January 21, 2010

Agama, Negara, dan Kemiskinan

Oleh Muslim

FENOMENA kemiskinan di negeri ini ternyata semakin memprihatinkan. Mereka yang tidak tersapa oleh kelayakan hidup telah menjadi pemandangan biasa yang acap kita pergoki dalam setiap berita di koran maupun televisi. Faktor utamanya, tak lain diakibatkan dari telikungan kapitalisme global, keserakahan penguasa, dan kekurangpedulian para agamawan.

Proses pemiskinan ini pun kian menjadi-jadi ketika tingkat pengangguran semakin tinggi, daya beli rakyat semakin merosot, kelangkaan bahan pangan, dan melambungnya harga kebutuhan pokok masyarakat. Kemudian diperparah lagi dengan kondisi perekonomian dunia yang kacau-balau. Sedemikian miskinnya masyarakat, sehingga pembagian beras bulukan tetap ditunggu dan nasi aking menjadi santapan sehari-hari.

Dalam menghadapi kegetiran hidup dan kenestapaan ini, tak sedikit warga yang frustrasi. Bahkan, yang lebih tragis, seorang bapak tega bunuh diri karena merasa tak sanggup memenuhi kebutuhan keluarganya. Kita tidak bisa membayangkan akan seperti apa masa depan bangsa ini. Berbagai bentuk kejahatan, manipulasi, korupsi, dan kecurangan yang dilakukan pejabat negara telah menjadi kebudayaan akut yang membutuhkan rentang waktu panjang untuk menguranginya.

Penggusuran tanah kaum miskin yang hampir tiap saat ditayangkan di televisi dengan dalih pembangunan untuk kepentingan umum, adalah fenomena biasa yang akan terus kita tonton. Padahal, yang dibangun adalah jalan tol untuk kepentingan pemilik mobil mewah dan kendaraan mahal lainnya. Pengendara sepeda atau becak tak bisa lewat di sana. Yang dibangun adalah mal untuk berbelanja bagi orang berduit. Yang dibangun adalah ruko untuk para pedagang besar. Lalu, di mana slogan ekonomi rakyat selama ini yang selalu dilontarkan pemerintah?

Di sisi lain, puluhan anak jalanan harus merelakan dan menukar masa indahnya dengan menjadi peminta-minta di lampu merah. Menjadi pemulung sampah dari satu tempat ke tempat lain. Tragisnya lagi, nun jauh di sana, sekelompok orang Islam "menikam" saudaranya sendiri dengan dalih sesat.

Anehnya, para agamawan kita tampak tidak mau ambil pusing. Buktinya, belum ada sikap tegas dari mereka atas privatisasi perusahaan negara atau penggusuran lahan pedagang kaki lima, misalnya. Padahal, yang paling dirugikan dari kebijakan itu adalah mayoritas masyarakat bawah, yang rata-rata menggantungkan hidupnya dari pertanian, bekerja menjadi buruh pabrik, dan pemulung sampah.

Kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan menjadi pemandangan yang lazim di negeri ini. Mereka menjadi marginal, akibat tiadanya aksesibilitas yang menjembatani kesempatan kerja dan dikuasainya tanah oleh koorporasi megaraksasa dari kapitalisme global. Jangankan untuk meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik, bisa membuat perut kenyang saja merupakan sebuah kebahagiaan yang tak terhingga.

Inilah "lingkaran setan kemiskinan" yang mesti diputus. Karena miskin, anak-anak mereka tak bisa mengenyam pendidikan dengan layak. Ujung-ujungnya, mereka tak mendapatkan pekerjaan yang baik dan memiliki penghasilan rendah. Karena berpenghasilan rendah, mereka tak bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar. Akhirnya, mereka kembali menjadi miskin. Dan begitu seterusnya. Sikap menerima kemiskinan sebagai takdir (given) adalah suara lantang yang acap didengungkan agamawan kita selama ini. Tuhan hanya dipersepsikan sebagai perumus absolut yang mengatur nasib perubahan manusia.

Ternyata, fatalisme yang disebabkan oleh kesadaran naif ini terus berkembang ke tengah-tengah kehidupan beragama. Seperti sebuah virus, ia terus menjalar dan menjadi mapan dalam pemikiran keagamaan. Tumbuhnya fatalisme ini diakibatkan sulitnya umat Islam menerima ide-ide pembaruan, karena menganggapnya sebagai tidak islami. Sehingga, mereka melulu meneguhkan cara beragama yang kontraproduktif dengan semangat zaman. Kedangkalan pemahaman agama tentang etos kemajuan ini pun menjadi akibat yang tak terelakkan.

Selain itu, keculasan negara melalui paham pembangunanismenya juga bisa kita tunjuk sebagai penyebab terjadinya kemiskinan. Sebab, sampai kini sedikit sekali proyeksi pembangunan yang dapat merangsang tumbuhnya produktivitas kerja. Pembangunan yang dijalankan pemerintah terbukti telah melemahkan sektor riil masyarakat (umat) level bawah. Hadirnya supermarket di tengah-tengah pasar tradisional, misalnya, adalah dampak paling gamblang darinya. Pasar modern itu memberikan pelayanan dan keasyikan tersendiri bagi para konsumen. Akibatnya, pedagang tradisional yang berteduh di pasar yang sumpek tak dapat meraup keuntungan, tapi malah kerugian dan kehilangan lapangan pekerjaan.

Begitulah realitas yang tengah terpampang lebar di depan kelopak mata kita. Di satu sisi, suara lantang agamawan yang menyeru kedamaian dan kebahagiaan hanya terdengar dari menara gading; dan di sisi lain, negara terus melancarkan misi pembangunannya meski harus menyingkirkan rakyat yang kerap dianggap "sampah".

Rentetan fakta dari beragam problem kemanusiaan yang membuat miris ini, ternyata belum menyadarkan kita bahwa sebagai bangsa, Indonesia sedang menyongsong krisis sosial yang sangat menakutkan. Kehidupan beragama kita pun menjadi tak tentu arah, karena umatnya, khususnya kalangan elite agama, tak mampu mewujudkan bahwa Islam sebagai rahmatan lil'alamiin.

Maka, sah-sah saja jika ada yang menggugat di mana tanggung jawab profetik negara atas berbagai peristiwa memilukan itu? Ke mana para agamawan? Sungguh amat jauh bentangan antara retorika yang didengungkan pejabat dan agamawan kita di hotel mewah dengan fakta empiris di lapangan. Seharusnya mereka mau dan mampu terjun ke bawah melihat segala patologi sosial yang terjadi, daripada mengeluarkan undang-undang dan fatwa-fatwa yang kurang terasa manfaatnya bagi kehidupan rakyat kecil.

Alhasil, agenda utama yang musti segera diselesaikan adalah bagaimana agama mampu membuktikan ia benar-benar membawa keberkahan bagi umat manusia. Selain itu, negara juga musti memperkuat sistem kenegaraan dengan mewujudkan good governance yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta menyediakan segala kebutuhan rakyat tanpa ada diskriminasi kaya-miskin ataupun mayoritas-minoritas.

Muslim, Alumnus IAIN Raden Intan Lampung, Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) Cabang Bandar Lampung.

Sumber: Lampung Post, Kamis, 21 Januari 2010

No comments:

Post a Comment