dan merata. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh cabang atau unit pemerintahan harus dapat dibatasi dan dikontrol.

Bahkan demokrasi harus pula mampu menjamin masyarakat untuk memperoleh berbagai kebebasan, seperti menyatakan pendapat, berkelompok, berpartisipasi, kesetaraan gender, rasa saling percaya, dan kerja sama. Demokrasi menekankan adanya equality.

Terlepas dari kelemahannya dalam praktek, tapi sihir kesempurnaan demokrasi deliberatif ini secara normatif, sejauh yang saya amati bukan saja menjadi bahan tuntutan masyarakat di level negara, daerah, parpol, asosiasi, dan kelompok kepentingan. Namun juga kini melanda kelompok masyarakat adat yang masih mewarisi pola pemerintahan aristokrasi yang sudah berlangsung lama sejak zaman kerajaaan nusantara atau sebelum negara lahir.

Proses demokratisasi itu saya amati di Lampung sedang berlangsung cepat pada masyarakat adat Lampung Sungkai pascaberakhirnya rezim Orde Baru. Pemangku adat dan kalangan reformis adat dari strata rendah melakukan kesepakatan baru yang sebelumnya tidak pernah dilakukan, yakni membagi kembali peran, fungsi, kewenangan, dan kekuasaan.

Ada yang tetap menjadi konvensi, tapi ada juga yang dituangkan tertulis, bak kontrak sosial, dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga mereka. Kekuasaan trias politika tidak lagi berpusat di pemangku adat, tidak menyebar ke kalangan reformis adat yang memiliki strata adat rendah tapi memiliki kompetensi. Interaksi eksternal masyarakat adat di bidang ekonomi, pemerintahan, pembangunan, dan hukum, misalnya, kini diwakili oleh kalangan profesional. Seperti melakukan kontrak proyek pembangunan dengan pihak lain. Misalnya masyarakat adat Lampung Sungkai membuat MoU dengan Pemda Lampung Utara, BUMN Gula/PTPN VII Unit Usaha Bunga Mayang. Atau ketika masyarakat adat Lampung Sungkai mengusulkan untuk membentuk kabupaten Sungkai Bunga Mayang dan memisahkan diri dari kabupaten induk Lampung Utara.

Apa yang diutarakan Robert A. Dahl dan Schumpeter mengenai polyarchy dan demokrasi prosedural secara perlahan mereka akomodasi dan praktekkan. Mereka mencoba meniupkan kesetaraan, kebebasan, hak individu, perwakilan, partisipasi, dan kontestasi. Ada mekanisme kontrol dari anggota masyarakat adat melalui jenjang rapat atau musyawarah. Pemilihan pemimpin dan pengurus lembaga musyawarah masyarakat adat dapat juga dilakukan melalui voting jika gagal bermusyawarah. Saluran informasi terbuka dan tidak dimonopoli pemimpin atau buwai tertentu. Mereka juga menjamin hak politik warga untuk bergabung ke parpol atau kelompok kepentingan. Hingga sekarang mereka sangat dinamis berdemokrasi, memperbaharui dan meninggalkan bentuk-bentuk aristokrasi yang menghambat kemajuan.

Alasan mereka berdemokrasi liberal, tampaknya dipengaruhi kondisi eksternal dan internal. Kondisi eksternal di antaranya (a) terbukanya sistem politik nasional pascatumbangnya rezim Orba, (b) masyarakat adat yang sudah termarjinalisasi dan terkikis eksistensi mereka karena politik penyeragaman UU 5/1979, mereka kemudian melihat peluang partisipasi politik pada UU 22/1999 dan 32/2004, dan (c) interaksi politik dengan aktor negara dan pasar menuntut mereka terlembaga secara modern.

Kondisi internal di antaranya (a) makin banyaknya sumber daya manusia mereka yang berkualitas baik dari sisi pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial, profesi, dan pengalaman, (b) gelombang regenerasi dan upaya generasi muda mewujudkan modernisasi, persamaan, dan keadilan politik, dan (c) muncul keinginan kolektif untuk lebih memperjelas eksistensi dan peran ekonomi dan politik di antara masyarakat adat Lampung yang lain yang lebih dulu eksis. Seperti Abung Siwo Migo yang kadang diidentikan dengan "penguasa sah" secara historis wilayah Kabupaten Lampung Utara. Atau Migo Pak Tulangbawang yang identik dengan "penguasa sah" secara historis wilayah Kabupaten Tulangbawang.

Konsolidasi demokrasi mereka yang masih baru, tapi kental dengan nuansa kompetisi dan partisipasi yang cukup tinggi, agaknya memang memiliki korelasi dengan pembentukan polyarchy ala Robert A. Dahl. Mereka berupaya menggeser pola-pola aristokrasi atau demokrasi hegemoni tertutup yang sebelumnya ditandai dengan kompetisi dan partisipasi yang rendah di kalangan elite dan anggota biasa masyarakat adat. Proses membentuk polyarchy atau bahasa elite mereka (Anshori Djausal) menyebutnya dengan istilah membentuk "masyarakat madani", tidaklah bisa dilakukan secara instan tapi memerlukan waktu yang cukup panjang.

Yang menarik diperhatikan, kelebihan mempraktekan demokrasi liberal ini adalah bentuknya yang tertulis dan terukur. Mengakomodasi kontestasi dan partisipasi. Berupaya lebih menghargai kebebasan dan persamaan. Namun ada juga kelemahannya, yakni kurang memperhitungkan dimensi-dimensi non-elektoral seperti historis dan budaya politik Lampung yang umumnya masih melekat kuat. Apalagi masyarakat adat Lampung menjunjung tinggi salah satu prinsip hidup juluk-adek yakni pemberian panggilan berdasarkan nasab keluarga dan silsilah keturunan.

Kontestasi dan partisipasi yang dipertunjukan bisa saja tetap semu karena di bawah bayang-bayang tekanan historis-struktural yang bersifat geneologis-parokial. Namun demikian, eksperimentasi perkawinan aristokrasi, demokrasi modern, dan kekuatan kapital yang tergolong dinamis ini tetap saja diharapkan banyak pihak mampu melahirkan demokrasi komunitarian substantif di ranah Lampung. Tabik pun..

* Syafarudin, Staf Pengajar FISIP Unversitas Lampung

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 September 2009

No comments:

Post a Comment