TAMBLING Wildlife Nature Conservation ibarat jiwa seorang Tommy Winata. Pria yang lahir dengan nama Oe Suat Hong di Pontianak, Kalimantan Barat pada 23 Juli 1958 itu, adalah seorang pengusaha sukses. Dia adalah pemilik Grup Artha Graha. Tommy Winata yang biasa disapa TW, menggerakkan roda bisnis di berbagai bidang, seperti perbankan, tekstil, dan konstruksi.
Tommy Winata (SP/Gusti lesek)
Tetapi, sejak 1999, TW melirik sebuah kawasan yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatera, bernama Tambling. Tambling adalah singkatan nama dari dua kawasan, yakni Tampang dan Belimbing.
Secara geografis, Tambling masuk dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat. Kawasan ini berada atau menjadi bagian Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Di bawah pengelolaan PT Adhiniaga Kreasi Nusa, anak perusahaan Grup Artha Graha, kawasan Tambling kemudian dikenal dengan nama Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC). Total area TWNC mencapai 45.000 hektare.
Memasuki kawasan TWNC yang luasnya 45.000 hektare ini, pengunjung disuguhi keindahan dan keaslian lingkungan alam yang menakjubkan. Kawasan ini mirip sebuah istana atau kerajaan. Segala sesuatu tersedia.
Untuk mengelilingi kawasan TWNC, disediakan sejumlah mobil, sepeda motor, dan traktor. Kalau hendak berkeliling dari udara, ada helikopter, yang setia parkir di samping lapangan terbang, yang landasan pacunya berumput hijau. Lapangan terbang ini juga menjadi sarana bermain anak-anak rusa dan kerbau liar. "Setiap sore, ratusan rusa merumput di lapangan terbang ini," kata Rizal, karyawan TWNC.
Sejumlah rumah berdiri selaras alam, bertebaran di beberapa tempat, lengkap dengan fasilitas seperti hotel. Pohon-pohon baru ditanam di sejumlah lahan kosong yang kritis. Dalam waktu 10 tahun, TWNC yang sebagian besar adalah lahan kritis, berubah menjadi hutan rimba tropis.
TW melalui PT Adhiniaga Kreasi Nusa menyulap wilayah Tambling menjadi taman konservasi alam, surga bagi berbagai jenis binatang liar dan langka. Di TWNC, kata Tommy Winata, terdapat 40-an harimau sumatra, 52 jenis reptil/ampfibi, 332 jenis burung, dan beberapa jenis primata.
Mamalia
Di tempat ini juga terdapat enam jenis mamalia yang hampir punah, yakni gajah sumatra, badak sumatra, harimau sumatera, kerbau liar, tapir, dan beruang madu. "Harimau sumatra adalah satwa milik Indonesia yang tersisa," katanya.
Tommy mengakui, biaya pembuatan, perawatan, dan gaji 105 karyawannya di TWNC sangat besar. Tetapi, ia tidak memedulikan berapa biaya yang sudah dikeluarkan untuk sebuah tanam konservasi seluas 45.000 ha itu. "Yang penting kita bisa menjaga lingkungan hidup dan mengurangi ancaman perubahan iklim global," katanya.
Lalu, apa yang melatarbelakangi seorang TW mau membuang uang dalam jumlah besar untuk sebuah bisnis yang jelas-jelas tidak mendatangkan laba? Bagaimana bisa, seorang TW rela merogoh kocek hanya mengurus beberapa ekor harimau sumatra yang terancam punah? "Saya mau menyampaikan terima kasih pada alam," kata Tommy Winata membuka cerita masa lalunya.
Saat remaja, kata TW, dia bekerja di tengah hutan rimba Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan daerah-daerah yang lingkungan alamnya masih asri selama 7-8 tahun. "Yang luar biasa, selama di hutan, saya tidak pernah mengalami musibah atau kesulitan di luar akal sehat saya," katanya.
Jika lapar, Tommy mengaku langsung ke hutan, mencari hasil hutan yang bisa dimakan, entah itu talas, jantung pisang, keladi, akar rotan, dan berbagai jenis buah-buahan. Selama bekerja di kawasan hutan, Tommy mengaku harus rela menjadi pekerja kasar, menjadi karyawan biasa, penjaga gudang, dan bahkan membantu membuka jalan dari Kalimantan ke Entikong, Malaysia.
"Pada saat Tuhan memberikan rezeki yang lebih kepada saya, dan membimbing langkah ke Tambling, memori masa lalu itu muncul kembali, sehingga memunculkan the power of love of Tambling," katanya. Di sinilah (Tambling), TW menemukan kembali masa remajanya. "Di sini, saya temukan masa remaja saya," ujarnya.
Ekoturisme
Selain sebagai kawasan konservasi, Kepala Balai Besar Bukit Barisan Selatan Ir Kurnia Rauf mengatakan, pemerintah juga telah memberikan konsesi kepada TWNC untuk melakukan kegiatan ekoturisme selama 35 tahun. "Apa dan bagaimana konsepnya, kami serahkan ke pihak TWNC," katanya.
Tommy Winata yang dikonfirmasi tentang hal itu mengatakan, gagasan itu belum bisa berjalan saat ini, karena berbagai alasan. Jalur transportasi ke TWNC hanya bisa lewat udara atau laut. Itu sudah sangat mahal. Kalau dihitung-hitung, dibutuhkan US$ 3.000 untuk bisa bermalam tiga sampai empat hari di Tambling. "Biaya itu sangat mahal. Lagi pula, orang Indonesia lebih suka ke Hong Kong atau Eropa jika punya uang sebanyak itu," katanya.
Namun, alasan utama di balik itu semua adalah Tommy Winata tidak mau dicap sebagai pengusaha yang hanya menjual alam untuk keuntungan pribadi. Karena itu, ia mengaku tidak tertarik mengembangkan TWNC menjadi ekoturisme saat ini.
Dia malah mengharapkan, kalau boleh pengusaha-pengusaha kaya di Indonesia melakukan hal yang sama di daerah-daerah lain, membuat taman konservasi di sejumlah daerah, sehingga keberlanjutan flora dan fauna di Indonesia tetap lestari.
"Banyak investor yang menawarkan modal untuk membangun di TWNC. Tetapi saya tolak, dengan permintaan, kalau bisa bangun saja yang baru di daerah lain, sehingga makin banyak lahan konservasi di Indonesia," katanya.
Kita menunggu, adakah Tommy Winata-Tommy Winata lain yang menyusul, yang mau menyisihkan sedikit kekayaan mereka untuk melindungi flora dan fau- na yang terancam punah di bumi pertiwi ini? [SP/Gusti Lesek]
Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 26 Januari 2010
salut untuk bapak Tommy Winata..
ReplyDeletekapan kapan boleh pak main ke Tambling?