-- Udo Z. Karzi**
NUANSA Budi Hutasuhut tentang "Mitos" (Lampung Post, 7 Maret 2007) dan "Klaim" (Lampung Post, 12 Maret 2007) menggelitik saya menulis esai ini. Sebelumnya, saya ingin mengambil benang merah dari kedua nuansa tersebut.
Intinya, Budi meragukan "kebenaran" yang diyakini ulun Lampung tentang Kerajaan Sekalabrak yang kedudukannya diperkirakan di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. Tersebutlah nama-nama Belunguh, Lapah di Way, Nyerupa, Pernong, Anak Mentuha, dan Buay Bulan.
Entah dari mana asalnya, Budi menyebut mereka ini sebagai "mitos". Padahal, kata Budi, mitos sering menyesatkan, mengelabui, dan membohongi. Mitos Ratu Pantai Selatan dibuat untuk menakut-nakuti Belanda agar tak masuk ke Pulau Jawa. Tapi, ternyata, Belanda memorak-porandakan Pulau Jawa.
Sebenarnya, tidak ada masalah ketika Budi menyebutkan Kerajaan Sekalabrak sebagai sebuah mitos. Persoalannya muncul ketika ulun Lampung "sangat meyakini" Kerajaan Sekalabrak sebagai cikal-bakal berkembangnya Lampung sebagai suku bangsa (society) yang inhern di dalamnya kebudayaan (culture).
Dalam kasus ini, saya tidak ingin melihat kebudayaan Lampung sebagai pengaruh (dipengaruhi) oleh Pagaruyung, Banten, Batak, Jawa, dan berbagai kebudayaan lain yang kini menjadi bagian tidak terpisahkan dari Lampung. Sebab, proses pengaruh-mempengaruhi (apa pun istilah antropologi, entah itu asimilasi, akulturasi, dan sebagainya) jelas terjadi.
Kerajaan Sekalabrak
Kerajaan Sekalabrak sebagai mitos? Ya, saya sudah lama mendengar itu. Dan, saya pun tidak mengerti mangapa ulun Lampung sangat meyakini kebenaran ini. Saya pikir perlu diluruskan bahwa yang meyakini nama-nama Sekalabrak, Belunguh, Lapah di Way, Nyerupa, Pernong, Anak Mentuha, dan Buay Bulan itu bukan hanya masyarakat adat yang mengklaim diri sebagai keturunan "Paksi Pak" Lampung Barat.
Saya menulis ini dari Pangkalan Bun, sehingga tidak sempat lagi memeriksa literatur. Saya hanya mengingat sebuah teori Hilman Hadikusuma tentang asal usul ulun Lampung. Intinya, Lampung itu berasal dari satu (catatan: saya tidak memakai istilah Lampung Sai karena pada akhirnya "gerakan" ini dalam kenyataan menjadi sangat politis). Asalnya dari Sekalabrak, yang pemimpin-pemimpinnya bernama Belunguh, Lapah di Way, Nyerupa, dan Pernong dengan Anak Mentuha yang dihormati dan nakbai (bahasa Lampung: saudara perempuan) bernama Buay Bulan.
Sejarah "asal-usul" ulun Lampung ini paling tidak termuat dalam kitab "Kuntara Raja Niti" (kitabnya orang Lampung Pubian yang beradat Pepadun dan berbahasa subdialek api). Selain "Kuntara Raja Niti", sebenarnya ada tiga kitab lagi yang disebut almarhum Prof Hilman Hadikusuma yang dipegang subetnik Lampung masing-masing.
Namun yang jelas, dari kitab "Kuntara Raja Niti", tersebutlah orang Lampung Pubian -- pernah juga disampaikan Riagusria -- mengaku sebagai keturunan Buay Pernong. Lalu, kalau menilik nama-nama marga di Lampung terdapat marga Nyerupa di Kecamatan Gunungugih. Artinya, sesuai teori Hilman itu, Lampung Abung adalah keturunan Buay Nyerupa, selain ada nama Buay Nyerupa di Kecamatan Sukau, Lampung Barat. Buay Bulan menurunkan Menggala (Tulangbawang). Marga Belunguh di Kotaagung bisa ditelusuri sebagai keturunan Buay Belunguh di Kenali, Kecamatan Belalau. Dan seterusnya, Lampung Way Kanan, Ranau (yang berbatasan dengan Sumatera Selatan), dan sebagainya dapat ditelesuri sebagai keturunan nama-nama buay itu.
Bahasa Lampung
Yang jelas pula, ulun Lampung memiliki bahasa (dan seharusnya bisa berbahasa!) yang bernama bahasa Lampung.
