February 9, 2013

Peluncuran dan Bedah Buku "Gamolan Pekhing"

BANDARLAMPUNG -- Setelah pekan lalu menjadi tempat peluncuran dan bedah buku "Merajut Jurnalisme Damai di Lampung", pada pekan ini Buku "Gamolan Pekhing Musik Bambu Dari Sekala Brak" yang mengupas salah satu khasanah budaya Lampung kembali diluncurkan dalam sebuah bedah buku di Toko Buku Fajar Agung Bandarlampung, Sabtu.

Buku "Gamolan Pekhing Musik Bambu Dari Skala Brak" karya I Wayan Sumerta Dana Arta, editor Christian Heru Cahyo Saputro. (Foto: ANTARA LAMPUNG/Dok. ist)

"Buku karya I Wayan Sumerta Dana Arta dengan editor Christian Heru Cahyo Saputro itu memuat tiga hal penting terkait bentuk, fungsi, dan makna Gamolan Pekhing dari Lampung Barat itu," kata Manajer Pemasaran Toko Buku Fajar Agung, I Gede Suharta.



Didampingi penulis buku I Wayan Sumerta dan editornya, Christian Heru, di sela-sela persiapan peluncuran buku itu, ia menjelaskan bedah buku yang bekerja sama dengan Sekelek Institute and Publishing House Bandarlampung itu menampilkan Syapril Yamin alias Rajo Cetik (Seniman/Perajin Gamolan Pekhing) dan Oyos Saroso HN (Pengamat Seni).

"Para pembicara akan mengupas bentuk fisik, cara pembuatan, teknik permainan dan penotasian Gamolan Pekhing, lalu Multifungsi (Religius dan Sosial) dan Makna (Gotong Royong, Etika Moral dan Pendidikan) juga akan dikupas tuntas," katanya.

Wayan Sumerta Dana alias Wayan Moccoh berharap, buku ini bisa memperkaya literatur khasanah kesenian yang utamanya dalam bidang musik.

"Buku ini juga merupakan salah satu bentuk dokumentasi warisan buku budaya Lampung," ujar penemu Laras Pelog Enam Nada dalam Gamolan Pekhing itu.

Peraih penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia itu pun berharap, buku ini bisa dijadikan bahan bacaan untuk kalangan pelajar, mahasiswa dan referensi masyarakat dalam bidang musik.

"Apalagi selama ini sangat minim dan kurang bacaan yang membumi dan berkualitas dalam bidang musik, terutama musik tradisional," katanya.

Sumber: Antara, Sabtu, 9 Februari 2013

1 comment:

  1. Membangun peradaban bangsa dari karya mandiri dan budaya sendiri. Budaya import belum tentu lebih hebat daripada budaya Indonesia. Bedanya, bangsa lain mencintai budaya mereka. Tidak seperti sebagian besar masyarakat Indonesia yang marah-marah bila budayanya dipopulerkan oleh negara jiran yang notabene adalah keturunan Indonesia juga.

    ReplyDelete