Oleh Arman A.Z.
Pembangunan kesenian adalah tugas dan tanggung jawab bersama. Pemda sepatutnya menjadi inisiator bagi pelaku kesenian yang kerap tak berdaya menghadapi sumber-sumber anggaran.
MENERIMA undangan diskusi seni UKMBS Unila bertema Geliat kesenian di Lampung, siapa peduli?! di Gedung PKM Unila, Kamis (17-12) lalu, awalnya saya enggan menghadiri. Saya menerka diri saya akan terjebak dalam ruang linglung yang dipenuhi curhat, kritik, dan (seperti biasa) tak satu pun pejabat pemegang palu keputusan terlibat aktif dalam diskusi itu. Kalaupun muncul wacana atau ide segar, toh (seperti biasa juga) lesap seusai acara. Tak ada langkah atau implementasi konkret. Kemudian, hari terakhir 2009, saya membaca esai Isbedy Stiawan Z.S. di Lampung Post sekaitan dengan diskusi itu yang membahas nasib kesenian di Lampung.
Saya percaya diskusi, seminar, esai, atau apa pun kemasannya untuk kesenian, spiritnya tetap sama, yakni bagaimana agar seni budaya di Lampung bertahan; gagah di tengah banjir bandang informasi dan teknologi, buah dari globalisasi yang tak bisa ditolak atau dihindari.
Kesenian sama kedudukannya dengan aspek kehidupan lain, seperti olahraga, pariwisata, ekonomi, politik, iptek, dan sebagainya. Jika ditanya siapa peduli kesenian di Lampung, tentu banyak pihak (heroik atau nostalgik) menunjuk dirinya sendiri. Pertanyaannya: sejauh dan seintens apa kepedulian itu? Cukupkah dengan menghadiri acara kesenian yang notabene karena perintah atasan (nota dinas/disposisi)? Membeli lukisan atau buku, nyanyi diiringi organ tunggal, atau tepuk tangan usai menonton pentas tari? Mudah-mudahan tak sebatas itu.
Saya mengklasifikasikan pihak-pihak yang peduli dengan kesenian di Lampung menjadi empat komponen: Pemerintah, kelompok menengah, pelaku seni, dan konsumen atau masyarakat awam. Kelas menengah terdiri dari banyak unsur: media massa, akademisi, pihak swasta, lembaga yang "mengatasnamakan" seni budaya, lembaga yang "menempelkan" seni budaya dalam struktur organisasi tapi fungsi dan kiprahnya masih bisa dipertanyakan, mereka yang mengaku atau ditahbiskan sebagai "budayawan", dan individu-individu. Idealnya, keempat mata rantai itu bersinergi membangun kesenian Lampung. Namun, faktanya, masih jauh panggang dari api. Contoh sederhana, seniman menganggap dukungan pemda terhadap kesenian masih kurang. Di sisi lain, pemda menganggap peran dan dukungannya terhadap kesenian di Lampung sudah maksimal.
Pembangunan kesenian (dan kebudayaan) di Lampung selama ini masih menguarkan aroma kepentingan politik identitas, belum menyentuh substansi kesenian dan pemberdayaan pelaku seni. Bisa jadi hal seperti ini juga terjadi di daerah lain. Kita kenyang mendengar jargon-jargon mengagungkan seni budaya dan tradisi. Nyatanya, seni budaya dan tradisi hanya sebatas gerbong, bukan lokomotif. Ironisnya lagi, lembaga yang mengatasnamakan "seni/budaya/adat/tradisi", yang mestinya menyokong dan mengawal kesenian, di momen-momen tertentu justru dimanipulasi sebagai instrumen politik. Kalaupun ada capaian, sifatnya dangkal, tak menyentuh substansi, apatah lagi bisa diharapkan untuk jangka panjang. Rasa "memiliki" baru akan muncul jika ada produk seni budaya diakui segelintir masyarakat negara lain. Itu pun disikapi dengan kacamata kuda dan berlebihan, sementara esensi atau akar permasalahannya terabaikan. Pikiran pragmatis macam itu sudah dipelihara dan mendarah daging.
