Kebanggaan terhadap kemampuan negeri sendiri terus bergaung. Namun, kesadaran berbahasa dengan bahasa sendiri, bahasa Indonesia, terus tergerus.
MALAM Minggu (16-1). Di atas panggung megah di Lapangan Merah. Mungkin untuk pertama kali, orang-orang hebat meneriakkan dua kata silih berganti dengan penuh penjiwaan. "Orang Lampung bisa!" Tak kurang, Aburizal Bakrie, salah satu orang terkaya di Indonesia, tokoh asal Lampung itu menjadi pelopor kebangkitan daerahnya. Meskipun dibalut misi bisnis melalui perusahaan operator telepon selular; esia.
Ical, sapaan akrab anak suluh Ahmad Bakrie, taipan kelahiran Kalianda, seperti sedang bangun dari mimpi soal daerah asalnya. Sebelumnya, meski selalu digadang-gadang sebagai orang Lampung, pemilik Grup Bakrie ini terlihat kurang peduli dengan Lampung. Dan Sabtu pekan lalu, ia hadir dengan teriakan "Orang Lampung Bisa!"
Tidak berhenti di situ. Beberapa hari kemudian, beberapa tapak tilas baru sudah terlihat. Selain memang beberapa perusahaannya berada di Bumi Ruwa Jurai, ada yang menunjukkan ketertarikannya secara sosial budaya. Satu papan nama cukup besar terpasang di jalinsum tak jauh dari Kalianda bertulis; "Di Sini akan Dibangun Pondok Pesantren H. Ahmad Bakrie". Gedung yang dulu dibuat untuk markas PDI Perjuangan Lampung Selatan, kemudian diubah menjadi pangkalan Golkar, kini akan disulap menjadi pesantren.
Pekik "Orang Lampung Bisa!" bukan hanya milik Aburizal yang juga membawa anaknya Anindya Bakrie yang juga bos perusahaan operator telepon seluler itu. Ada Arzetti Bilbina, model kondang Ibu Kota yang juga asal Lampung. Arzetti juga serasa "insyaf" bahwa ia punya "pusara" yang secara moral wajib diziarahi. Yakni, Lampung.
Masih ada lagi. Grup musik yang sedang naik popularitasnya, Hijau Daun. Belasan kali, setiap kali ada kesempatan, Dide, sang vokalis meneriakkan kalimat itu.
Hijau Daun memang fenomenal. Sejak masuk major label di Jakarta dan langsung mendapat tempat di hati penggemarnya yang mayoritas remaja, baru dua kali dia mendapat kesempatan konser di kampung halamannya. Padahal, mereka sudah tur ke pelosok negeri. Mereka juga serasa bangun dari mimpi untuk kemudian mengemban amanat moral untuk mencintai apa-apa yang lebih melekat pada dirinya sendiri.
Tak ketinggalan, grup band yang sedang merangkak naik, The Potters juga hadir sebagai ikon lain keunggulan Lampung. Mereka juga seperti geregetan menginspirasi ribuan penonton yang memadati Lapangan Parkir GOR Saburai untuk bisa berkreasi dan berhasil seperti dirinya.
"Orang Lampung Bisa!" memang tema krusial untuk daerah. Kesadaran kembali bahwa kita mempunyai tanggung jawab moral kepada daerah yang menjadi tumpah darahnya, bahkan yang pernah memberi sokongan besar bagi kebesarannya saat ini, adalah keniscayaan. Dan ketika Ical, Arzetti, Henry Yosodiningrat--yang tercatat dalam buku 100 Tokoh Lampung terbitan Lampung Post--Hijau Daun, dan mungkin Kangen Band, dan nama-nama kondang lainnya berteriak untuk kemajuan Lampung, maka spirit itu menjadi pemicu bangkitnya daerah ini.
Di atas panggung, di hadapan tokoh-tokoh, dalam atmosfer spirit "Lampung Bisa", Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno mengaku bangga dan sangat berharap spirit ini terus digelorakan. "Saya bangga dengan tokoh-tokoh kita ini. Dan orang Lampung harus bisa!" kata dia.
