January 13, 2010

RI Bebas Keluarga Miskin?

Oleh Supadiyanto

MUSTAHILKAH judul artikel pendek di atas dapat terealisasi, entah dalam jangka waktu 10 tahun lagi, 20 tahun mendatang atau bahkan 100 tahun lagi dari sekarang? Bagaimana obsesi itu bisa gampang terealisasi, lha wong negara Amerika Serikat saja yang sejak dulu kondang sebagai Negara Adidaya (0Superpower), kini masih memiliki penduduk miskin yang jumlahnya sekitar 30 juta jiwa. Itu artinya setara 10 persen dari total penduduk Amerika Serikat yang berjumlah hampir 300 juta orang masih terus hidup di bawah garis kemiskinan.

Membandingkan Amerika Serikat dan Indonesia memang tidak sebanding. Negara Indonesia yang bukan apa-apanya jika dibanding Negeri Paman Sam itu entah dalam bidang apa pun (kecuali tingkat kejahatan korupsinya lebih unggul), jelas akan terlihat "konyol" jika berani memproyeksikan Indonesia sebagai kawasan yang terbebas dari orang-orang miskin--seperti judul yang tertera di atas.

Namun menurut hemat penulis, bukan berarti proyeksi muluk di atas tidak mungkin dicapai dalam waktu jangka panjang. Akan sangat rasional jika hampir 40 juta jiwa penduduk miskin yang sekarang masih menghuni negeri seluas hampir 8 juta kilometer persegi ini bisa ditekan hingga mendekati angka nol.

Katakanlah jika setiap satu periode pemerintahan (5 tahun), pemerintah membuat program jangka panjang (permanen) yang kebijakan ini berlaku sepanjang masa, tidak peduli apakah presiden-wakil presidennya sudah berganti orang (entah diusung dari partai politik yang berbeda atau sama dari sebelumnya), tak penting juga apakah menteri-menterinya pun telah berganti nama; program pemberantasan jangka panjang tetap diteruskan dalam estafet kepemerintahan itu.

Sehingga kesan ganti menteri atau pergantian pucuk pimpinan nasional juga berganti kebijakan dapat dihilangkan dari pengetahuan publik. Juknis sederhananya begini, targetkan saja minimal dalam satu periode pemerintahan, seperti pemerintahan SBY-Boediono (2009--2014) diplot untuk bisa mengentaskan orang-orang miskin sebanyak 5 juta jiwa (syukur melebihi dari angka yang disebut). Bukankah itu artinya, dalam waktu setahun ke depan, pemerintah hanya ditarget memberdayakan 1 juta orang miskin. Idem kalkulasi itu, dalam sebulan berarti pemerintah hanya dibebani memberdayakan sebanyak 84 ribu orang miskin. Jadi kalau dihitung jari, dalam sehari tanggungan pemerintah yang berkuasa untuk mengangkat derajat orang-orang miskin terhindar dari lubang jarum kemiskinan hanya diplot sebanyak 2.800 orang saja. Angka yang tidak besar, bukan?

Lantas berbincang soal finansial, berapa jumlah anggaran yang diperlukan untuk memberdayakan orang miskin yang dimaksud? Hitung saja, tentu sangat murah meriah. Katakanlah untuk memberdayakan orang miskin dalam 1 periode pemerintahan, dikucurkan dana pinjaman berbunga lunak Rp5 juta yang dirancang untuk diberikan kepada setiap penduduk miskin selama 5 tahun ke depan.

Dengan begitu kocek milik negara yang perlu dipersiapkan untuk mendanai proyek pengentasan kemiskinan selama 5 tahun itu cuma butuh Rp5 juta dikalikan 5 juta orang, sama dengan Rp25 triliun. Secara global, sepanjang 40 tahun ke depan (2049) cuma dibutuhkan dana negara sebanyak Rp200 triliun saja untuk bisa menghapus angka kemiskinan di Indonesia. Bukankah bila program jangka panjang itu konsisten dijalankan tiap pemerintahan yang berkuasa di negeri ini, hanya dalam waktu 8 kali periode pergantian pemerintahan atau selama 40 tahun ke depan (2009--2049), Indonesia akan terbebas dari orang-orang melarat?

Cuma yang patut diperhatikan bersama, teknis pengeksekusian program pengentasan kemiskinan berjangka panjang ini, jangan cuma dilakukan seperti dalam Program Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang tanpa ada proses pemberdayaan masyarakat di dalamnya. Kita menilai Program BLT kurang berdaya guna kebermanfaatannya, bahkan pembagian dana BLT itu riskan menimbulkan konflik akibat kecemburuan sosial.

Taruhlah misalkan 5 juta orang miskin di negeri ini yang masing-masing diproyeksikan untuk diberikan bantuan modal kerja Rp5 juta itu diwajibkan untuk membuka usaha kerja sesuai dengan minat, bakat, dan keterampilan yang dimiliki mereka. Andai saja mereka tidak (atau belum) memiliki bakat, belum terdeteksi minat kerjanya di bidang apa, keterampilan yang dimiliki apa saja; tanggung jawab Pemerintah Pusat dan daerah adalah melakukan pelatihan kerja (mentoring) secara intensif dengan biaya semurah-murahnya atau gratiskan sekalian.

Tingkat kegagalan dari program pemberantasan kemiskinan model jangka panjang ini bisa diminimalkan sekecil dan sedini mungkin dengan mengantisipasi agar tidak muncul orang miskin baru. Jadi, bekali saja orang-orang miskin itu dengan dengan keterampilan kerja yang memadai. Usaha perbengkelan, kerajinan tangan, jahit-menjahit, budi daya tanaman, peternakan dan perkebunan, usaha dagang warung kelontong, dan industri skala kecil lainnya adalah jenis usaha yang sangat relevan untuk memberdayakan orang-orang miskin di Indonesia. Mungkinkan tahun 2049 mendatang, RI bebas dari penduduk miskin, syukur-syukur sebelum tahun itu?

Supadiyanto
, Direktur Eksekutif ICRC Jateng-DIY, Ketua Umum PPWI DIY

Sumber: Lampung Post, Rabu, 13 Januari 2010

No comments:

Post a Comment