Pembangunan kesenian adalah tugas dan tanggung jawab bersama. Pemda sepatutnya menjadi inisiator bagi pelaku kesenian yang kerap tak berdaya menghadapi sumber-sumber anggaran. Harus diakui, usaha itu sudah dilakukan pemda, tapi belum maksimal dan masih ada peluang kebocoran. Organisasi seni dan pelaku seni yang bertahun-tahun aktif berkarya, mengharumkan Lampung di pentas nasional, oleh segelintir oknum di instansi pemerintahan disamakan dengan lembaga-lembaga dadakan atau musiman yang tak jelas program kerja dan prestasinya.
Contoh lain, jika instansi pemerintah meminta sanggar musik atau tari untuk pentas di sebuah event pemerintah, orang-orang dalam instansi itu sudah duluan mematok harga. Mereka tak mempertimbangkan keperluan (transportasi, dll) dan keringat yang telah dikeluarkan individu-individu di sanggar itu agar bisa tampil maksimal.
Maka saya nyengir, tak heran mendengar informasi narasumber diskusi, bahwa tahun 2010 Pemprov Lampung telah menetapkan anggaran pariwisata 80% dan kesenian 20%. Anggaran kesenian itu pun diprioritaskan untuk seni tradisi. Inilah yang saya maksud dengan "cek kosong" kesenian di Lampung. "Cek kosong" itu sejak dulu ada di tangan pemda dan elite politik. Para penentu kebijakan itu seolah tahu betul problem kesenian hingga renik-reniknya, lantas mengelolanya, sementara seniman diposisikan sebagai objek. Hasilnya bisa diterka: produk kesenian yang muncul adalah by order, copy paste program tahun sebelumnya dengan alokasi anggaran lebih bengkak.
Tahun 2010, Lampung menjadi tuan rumah temu sastra 10 provinsi yang tergabung dalam Forum Kerja Sama Mitra Praja Utama. Ini program tetap pemprov di bawah kendali Disbudpar setiap provinsi, setelah sebelumnya di Banten, Bali, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Panitia pelaksananya adalah sastrawan (melalui DKL). Sastrawan, akademisi, kritikus, plus wartawan dari 9 provinsi lain akan tandang ke Lampung.
Secara langsung atau tak langsung mereka akan mempromosikan Lampung, entah lewat karya sastra atau info jurnalistik. Terbetik kekhawatiran, alokasi anggaran yang minim (kabarnya Rp50 juta) yang akan digelontorkan Disbudpar mungkin tak utuh lagi. Entah apa dalihnya. Bagaimana sastrawan bisa bekerja maksimal dengan anggaran minim? Sudah tentu, sastrawan dan DKL lagi yang harus putar otak, peras keringat, untuk menyukseskan hajat itu. Sekali lagi, inilah yang saya ilustrasikan sebagai "cek kosong" kesenian di Lampung.
Belum jika menilik ke belakang, ketika beberapa temu sastra MPU itu tidak ada satu pun wakil birokrat instansi terkait, dengan dalih tak ada anggaran. Program kesenian milik pemerintah (10 provinsi!) saja disepelekan, apatah lagi yang murni inisiatif kreatif pelaku kesenian.
Saya lebih percaya bahwa identitas sebuah daerah (dan bangsa) adalah seni-budayanya, bukan pariwisata yang notabene bersifat profit oriented. Begitulah jika pemda memilih meningkatkan PAD melalui pariwisata. Alokasi anggaran kesenian dan pariwisata jadi timpang. Sayangnya lagi, kesenian dikurung dalam tafsir tunggal, bahwa seni tradisilah yang harus diberi porsi lebih. Begitu pula hasilnya jika formula "membangun" kesenian selama ini adalah top-down (dari penguasa turun ke pelaku kesenian), bukan bottom-up (dari pelaku kesenian naik ke penguasa). Yang terjadi adalah maunya atau idealnya penguasa, bukan maunya atau idealnya seniman.
