September 6, 2009

[Perjalanan] Membelah Teluk Lampung Sambil Memancing

MENYALURKAN hobi itu memang kerap mengenyampingkan sejumlah faktor. Apalagi kalau melaksanakan hobi itu rame-rame dengan teman-teman yang memiliki kegemaran yang sama.

Itulah yang kami lakukan, para penyuka penarik tali senar di laut alias memancing, meluangkan kesempatan itu pekan lalu dengan mancing bersama meski di bulan puasa. Loh, puasa kan bukan berarti kegiatan memancing berhenti?

Memancing kali ini cukup istimewa karena mencoba kapal baru milik Pemda Kabupaten Tanggamus. Selain itu, si pemilik kapal, yakni Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan pun turut serta dalam rombongan memancing.

Tidak hanya itu, Bupati Pringsewu Masdulhaq yang bisa disebut maniak mancing juga tak absen. Rupanya, dua pemilik wilayah di dua kabupaten ini punya hobi yang sama: menjelajahi laut sambil memancing.

Kami, sekitar 16 orang, berangkat dari Dermaga Puri Gading, Telukbetung. Kapal motor berawarna putih dan berlogo Kabupaten Tanggamus telah bersandar di sana. Memang kapal ini selalu berlabuh di Purigading. Alasannya, akses menjelajahi perairan Tanggamus dan sekitarnya lebih strategis dari dermaga ini.

Sekitar pukul 10.00 WIB kami sudah di dermaga. Namun, rombongan Bupati Tanggamus masih di jalan. Bahkan, sempat mencari umpan memancing, cumi.

Pagi itu angin cukup kencang dan gelombang lumayan tinggi. Bahkan, berdasar informasi dari BMKG Lampung, tinggi gelombang di perairan Lampung dan Selat Sunda mencapai di atas dua meter. Tapi, dasar keinginan kuat buat memancing, hampir semua rombongan berkukuh mau jalan terus.

Sambil menunggu rombongan, Jaya, pakar memancing yang juga perancang kapal yang akan kami tunggangi ini, menjelaskan kalau kendaraan laut ini memiliki kecepatan mencapai 27 knot/jam atau lebih cepat dari kapal cepat yang biasa dipakai untuk mengangkut penumpang Bakauheni--Merak. Mesin yang digunakan juga jenis Suzuki 400 PK.

Tak lama, rombongan tiba. Rupanya, Bupati Tanggamus ini sudah siap dengan atribut mancingnya: kaus biru plus celana pendek berwarna biru lebih muda. Kami pun langsung naik ke kapal yang bermuatan belasan orang itu. "Wow! ini sih sudah tergolong kapal pesiar lah," kata saya saat memasuki ruangan ber-AC berukuran sekitar 2 x 4 m yang sejuk tenan. Interiornya ciamik dengan sofa berbentuk L yang empuk plus karpet warna krem senada dengan dinding kapal.

Di buritan kapal tersedia tempat duduk dan boks dari fiber untuk menyimpan hasil tangkapan yang difungsikan juga sebagai tempat duduk. Dan tentu saja berkanopi, sehingga terlindung dari sengatan sinar matahari secara langsung.

Sebetulnya saya ingin di buritan kapal bersama teman-teman lainnya. Namun, beberapa kawan malah meminta saya masuk ke ruangan sejuk saja. "Di dalam saja, lebih enak," kata mereka.

Saya manut saja, sekalian menikmati sofa empuk sambil memandang ke luar dari jendela kapal. Meski juru kemudi kapal sudah ada, Bambang Kurniawan langsung mengambil posisi di belakang kemudi. Punya hobi baru nih, pikir saya.

Ia mengemudikan kapal yang melambat, kemudian langsung tancap gas, wuuush... Kapal membelah Teluk Lampung dengan tenang tapi cepat. Pulau Kubur dilewati, menuju Pulau Tangkil, lalu Pulau Mahitam, Pulau Puhawang, Pulau Lelangga besar, Lelangga kecil, dan Tanjung Putur kami lewati hanya dalam waktu tak kurang dari 30 menit. Kapal terus melaju melawan ombak yang lumayan tinggi, sehingga goyangan kapal mulai terasa.

Tujuan kami memancing di Pulau Siuncal-Legundi. Namun, juru mudi ingin "jalan-jalan" dulu ke Krakatau. "Kita ke Krakatau ya. Kebetulan ada anggota Dewan nih yang ikut dan mau jalan-jalan dulu," ujar Bambang.

Kami oke-ole saja. Tetapi, selepas dari Legundi, ombak tampaknya kurang bersahabat. Meski kecepatan sudah diturunkan, goncangan amat terasa, bahkan cukup dahsyat mengocok perut.

Kecepatan kapal melambat, tetapi hantaman ombak amat menohok sehingga kami, para penumpang, harus berpegangan erat-erat di kapal.

Byurrr... ombak besar melebihi tinggi kapal kami lewati. Beberapa penumpang di buritan kapal masuk ke ruangan sejuk sambil terhuyung-huyung oleh goyangan ombak. "Mau ambil pelampung," ujar mereka sambil tertawa.

"Saya nggak bisa renang, jadi mau pake pelampung," kata salah satu kru.

Langsung disahut oleh Bupati Pringsewu, "Wah, kalau sudah begini sih, nggak ada urusan lagi dengan bisa renang atau tidak," ujar Masdulhaq.

Saya yang lepas pegangan dinding kapal karena melihat peta, sempat terhuyung di atas sofa. "Wow!!!" pekik saya sambil tertawa dan berdoa di dalam hati agar kami terselamatkan dari hantaman ombak besar.