Bahasa Lampung memiliki dua subdilek. Pertama, subdialek A (api) yang dipakai oleh ulun Melinting-Maringgai, Pesisir Rajabasa, Pesisir Teluk, Pesisir Semaka, Pesisir Krui, Belalau dan Ranau, Komering, dan Kayu Agung (yang beradat Lampung Peminggir), serta Way Kanan, Sungkai, dan Pubian (yang beradat Lampung Pepadun). Kedua, subdialek o (nyo) yang dipakai oleh ulun Abung dan Menggala/Tulangbawang (yang beradat Lampung Pepadun). (lihat: Hilman Hadikusuma dkk. 1983. Adat Istiadat Lampung).
Mengenai bahasa Lampung ini, saya pikir bukan mitos karena memang riil ada penutur masing-masing subdialek. Pertanyaan saya, adakah yang masih mau menyangkal bahwa orang Ranau (yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan) bukan orang Lampung? Tentang hal ini, ada "mitos"-nya juga:
Nama Danau Ranau itu aneh. Aneh kenapa namanya danau itu Ranau? Soalnya, "ranau" dalam bahasa Lampung berarti danau. Danau Ranau ya artinya Danau Danau. La, ini danau tak bernama.
Suatu hari, -- sebenarnya sering kali -- saya bertemu dengan orang Ranau. Biasanya, orang dari daerah ini selalu ngotot mengatakan, "Saya orang Palembang" dan biasanya dia berupaya "nyerocos ngomong" Palembang. Tapi, anehnya teman yang satu ini malah ngotot mau dibilang ulun Lampung. "Desa saya memang masuk Sumatera Selatan. Tapi saya orang Lampung. Sehari-hari saya berbahasa Lampung," kata Eka Yulius Bachtiar, teman saya itu.
Saya tertawa saja. La, iya di Banding Agung, Sumatera Selatan itu saya punya kakek-nenek dan sanak-famili. Semuanya berbahasa Lampung.
"Sejarah"-nya, orang Ranau sebenarnya berasal dari Lampung Barat. Mereka pindah dari daerah asalnya, kemudian menetap di tepian danau di Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, sejak abad ke-15. Suku asli yang sebelumnya tinggal di kawasan danau justru hijrah ke Lampung Tengah.
Setidaknya cerita itulah yang banyak beredar di tengah masyarakat. Tidak ada bukti tertulis, seperti prasasti atau manuskrip, yang mendukung kisah asal-usul suku tersebut. Kebenaran sejarah itu lebih banyak bertumpu pada penuturan nenek moyang, ditambah adanya sejumlah makam tetua suku yang masih bisa dijumpai sampai sekarang. (Kompas, 11 Desember 2006).
Mitos yang Diyakini
Saya mengikuti perdebatan seputar pelarangan Buku Pelajaran Sejarah oleh Kejaksaan Agung. Buku itu dilarang karena, "sejarah" mengenai PKI (Partai Komunis Indonesia) tidak banyak disinggung dalam bab-babnya. Dalam pikiran saya yang muncul kemudian adalah pemerintah seperti tengah mempertahankan "mitos" (orang pelitik bilang "stigma") tentang PKI. Soalnya, setelah ini orang boleh dong mengatakan pemberontakan G.30.S/PKI itu sebuah mitos yang diciptakan pemerintah Orde Baru.
Saya jadi berpikir pula: PKI itu sebagai mitos yang dipercaya atau pinjam istilah Asvi Warman Adam (2006), sejarah yang bikin bingung? Kalau begitu, perbedaan antara mitos dan sejarah itu sangat tipis.
Suatu hari, Roland Barthes pernah berkata: "Apa yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya'. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu.
Roland Barthes, pakar semiotika asal Prancis ini, telah mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk mempelajari semiologi. Secara teoritik, menurutnya, semiologi merupakan ilmu yang mempelajari tanda. Semiologi sebagai cabang ilmu bahasa terbagi dua, yakni semiologi tingkat pertama yang disebutnya dengan linguistik dan semiologi tingkat kedua yang ia sebut 'mitos'.
Pembagian semiologi dalam dua tingkatan bahasa itu merupakan mahakaryanya selama mengarungi dunia semiologi. 'Mitos' bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami selama ini. 'Mitos' bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur.
Pasalnya, 'mitos' yang dimaksud Roland Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda.
Menurut Barthes, 'mitos' adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang. Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos itu, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar).
