January 17, 2010

Autentisitas Kesenian Lampung

Oleh Endri Y.*

SEBUAH capaian sempurna dalam karya seni dan produk kebudayaan adalah autentisitas. Bentuk keindahan dan kebebasan, autentisitas juga merupakan klimaks dalam satu kreasi berkesenian.

Setiap karya seni perlu menjadikan autentisitas sebagai tujuan utamanya yang jika menurut pemikiran Charles Guignon, dalam buku On Being Authentic, (London, 2004) disebut orang yang bahagia dan bebas. "Ideal kontemporer tentang autentisitas," demikian tulisnya, "mengarahkan Anda untuk menyadari dan menjadi apa yang sudah merupakan diri Anda sendiri, yang unik, karakter-karakter definitif yang sudah ada di dalam diri Anda."

Pada taraf penyempurnaan karakter definitif menjadi karakter orisinal inilah, seni budaya Lampung seharusnya didiskusikan. Bukan sekadar melestarikan apalagi mengonservasi. Era keemasan cahaya kelampungan sudah terbit, sayang dan naif sekiranya Pemprov Lampung, para budayawan, dan sastrawan kita masih berkutat dalam diskursus "pelestarian". Sebab, pelestarian itu akan dengan sendirinya ada jika unsur-unsur autentisitas dan nilai-nilai dasar berkesenian yang ideal itu eksis.

Konflik Pemaknaan

Dalam novel The Brother Kamazarov, sastrawan Dostoevsky berpendapat konflik di dalam dunia modern muncul, karena orang terlalu berfokus pada dirinya sendiri, sehingga menjadi sangat individualistik. Jika ditarik dalam kajian berkesenian di Lampung, menurut Isbedy Setiawan dan Arman (Lampost, [31-12-09] dan [3-01-10]), paham yang mengarah pada benturan antar-budgeting anggaran Pemprov di bidang kebudayaan yang hanya 20% dari total pendanaan budaya dan pariwisata, semua (Seniman dan Pemprov) hanya berfokus pada kepentingan diri sendiri (selfish), baik sebagai profesi pribadi maupun institusi. Jika dibaca penganggaran dana pelestarian kesenian dan kebudayaan Lampung yang 20% itu pun harus dibenturkan lagi untuk, penting mana soal seni tradisi atau modern.

Tulisan singkat ini bermaksud mengulas tentang kejernihan berpikir agar ditemukan konstruk pemahaman yang seirama terkait pengembangan seni budaya Lampung sebagai identitas daerah. Sekaligus pencarian autentisitas dalam jiwa galau seni budaya kita.

Jika ditilik dari Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung yang dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat (11) sudah sangat jelas menyebut yang dimaksud dengan sastra daerah adalah sastra yang diungkapkan dengan bahasa daerah, baik lisan ataupun tulisan. Pada Ayat (13) disebutkan "Kesenian adalah kesenian tradisional masyarakat adat Lampung, yaitu nilai estetika hasil perwujudan kreativitas daya cipta, rasa, karsa dan karya yang hidup secara turun-temurun dalam mayarakat Lampung."

Bahkan pada Pasal 9 Ayat (1) Kesenian tradisional Lampung, wajib diajarkan di sekolah pada jenjang taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan dan peraturan yang diberlakukan di daerah.

Dengan kutipan itu saja, apa yang digelisahkan Isbedy dan Arman tentang keberpihakan Pemprov terhadap seni modern, terkait sastra sepanjang tidak berbahasa daerah, jelas tidak memiliki porsi dalam penganggaran yang 20% itu. Sedemikian naifkah aturan itu dibuat sehingga teater, tari, sastra, dan produk kesenian lain yang tidak sesuai defenisi itu, meskipun sudah berprestasi di tingkat nasional dan membawa karakter ke-Lampung-an tidak layak dilestarikan?

Jika logika ini yang dipakai jelas perlu penataan kembali produk hukum yang sudah ada atau meninjau ulang klasifikasi sekaligus definisi tentang seni tradisi dan modern. Padahal persoalan dasar yang harus dipertanyakan dan dinalar sebagai jawaban atas benturan-benturan ini adalah autentisitas kesenian Lampung. Jika defenisi dan batas pemahaman publik atas mainstream seni budaya Lampung itu bertemu hakikat autentisitasnya, niscaya rumusan kesepahaman atas tujuan bersama dengan tanpa ada yang disalahkan atau dibenarkan, ketemu, dan menyatu.

Tak ada persoalan ketika masalah dan tujuan itu dikerjakan bersama- sama, sebab semua pihak terkait sudah merasa sepaham sepenanggungan. Maka, output untuk melestarikan, memopulerkan, menjadikan komoditas yang menguntungkan, menjadi tujuan pariwisata, menyejahterakan subjek dan atau menjaga kualitas objek kesenian, merupakan konsekuensi logis, berjalan dengan sistemik (kalau tidak boleh disebut berjalan sendiri) karena titian atas keluaran yang sekarang dikeluhkan Pemprov dan seniman sudah berjalan pada relnya.

Sederhananya, pemerintah ingin menjadikan budaya dan kesenian sebagai pariwisata yang mendatangkan PAD, seniman, dan budayawan mendapatkan nilai penghargaan yang sesuai atas jerih payah karyanya. Semuanya simultan dan harus sinergis, tak mungkin Pemprov mendapatkan PAD lewat pariwisata jika seniman tidak berkarya, alam tidak mendukung, dan kultur masyarakat abai terhadap autentisitas seni budayanya.