Kesenian itu dinamis, tidak statis. Dia akan bergerak, beradaptasi dengan perkembangan zaman. Sah saja ada jargon atau semangat melestarikan tradisi. Sah saja mengkhawatirkan tradisi yang terancam punah di tengah arus globalisasi saat ini.
Namun, menurut saya, kebanggaan yang berlebihan dan kekhawatiran yang berlebihan terhadap tradisi justru membuat tradisi itu makin tampak diperdaya, dimanekenkan, dimanipulasi, lantas dijadikan dagangan. Bagaimana bisa melestarikan tradisi jika masih banyak seniman tradisi yang kesejahteraannya jauh dari layak, yang tak tercatat, tapi mereka tetap teguh berkesenian. Kalau ada yang membantu, bukan pemerintah atau sistem birokrasi yang menyentuh mereka, tapi individu-individu yang peduli.
Tradisi itu ada karena diciptakan, dirawat, dipertahankan. Ambil contoh. Jika sebuah sanggar tari di Lampung membuat satu karya baru kemudian sepanjang waktu dipromosikannya dalam berbagai kesempatan tanpa melulu berorientasi profit, bisa jadi seabad kemudian karya itu pun akan dianggap sebagai tradisi. Dengan catatan, jika negara ini masih panjang umur. Saya tak antitradisi, pun tak antimodern. Namun, hendaknya berimbanglah menyikapinya. Dalam konteks anggaran 20% di tahun 2010 untuk kesenian di Lampung, jangan nafikan seni modern di Lampung yang lebih berprestasi di level nasional, misalnya sastra dan teater.
Dalam diskusi di UKMBS Unila itu, terbetik usul Ari Pahala Hutabarat agar dibentuk semacam tim, pansus, atau apalah namanya agar memiliki bargaining dengan pemda terhadap nasib kesenian di Lampung. Semacam Tim 8 dalam kasus Century Gate. Usul yang disetujui beberapa pihak itu menggiring saya pada pertanyaan: lantas apa guna "wakil-wakil rakyat" itu, yang merupakan representasi dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk pelaku seni budaya? Apakah mereka sudah terprogram untuk selalu lelet merespons kegelisahan seniman namun responsif dan proaktif mengamankan kepentingan politik?
Bedah lagi orientasi dan paradigma kesenian dan kebudayaan di Lampung yang bias arah dan implementasinya. Evaluasi, kritisi, bila perlu hentikan kegiatan seni budaya yang sifatnya seremonial, berorientasi menyelesaikan proyek, menghabiskan uang, lalu data statistik penuh rekor dan prestasi itu lapuk begitu saja dalam laci arsip, tapi tak berdampak jangka panjang terhadap kesinambungan kesenian dan kebudayaan di Lampung. Janganlah "membangun" kesenian sebatas politik identitas tapi tak menyentuh substansi, serupa membangun gedung mentereng, monumen, dan sebagainya, tapi kelak kosong karena abai membangun jiwa manusianya.
Pemda sebagai inisiator mesti membuat regulasi alternatif terhadap kesenian di Lampung yang melibatkan semua pemangku kepentingan kesenian. Regulasi itu harus menyentuh prinsip-prinsip keadilan hingga tidak muncul nuansa diskriminasi di kalangan pelaku seni di Lampung. Cobalah duduk bersama, rumuskan kembali relasi dan strategi kemitraan antara pemerintah, seniman, kelompok menengah. Rumuskan target jangka pendek, menengah, dan panjang untuk kesenian di Lampung lalu implementasikan dengan konkret.
Akhirnya, di negara yang tiap hari riuh problem, yang "orang-orang besar"-nya piawai menunggangi bahasa (bahkan Tuhan) untuk retorika; wacana; jargon; dan pleidoi, saya percaya seniman di tiap daerah, khususnya Lampung, akan tetap setia berkarya. Merekalah yang akan merawat dan meruwat kesenian dengan perspektif dan caranya sendiri.
* Arman A.Z., cerpenis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Januari 2010
No comments:
Post a Comment