Kecintaan terhadap sesuatu yang berbau kedaerahan, lokal, dan dalam negeri memang terus tergerus oleh isu global yang terus merangsek. Kemudahan yang ditawarkan teknologi dari Amerika, Jepang, dan Barat memang menggiurkan untuk memerosokkan kita kepada arus derasnya. Namun, aset-aset nasional selayaknya juga mendapat perhatian dan dukungan moral untuk tetap hidup. Bahkan, dikembangkan untuk bersaing lalu menjadi pemenang.
Kesadaran Bahasa
Di tengah kesadaran diri akan potensi yang sesungguhnya besar, ada ironi lain yang tak kalah mengkhawatirkan. Kawula muda saat ini memang sedang gandrung kepada musik negeri sendiri.
Perhatikan acara televisi yang tayang setiap hari, dan hampir di semua stasiun televisi swasta, banyak disiarkan secara live, pada jam tayang utama, adalah tangga lagu-lagu Indonesia anak muda. Konser musik dari luar negeri tidak dilirik. Album berbahasa Inggris yang pada dekade sebelumnya seolah menjadi prestise, kini hanya terpajang di rak toko kaset. Ring back tone setiap ponsel juga hampir dikuasai lagu-lagu lokal.
Hari ini, yang berbau lokal memang sedang mendapat tempat. Lihatlah betapa film Sang pemimpi, Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-Ayat Cinta, dan lainnya sangat digemari. Saat dirilis, bioskop-bioskop seperti kehabisan napas untuk menampung antrean penonton.
Ini kesadaran luar biasa. Sayangnya, soal bahasa dan kesadaran berbahasa bangsa ini masih kurang percaya diri. Juga soal penggunaan produk dalam negeri, kita masih silau oleh sihir gengsi yang digelontorkan produsen luar negeri dengan konsep menjual yang luar biasa.
Di Bandar Lampung, kesadaran dan kebanggan menggunakan bahasa Indonesia sebagai indentitas yang membuat percaya diri timbul tenggelam. Pada 1994, saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat Wardiman Djojonegoro, upaya mengindonesiakan Indonesia cukup mendapat respons. Banyak fasilitas umum, nama institusi, merek dagang, dan sebutan-sebutan tempat diindonesiakan.
Untuk mengingat sejenak, Hotel Indra Puri, hotel yang cukup terkenal dan cukup tua di Bandar Lampung itu dulu namanya Indra Palace. Sheraton Hotel tidak perlu diganti, tetapi penempatan katanya saja menjadi Hotel Sheraton. Ada kompleks Perumahan Golden Hill di bilangan Jalan Antasari yang kemudian diindonesiakan menjadi Bukit Kencana. Dan masih banyak lagi objek lainnya. Semua tidak masalah, tetap berwibawa, dan bahkan lebih bangga.
Instansi pemerintah juga merevisi beberapa ejaan. Kata provinsi yang dulu ditulis dengan propinsi, kini dikembalikan ke ejaan yang benar. Juga ejaan lain.
Ada semangat agak berlebihan untuk memberi sentuhan lokal ketika Gubernur Sjachroedin Z.P. terpilih untuk periode pertama. Nama kompleks rumah jabatan gubernur yang sejak lama bernama Pendopo Gubernuran diganti dengan Mahan Agung. Gedung Pusiban, aula di Kompleks Kantor Gubernur Lampung diubah nama menjadi Balai Keratun.
Namun, kini ketika pemerintah tidak terlalu memberi perhatian lagi kepada penggunaan bahasa asing, kecenderungan mengubah kesan untuk popularitas kembali menguat. Ada sekolah tinggi informatika dan komputer cukup ternama di Bandar Lampung ketika mendapat akreditasi justru berubah nama menjadi informatic and business institute. Ada usaha persewaan lapangan olahraga bernama Dome Sport Arena. Dan masih banyak lagi. Mengapa kita tidak bangga dan mengembangkan Bahasa Indonesia untuk menjadi pemenang? n SDM/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Januari 2010
No comments:
Post a Comment