September 13, 2009

[Harmoni] Keluarga Ivan Sumantri Bonang: Mengembalikan Dongeng ke Rumah-Rumah

IIN Muthmainnah tidak sanggup lagi menahan katupan kelopak matanya. Seakan tidak peduli dengan rasa penasaran empat bocah cilik yang tiduran di dekatnya, dengkur Iin menjadi penutup dongeng yang belum usai.

"Uhhh, Bunda gimana sih, ceritanya kan belum selesai, kok udah tidur," kata Nada Khalisha Syifa Fadhilla (10) dengan merengut. Disusul, komentar serupa dari adik-adiknya, Luthfiyya Dyah Rhainaratri (8), Aryo Immaduddin Dzaky Bonang (5), dan Ken Jisnu Pranaja Prabaswara (3).

"Iya lo, Bunda, gimana nasib tuan putrinya ya. Huuh, Bunda udah tidur sih," timpal Luthfiyya. Akhirnya, empat kakak beradik itu sepakat bermain sendiri-sendiri menjelang mata ikut terlelap menyusul dengkuran sang bunda.

Peristiwa ini kerap sekali terjadi. Di tengah rasa letih bekerja seharian, Iin selalu menyempatkan diri mendongeng untuk anak-anaknya. Tidak hanya menjelang tidur, hampir setiap saat, empat bocah kecilnya merengek minta didongengkan.

"Karena saking sudah terbiasanya didongengkan, kadang-kadang anak-anak memaksa ayah-bundanya mendongeng. Entah ayah-bundanya lagi capek, mereka tidak mau tahu, pokoknya dongeng. Eeh, bukannya yang didongengkan tidur, malah pendongengnya yang ketiduran," kata Iin sambil tertawa.

Menurut Iin, kebiasaannya mendongeng kepada anak-anak berdampak positif bagi perkembangan anaknya. Melalui dongeng, Iin menyampaikan ilmu dan nilai-nilai dengan cara yang menarik dan menyenangkan. Makanya tidak heran, dua anaknya, Nada dan Luthfiyya yang saat ini sekolah di SD Sekolah Alam Lampung memiliki kemampuan di atas rata-rata.

Selain kemampuan berkomunikasi dan keberanian mengemukakan pendapat, Nada malah mewarisi ilmu mendongeng dari sang Ibu. Bahkan, beberapa kali Nada tampil sebagai pendongeng cilik di televisi lokal.

"Dongeng bisa menerapi kemampuan anak. Ada 12 kecerdasan anak yang bisa ditingkatkan melalui dongeng, kecerdasan bahasa, verbal, linguistik (bahasa), konseptual, motorik dan lainnya," kata pendiri Komunitas Dakocan wilayah Lampung ini, Rabu (9-9), di rumahnya Jalan Teuku Cik Ditiro, Perumahan Ragom Gawi III, Blok D3 Nomor 1, Kemiling, Bandar Lampung.


Suasana sore itu sangat ramai. Selain Iin dan suami, Ivan Sumantri Bonang, ikut nimbrung empat anaknya berbincang dengan tim redaksi Lampung Post.

Menurut Irvan, sebagian masyarakat, terutama orang tua, sudah mulai melupakan kebiasaan mendongeng kepada anak-anak mereka. Kesibukan bekerja dijadikan alasan untuk tidak melakukan terapi yang mudah dan murah ini. Dalam ilmu psikologi, bercerita atau mendongeng termasuk salah satu metode hipnoterapi untuk menerapi kemampuan anak agar berkembang secara optimal.

"Sebenarnya anak-anak hanya butuh 10--15 menit yang memukau untuk mendengarkan cerita atau dongeng dari orang tuanya. Informasi yang mereka dapatkan selama 15 menit itulah yang akan mengendap dan menjadi memori jangka panjang yang suatu saat akan di-review kembali oleh anak di masa depannya," kata Irvan.

Untuk menciptakan 15 menit yang memukau itu, orang tua tidak harus pintar bercerita. Sejatinya, setiap harinya, orang tua cukup meluangkan waktu 15 menit untuk memberikan perhatian dan kasih sayang sepenuh hati kepada anaknya. Saat di mana orang tua tidak memikirkan yang lain kecuali bagaimana anak tertarik dengan cerita yang disampaikan. Membangun kedekatan emosional dengan anak.

Untuk mengembalikan kebiasaan mendongeng ke rumah-rumah. Irvan dan Iin mendirikan Komunitas Dakocan pada 28 November 2002. Komunitas ini memulainya dengan mendongeng ke lembaga pendidikan prasekolah. Bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bandar Lampung, Komunitas Dakocan mendongeng ke 22 TK dan PAUD di Bandar Lampung.

Saat itulah Ivan menyadari, ternyata tidak hanya orang tua yang telah melupakan pentingnya mendongeng, para guru pun sangat jarang menerapkan metode dongeng untuk menyampaikan nilai dan pengetahuan kepada anak. Metode pengajaran yang diterapkan di sekolah masih searah dan menoton.

Anak-anak tidak diberi kekebasan untuk memilih dan menjadi diri sendiri. Sehingga, anak-anak belajar dalam keterpaksaan. Hal ini cenderung menghambat dan membunuh potensi unik yang ada dalam diri anak didik. Sejatinya, setiap anak harusnya belajar dengan rasa gembira. Tanpa tekanan dan paksaan dari lingkungannya. Banyak metode yang bisa diterapkan untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, salah satunya adalah dengan mendongeng.

Kondisi ini semakin menggugah pasangan yang sudah menikah selama 11 tahun ini untuk melatih kemampuan mendongeng bagi para guru. Tahun ini, Komunitas Dakocan menargetkan 1.300 guru TK/PAUD se-Lampung mengikuti pelatihan mendongeng dan bercerita. Juga diadakan lomba bercerita bagi para guru, dan pementasan drama Ali Baba bekerja sama dengan TK Al-Azhar.

Selain melatih para guru, Komunias Dakocan juga melatih para orang tua agar bisa mendongeng dan bercerita. Dengan satu harapan, dongengan itu bisa kembali ke rumah-rumah. Tempat di mana anak mendapatkan perhatian utuh dari kedua orang tua mereka. n RINDA MULYANI/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 September 2009

No comments:

Post a Comment