Karena kondisi sudah tak kondusif, Jaya menyarankan lebih baik balik arah ke Legundi--Siuncal saja. "Ombak terlalu besar, kita balik saja," kata Jaya pada Bambang yang langsung disetujui.

Dengan menikung cukup apik, kapal berbalik arah. Kenyamanan langsung terasa. "Kalau sekarang kita didorong ombak, jadi lebih enak," kata juru mudi sambil menaikkan kecepatan kapal.

Tak lama kami melintasi Legundi dan Legundi Tua, lalu merapat di Siuncal, tepatnya di keramba kerapu milik Edo. Kapal langsung merapat dan kami pun turun untuk mengambil posisi mancing masing-masing.

Saya langsung mendekati Bang Irul yang lengkap dengan properti memancingnya. Maklum, saya tidak membawa perlengkapan. Untungnya Bang Irul punya banyak amunisi pancing nih. Umpan cumi dan ikan rucah langsung disiapkan.

Baru beberapa saat, Bupati Pringsewu yang telah menurunkan mata pancing, langsung menarik senar. Weleh, dasar maniak memancing nih. Ia dapat seekor anak simba ukuran 4 ons. "Lumayan, untuk awal tarikan," kata dia.

Tak lama, senar Bang Amrul ikut bergoyang. Ia menarik kerapu ukuran sedang. Bahkan, anggota Dewan Tanggamus, Bang Haj, yang mengaku baru pertama kali memancing pun dapat tarikan, meskipun ukurannya tak besar.

Duh, ke mana nih ikan, kok senarku hanya ditotol-totol saja ya? Hal senasib dialami Bang Irul. "Mantranya sudah luntur nih, Ci," ujar Bang Irul. Saya cuma mesem, menahan galau.

Betapa tidak enaknya jika melihat teman-teman menarik kail, sedang kita cuma memandangnya saja. Fuih...!

Rombongan Bupati Tanggamus memilih memancing di dekat kapal. Sepertinya mereka asyik juga nih, saya lihat dari kejauhan. Sementara itu, Bang Jaya justru dapat cumi-cumi sebesar lengan saya. Lumayan, dua ekor.

Belum rezeki nih, pikir saya. Setelah pindah beberapa kali posisi, akhirnya saya dapat ikan selar ukuran dua jari. "Ha...ha...ha...lumayanlah kalau hitungannya nyawa," ujar Bang Amrul yang kali ini bertangan dingin saat mengomentari hasil tangkapan saya.

Lima kali tarikan lumayanlah.

Dan hari semakin sore. Ada komando untuk siap-siap "cabut". "Bagusnya mancing malam hari nih di sini," teriak Edo. Soalnya, ia menarik simba berbobot di atas satu kilo.

Menjelang pulang, Bang Jaya baru menginformasikan lokasi pancing yang jitu di keramba sebelah. Dan ternyata benar, tuh ikan besar berseliweran di bawah jaring keramba.

Sayangnya, waktu makin mepet, dan kami janji untuk kembali di lain waktu. "Seminggu lagi aja," kata Bang Irul.

Memang, lokasi mancing yang asyik adalah di keramba. Sebab, banyak ikan liar yang mencari sisa hasil makanan kerapu dalam keramba. Hal ini menjadikan ladang buat para pemancing.

Sayangnya, saat ini kondisinya telah berubah. Menurut Bang Jaya, yang juga memiliki keramba di Tanjungputus, kondisi perairan di kawasan Taluk Lampung sudah kurang baik seiring pertumbuhan tambak udang.

"Kualitas air berkurang karena banyak petambak udang yang menggelontorkan limbahnya langsung ke pantai. Ini berimbas pada kualitas air laut untuk budi daya kerapu. Makanya pertumbuhannya agak terhambat dan ikan-ikan liar juga mulai berkurang," kata dia.

"Waduh, jangan sampai tempat memancing kita jadi sepi ikan. Bisa-bisa merana dong kita," ujar saya.

Saat pulang, kami pisah rombongan dengan Bupati Tanggamus. Kami ingin mencoba kapal milik Edo yang katanya jauh lebih cepat dan ringan daripada kapal milik Pemkab Tanggamus. Sayangnya, kapal ini tak beratap. "Ini memang kapal operasional untuk angkut kerapu. Tapi lebih cepat tarikannya," kata Edo.

Dan ternyata benar. Hanya dalam beberapa menit saja, kami sudah tiba di Pulau Tegal untuk melihat keramba, sekaligus lokasi mancing yang baru.

Menjelang berbuka puasa, kami sudah merapat di dermaga Puri Gading, bersama rombongan dari Tanggamus. "Lain waktu kita mancing lagi," ujar Bambang.SRI AGUSTINA/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 September 2009

1 comment:

  1. wach seru juga ya membaca sama membayangkan ceritanya,jadi pengen nich....
    wah kalo saya mach walau alat pancing termasuk dibilang bolehlah tapi tetep hanya dipemancingan pinggir mutun saja,,,sekedar menghilangkan penat saya walau harus mengeluarkan kocek yang lumayan...
    ya walau hanya di pinggir pernah lah Rill sama joran menekuk di sambar simba 1/2 kg dengan cara casting....
    tujuanku yaitu kalau diri ini layak untuk diundang bolehlah,,,saya azis juga asal tanggamus, tepatnya di kec.gunung alip banjar negeri,dikenal oleh masyarakat azis pramuka (085269875214)sering mancing di tempat pak imam mutun khusus buat mancing pinggir ya walau kadang hanya dapet 2 kg ikan kecil2 tapi lumayan juga lach buat lauk makan di kost an bersama kawan-kawan.....
    thanks for all

    ReplyDelete