Sebaliknya, jika kultur masyarakatnya mapan dalam rangka suksesi ini, seniman sejahtera, pariwisata maju, Pemprov dapat PAD banyak.

Masalahnya menjadi pelik jika seperti yang terjadi sekarang, seniman masih berkutat dalam ranah definisi dan karakter kekaryaan, pemerintah abai terhadap kesenian, tapi sama-sama menginginkan keuntungan. Ini pun sebenarnya lumayan, ada geliat dan gelisah atas persoalan kemajuan kesenian kita, bahayanya jika kegelisahan atas karakter saja sudah tidak punya. Menurut Edgar F. Puyear dalam American Generalship, karakter adalah segala-galanya. Jika ada yang hilang selain karakter, itu masih belum kehilangan, tetapi jika karakter yang hilang, hilang sudah semuanya.

Masalahnya karakter merupakan salah satu faktor autentisitas, kenapa tidak lantas langsung menggelisahkan intisari autentisitas seni budaya Lampung, dalam forum yang lebih melibatkan semua pemangku kepentingan atas dunia kesenian kita? Kenapa justru muncul dari pojok bilik UKMBS Unila, tidak dari Pemprov atau Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang jelas fungsi dan tugasnya, sekaligus punya anggarannya.

Rentetan pertanyaan-pertanyaan semacam ini jika dirunut diharapkan dapat merumuskan masa depan seni budaya Lampung yang lebih gemilang. Bukankah pepatah ini sudah cukup familiar ditelinga kita: "Pemimpin masa lalu adalah seorang yang tahu cara berbicara, sedangkan pemimpin masa depan adalah seorang yang tahu cara bertanya." (Peter Drucker, 1993)

Jelaslah, dengan tidak merumuskan dan berusaha menyusun jawaban pertanyaan-pertanyaan dasar terkait dengan autentisitas kesenian dan kebudayaan Lampung membuat kita secara kolektif disebut manusia "masa lalu" yang ditolak masa sekarang, apalagi masa depan. Semoga rangkaian tulisan dari gagasan para budayawan-sastrawan kita itu, merupakan pemantik api untuk pencerahan seni budaya, bukan sekadar pembicaraan linglung tanpa defenisi dan orientasi ke-Lampung-an yang autentik.

Cermin Modernitas Dostoevsky

Sastrawan Rusia terbesar yang penulis harapkan menjadi cermin atas modernitas untuk menetapkan autentisitas seni budaya Lampung ini bernama asli Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky (1821--1881) yang kadang namanya dialihaksarakan menjadi Dostoevsky. Karya-karyanya menimbulkan dampak yang panjang terhadap fiksi abad ke-20. Hampir semua tokoh- tokoh dalam karyanya berada pada kondisi putus asa dan pikiran yang sangat ekstrem, sehingga memperlihatkan pemahaman yang luar biasa tentang psikologi manusia serta analisis yang mendalam mengenai keadaan politik, sosial, dan spiritual di Rusia pada masanya. Banyak dari karya- karyanya yang paling terkenal seolah-olah meramalkan pemikiran dan kepedulian orang di masa modern.

Lampung, bahkan Indonesia sedang krisis identitas akibat modernitas sebagaimana dijabarkan Henry Sabari dalam bukunya Dostoevsky Menggugat Manusia Modern. Hubungan antarkita sering dimanipulasi dan cenderung berpokok kalkulasi untung rugi saja. Ironisnya, jika pemandu arah pencerahan zaman (baca: pemerintah dan budayawan) pun, kalkulasinya profit oriented juga? Mungkin bukan hanya ironi, tetapi innalillahi, puncak tertinggi dari kebebalan dan kekafiran. Kesamaan krisis di Rusia dengan negara kita sebagaimana dipaparkan buku inilah, penulis merujuk cermin Dostoevsky sebagai referensi kajian paling sesuai atas kondisi ke-Lampung-an kita.

Manusia, bahkan produk kesenian pun sudah dirancang pemerintah agar sesuai sistem dan perencanaan manipulatif, menjadikan seniman sebagai kaum marginal yang lemah secara struktural dan finansial. Di sisi lain, seniman dengan sikap apatis dan arogan selalu menyudutkan pemerintah. Sehingga, gempuran modernitas berdasar permenungan Dostoevsky diharapkan mampu memaksa merajut kesempurnaan kelampungan kita. Menghentikan kefasihan bicara, tetapi saling kontemplasi untuk kemudian saling bertanya.

Kita bisa memulainya dengan membuat cermin kedirian sebagai refleksi atas tanya-jawab tentang autentisitas seni budaya Lampung. Tentu dengan sikap ksatria, menerima kesalahan diri dan terbuka atas kritik dan dialektika pemikiran. Semoga 2010 dengan serangkaian gagasan sastrawan, budayawan, dan pemerintah daerah mampu mengantarkan autentisitas seni budaya kita ke arah puncak publisitas. Sehingga visi semisal visit Lampung memiliki landasan operasional yang jelas. Konsep dan kiprah berkesenian tidak latah dan sekadar nyinyir.

* Endri Y., pecinta kesenian, bermukim di Kalianda

Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Januari 2010

1 comment:

  1. benar, kalkulasi untung rugi ala utilitarianisme jika diacu sebagai cara berkesenian merupakan kematian bagi seni itu sendiri, dalam bahasa yg lebih "lampung" akan membunuh kelampungan kita

    ReplyDelete