Oleh Yulvianus Harjono
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Jurnalis dituntut untuk turut memberikan solusi dan harapan perdamaian dalam peliputan konflik horizontal antarmasyarakat. Ini penting untuk mencegah meluasnya konflik.
Diskusi dan peluncuran buku "Merajut Jurnalisme Damai di Lampung" di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung, Minggu (3/2/2013). (KOMPAS/Yulvianus Harjono)
Pentingnya tanggung jawab insan jurnalis dalam peliputan konflik komunal ini muncul di dalam diskusi "Damai Lampung Sepanjang Hari" yang diadakan dalam peluncuran Buku Merajut Jurnalisme Damai di Lampung, Minggu (3/2/2013) di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung.
Acara ini menghadirkan Eko Maryadi (Ketua AJI Indonesia), Djadjat Sudradjat (Wakil Pemimpin Umum Harian Lampung Post) dan Hartoyo (sosiolog Universitas Lampung) selaku pembicara.
Hadir pula antara lain Sidney Jones, penasehat senior Internasional Crisis Group, dan Kepala Bidang Humas Polda Lampung Ajun Komisaris Besar (Pol) Sulistyaningsih. Eko Maryadi mengatakan, saat meliput konflik, seorang jurnalis dituntut mengedepankan empati terhadap korban dan berorientasi terhadap upaya perdamaian. Tidak sebaliknya, justru memanfaatkan konflik untuk kepentingan pribadi atau rating. "Jurnalis harus bisa memilih dan memilah. Kita harus bisa menempatkan diri sebagai korban. Bukan sebaliknya, pelaku. Pilihan kata-kata dan gambar menentukan nyawa di lapangan," tuturnya.
Ia menambahkan, dalam konflik komunal, profesi jurnalis ibaratnya dua mata koin. Setan atau malaikat. "Kita jadi malaikat jika laporan kita menyejukkan dan memberikan harapan. Sebaliknya, jadi setan kalau kita justru membumbui dan membakar konflik," ujar Eko yang sehari-hari bekerja sebagai wartawan.
Djadjat mengatakan, di era sekarang, seorang jurnalis memiliki beban lebih berat. "Jurnalis harus menjadi bagian dari solusi perdamaian. Bebannya semakin berat," ujar budayawan Lampung sekaligus jurnalis Harian Umum Lampung Post ini.
Buku Merajut Jurnalisme Perdamaian yang diterbitkan AJI Bandar Lampung dan penerbit Indepth Pubslishing itu berkisah tentang konflik horizontal di Lampung Selatan, tahun lalu. Buku ini berisikan laporan jurnalistik sejumlah wartawan dan analisa konflik dari sejumlah akademisi dan aktivis sosial.
Ketua AJI Bandar Lampung Wakos Reza Gautama berharap, buku ini akan memberi manfaat bagi proses perdamaian di Lampung. Hasil penjualan buku ini akan disumbangkan bagi proses perdamaian di Lampung Selatan, daerah yang dilanda konflik komunal, tahun lalu.
Sumber: Kompas, Senin, 4 Februari 2013
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Jurnalis dituntut untuk turut memberikan solusi dan harapan perdamaian dalam peliputan konflik horizontal antarmasyarakat. Ini penting untuk mencegah meluasnya konflik.
Diskusi dan peluncuran buku "Merajut Jurnalisme Damai di Lampung" di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung, Minggu (3/2/2013). (KOMPAS/Yulvianus Harjono)
Pentingnya tanggung jawab insan jurnalis dalam peliputan konflik komunal ini muncul di dalam diskusi "Damai Lampung Sepanjang Hari" yang diadakan dalam peluncuran Buku Merajut Jurnalisme Damai di Lampung, Minggu (3/2/2013) di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung.
Acara ini menghadirkan Eko Maryadi (Ketua AJI Indonesia), Djadjat Sudradjat (Wakil Pemimpin Umum Harian Lampung Post) dan Hartoyo (sosiolog Universitas Lampung) selaku pembicara.
Hadir pula antara lain Sidney Jones, penasehat senior Internasional Crisis Group, dan Kepala Bidang Humas Polda Lampung Ajun Komisaris Besar (Pol) Sulistyaningsih. Eko Maryadi mengatakan, saat meliput konflik, seorang jurnalis dituntut mengedepankan empati terhadap korban dan berorientasi terhadap upaya perdamaian. Tidak sebaliknya, justru memanfaatkan konflik untuk kepentingan pribadi atau rating. "Jurnalis harus bisa memilih dan memilah. Kita harus bisa menempatkan diri sebagai korban. Bukan sebaliknya, pelaku. Pilihan kata-kata dan gambar menentukan nyawa di lapangan," tuturnya.
Ia menambahkan, dalam konflik komunal, profesi jurnalis ibaratnya dua mata koin. Setan atau malaikat. "Kita jadi malaikat jika laporan kita menyejukkan dan memberikan harapan. Sebaliknya, jadi setan kalau kita justru membumbui dan membakar konflik," ujar Eko yang sehari-hari bekerja sebagai wartawan.
Djadjat mengatakan, di era sekarang, seorang jurnalis memiliki beban lebih berat. "Jurnalis harus menjadi bagian dari solusi perdamaian. Bebannya semakin berat," ujar budayawan Lampung sekaligus jurnalis Harian Umum Lampung Post ini.
Buku Merajut Jurnalisme Perdamaian yang diterbitkan AJI Bandar Lampung dan penerbit Indepth Pubslishing itu berkisah tentang konflik horizontal di Lampung Selatan, tahun lalu. Buku ini berisikan laporan jurnalistik sejumlah wartawan dan analisa konflik dari sejumlah akademisi dan aktivis sosial.
Ketua AJI Bandar Lampung Wakos Reza Gautama berharap, buku ini akan memberi manfaat bagi proses perdamaian di Lampung. Hasil penjualan buku ini akan disumbangkan bagi proses perdamaian di Lampung Selatan, daerah yang dilanda konflik komunal, tahun lalu.
Sumber: Kompas, Senin, 4 Februari 2013
No comments:
Post a Comment