April 28, 2007

Pustaka: Sebuah Upaya Meluruskan Sejarah

-- Udo Z. Karzi*


Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung
Penulis: Fadilasari
Pengantar: Zumrotin KS
Penerbit: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, Maret 2007
Tebal: ix + 125 halaman

TALANGSARI 1989. Kejadian itu sudah berlalu 18 tahun lalu. Meski begitu, bagi sebagian orang peristiwa itu mungkin tidak mungkin terlupakan. Bahkan, sebagaimana dituturkan dalam buku ini, masih ada keluarga korban yang luput dari kematian dalam penyerbuan aparat ke Talangsari 7 Februari 1989 dan serentetan upaya penumpasan apa yang distigmatisasikan sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Anwar Warsidi itu; yang masih ‘trauma’ dengan kejadian itu.

Ada sebagian pula yang masih berjuang terus menggugat kasus ini tetap dibuka dan para para pelanggar hak asasi manusia (HAM) mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Sebagian lain lagi, boleh jadi mulai lupa atau lebih tepatnya berusaha melupakan kenangan pahit itu. Betapa tidak, Komite Smalam mencatat 246 nama tewas dalam peritiwa ini. Jumlah tewas sebenarnya, diperkirakan tidak kurang dari 300 orang.
Saat ini, secara umum, ada dua kelompok kasus Talangsari: islah dan non-islah. Bagi yang mendukung islah barangkali kasus ini barangkali sudah selesai. Tidak ada yang perlu dipersoalkan, apa lagi diungkit-ungkit. Dengan islah, mereka saling memaafkan, bahkan melupakan.

Namun ada pihak yang menghendaki agar kasus Talangsari dibuka kembali. Korban yang menolak islah beralasan, bila perdamaian dilakukan sebelum sebelum proses hukum, tidak akan jelas siapa pihak yang salah dan benar. Mereka khawatir akan terus terkungkung dalam stigma Islam PKI dan PKI.

Fadilasari, penulis buku ini berupaya membongkar kembali “sejarah hitam kemanusiaan” dengan semangat mengungkap kebenaran. Sudut pandang yang digunakannya pun cukup tepat: Kesaksian korban pelanggaran HAM Peristiwa Lampung. Hampir semua tokoh penting di balik peristiwa ini ini diwawancarainya tanpa adanya tendensi untuk beropini.
Kemudian dengan teknik reportase, buku ini ditulis dengan gaya bertutur; khas majalah Tempo. Dan, memang selain wawancara langsung dengan pelaku dan saksi, majalah Tempo dan (juga) Harian Lampung Post menjadi rujukan utama penulisan buku ini. Kebetulan, saat penggarapan buku ini, penulisnya yang sekarang jurnalis Metro TV adalah koresponden Tempo News Room di Lampung.

Perjalanan buku yang aslinya adalah skripsi Fadilasari untuk merampungkan studinya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (1999) ini, cukup panjang. Setelah dilakukan riset ulang dan menambah data-data dan fakta-fakta lain, naskah buku ini – seperti diakui penulisnya – selesai sejak tahun 2001. Tapi, berbagai kendala menghadang. Penerbitan sebagai buku baru terealisasi tahun ini.

Sebenarnya, meskipun buku tentang Talangsari telah beberapa kali buku ditulis dan diterbitkan beberapa penulis, tetap saja kehadiran buku ini sangat ditunggu-tunggu. Berbeda dengan buku-buku lain yang cenderung mengelaborasi kasus ini berdasarkan kepentingan (politik-ekonomi? ) dari salah satu pihak (kelompok), buku ini agaknya tidak ingin terlibat dalam kepentingan para pihak itu.Dua kelompok yang berbeda pendapat, yaitu pihak yang menuntut agar kasus Talangsari diproses secara hukum dan pihak yang menuntut agar kasus ini ditutup saja terakomodasi secara baik dalam buku ini.

Secara runtut, penulis buku menyajikan fakta dan merekonstruksi peristiwa kasus Talangsari.

Dibuka dengan wacana kekinian, soal cerita (kasus Talangsari) yang hendak dilupakan, kisah yang menyisakan luka, dan Talangsari kini; lalu flash back pratragedi, yaitu sebuah pengajian yang ramai dan penggabungan dengan kelompok Jakarta. Kemudian penulis mencoba menggambarkan tokoh-tokoh di balik peristiwa Talangsari, baik yang masih hidup maupun yang tewas dalam tragedi ini. Mereka antara lain, Warsidi, Jayus, Muhammad Utsman, Sudarsono, Nurhidayat, Ahmad Fauzi Isman, dan Alex.

Pada bab 6, penulis menggambarkan bagaimana aktivitas jemaah Warsidi, kehidupan di sekitar pondok pongajian sebelum, saat, dan sesudah penyerbuan aparat keamanan, eksklusivisme jemaah, berbagai ajaran keagaaman yang dinilai agak “aneh”, dan bagaimana kemudian ajaran ini mulai berbenturan lingkungan, terutama aparat pemerintahan dan keamanam dari tingkat terbawah desa, kecamatan, kebupaten hingga provinsi.

Kematian Komandan Rayon Militer (Danramil) Way Jepara Kapten Sutiman, 6 Februari 1989-lah yang kemudian memicu “serangan fajar” aparat keamanan sehari kemudian. Tragedi 7 Februari 1989 (bab 8).

Bab-bab berikutnya penulis mengisahkan pasca penyerangan aparat, penguburan dan penangkapan jemaah (dan mereka yang disangka jemaah) Anwar Warsidi di berbagai tempat, dan proses persidangan Jemaah Talangsari.

Pada bagian akhir buku – kembali lagi – kondisi kekinian tentang islah dan penyelesaian secara hukum, serta analisis tentang pelanggaran HAM yang telah terjadi dalam kasus Talangsari. Jenis-jenis HAM yang dilanggar aparat negara dalam kasus Talangsari yang dikemukakan dalam buku ini, antara lain penghilangan nyaewa manusia, anak-anak tidak dilindungi, penangkapan dan penahanan tanpa sebab yang jelas, penyiksaan dalam tahanan., penahanan tanpa proses hukum, peradilan tidak independent, pengekangan hak berserikat dan berkumpul, pengekangan hak mengeluarkan pendapat, tidak bebas beragama dan kepercayaan, pengekangan arus informasi, perampasan hak milik, ditolak bekerja, pemerintah tidak bertanggung jawab atas HAM, dan pembedaan perlakuan hukum terhadap warga Negara.

Buku lalu ditutup dengan sebuah epilog tentang bagaimana sebaiknya kasus Talangsari diselesaikan secara berkeadilan dan memenuhi rasa kemanusiaan.

Sebuah buku yang bisa menjadi acuan bagi siapa saja dari untuk mengetahui apa sesungguhnya yang telah terjadi. Paling tidak buku ini bisa menjadi alat untuk meluruskan sesuatu yang agak bengkok selama ini: Tragedi Talangsari. Kuatnya model-model stigmatisasi di masa Orde Baru; membuat sebuah sejarah (peristiwa) selalu dipaksa “dibengkokkan” untuk kepentingan penguasa. Dan, buku ini mencoba menjelaskan secara gamblang dan apa adanya. Mirip sebuah roman tragedi!

* Udo Z. Karzi, Editor pada Penerbit Matakata, Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 28 April 2007

No comments:

Post a Comment