Dalam semiologi terdapat tiga tahapan penting pembentuk makna, yaitu penanda, pertanda, dan tanda. Penanda merupakan subyek, pertanda ialah obyek, dan tanda merupakan hasil perpaduan keduanya. Dalam semiotika tingkat pertama (linguistik), penanda diganti dengan sebutan makna, pertanda sebagai konsep, dan tanda tetap disebut tanda. Sedangkan dalam 'mitos' (semiotika tingkat kedua), penanda dianggap bentuk, pertanda tetap sebagai konsep, dan tanda diganti dengan penandaan. Proses simbolisasi seperti itu bertujuan mempermudah kita dalam membedakan antara linguistik dan mitos dalam semiologi.
Selama ini, banyak orang yang tidak menyadari signifikansi semiotika dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam interaksi sosial banyak sekali makna-makna yang belum terungkap. Mulai dari bahasa manusia (verbal dan nonverbal), benda (gambar), hingga gerakan-gerakan alam. Mitos dalam hal ini menjadi medium untuk membedah makna-makna tersebut. Selain sebagai ilmu, mitos juga dapat digunakan sebagai cara pandang atau paradigma dalam menganalisa suatu peristiwa. Inilah kelebihan dari teori 'mitos' Barthesian.
Mempelajari makna-makna simbolik, baik pada manusia maupun benda, merupakan hal yang sangat menarik. Karena banyak orang yang belum bisa menguraikan makna dengan sempurna dalam simbol-simbol kehidupan.
Sejarah yang Bikin Bingung
Akan halnya sejarah? Beberapa saat setelah Orde Baru berakhir bermunculan gugatan masyarakat terhadap sejarah (versi pemerintah). Buku-buku baru diluncurkan. Sejarah pun jadi polemik. Asvi Warman Adam (2006) menawarkan beberapa tipologi kontroversi sejarah Indonesia yang disebabkan oleh fakta (dan interpretasi) yang tidak tepat, tidak lengkap, dan tidak jelas.
Contoh kategori pertama, benarkah Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun? Prof. Mr. Gertrudes Johan Resink (1911-1997) membantah pernyataan tersebut. Termasuk dalam kategori pertama adalah sejarah yang berhubungan dengan mantan Presiden Soeharto.
Selama ini PKI ditulis menyatu dengan Gerakan 30 September (G30S), seakan partai tersebut dalang tunggal dari percobaan kudeta 1965. Padahal versi lain tentang adanya keterlibatan militer, Sukarno, Soeharto, bahkan unsur asing (CIA dan lain-lain). Malah belakangan muncul versi baru yang melihat peristiwa dari 30 September 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai suatu kesatuan dan disebut "kudeta merangkak".
Kategori kedua antara lain menyangkut Budi Utomo yang kelahirannya 20 Mei 1908 diperingati Hari Kebangkitan Nasional. Terdapat kritik terhadap organisasi ini yang dinilai bersifat kedaerahan (Jawa). Kategori ketiga adalah hal-hal yang tidak jelas dalam sejarah Indonesia. Contohnya mengenai naskah asli surat Supersemar, Peristiwa Malari (11 Januari) 1974.
Jadi, sejarah hari ini adalah "mitos" buatan Orde Baru (?)
Catatan Penutup
Kalau begitu, mengapa kita tidak membuat sejarah (asal-usul) orang Lampung dari mitos-mitos yang bertebaran di berbagai tempat di Lampung? Tidakkah bisa kita menganyam cerita tentang mitos ulun Lampung? Masalahnya kan tinggal mencari bukti otentik "mitos" untuk bisa disebut sebagai sejarah. Jelas, tidak mudah. Tentu perlu keseriusan untuk menyusun sejarah (kebudayaan) ulun Lampung (bukan sejarah: Provinsi Lampung!). Yang jelas, mana bisa menemukan sejarah secara "sambil lalu" sebagaimana (mungkin) esai ini dengan penuh keisengan. Ya, geh?
--------------
* Esai ini yang seutuhnya. Pertama saya kirim ke Lampung Post dan dimuat Minggu, 15 April 2007 dengan judul "Mitos Sekalabrak dan Eksistensi Ulun Lampung". Hanya sebagian awalnya saja yang dimuat. Padahal, fokus saya justru pada bagian akhir. Tidak puas esai saya dipenggal di tengah-tengah, dengan sedikit perubahan pada lead, saya kirim bagian "kedua" esai ini ke Radar Lampung dan baru dimuat, Rabu, 9 Mei 2007 dengan judul "Meluruskan Mitos Ulun Lampung".
** Udo Z. Karzi, orang Lampung yang tinggal di Borneo
No comments:
Post a Comment