February 23, 2014

[Fokus] Preman, Reputasi Nama yang Telah Bersalin

Oleh Meza Swastika

MESKI sudah sepuh, Ramelan masih ingat sudut-sudut Pasar Tengah yang kerap dijadikan tempat berduel oleh preman-preman. Mereka saling berebut wilayah kekuasaan pada medio 1980-an hingga 1990. Ia bahkan tak bisa menghitung secara pasti kasus-kasus perkelahian antarpreman hanya untuk merebut wilayah pasar, terminal, dan stasiun.

"Terminal, Pasar Tengah, dan stasiun itu dulunya sepenuhnya dikuasai oleh preman Gunungsari. Dulu banyak preman-preman dari luar yang berusaha merebutnya, tapi tak pernah berhasil karena premannya kompak, " kata dia.


Wilayah Gunungsari mutlak menjadi rebutan para preman karena semua sumber ada di daerah ini. "Dulu yang terkenal selain Kaliawi ya Gunungsari ini. Orang luar kalau sudah mendengar anak-anak dari Kaliawi atau Gunungsari pasti langsung ngeri.”

Ketika itu, gesekan antarkampung kerap timbul, termasuk dengan kampung tetangganya, Kaliawi. Pemicunya biasanya disulut oleh kawanan preman agar Pasar Tengah dan terminal, termasuk Stasiun Tanjungkarang, bisa mereka kuasai.

Uang bisa mereka dapat dengan mudah, seperti setoran uang keamanan dari pedagang. Cuk atau uang mengetem angkutan terminal sampai aksi kriminalitas seperti pencopetan di stasiun, arus perputaran uang dari bisnis ini ketika itu lumayan besar. Tak heran jika daerah ini menjadi rebutan.

Pengunjung pasar maupun calon penumpang terminal maupun stasiun harus menyimpan dompetnya di tempat rahasia. Atau, mereka harus memegang erat-erat barang bawaannya ketika berada di kawasan ini karena khawatir menjadi sasaran para preman.

Tingginya tingkat heterogenitas warga di sini yang membuat banyaknya permasalahan sosial yang menjurus ke arah kriminalitas.

Edi Susilo atau Edi Bogel, ketua RT 07 Kelurahan Gunungsari, menyebut masa itu sebagai masa yang paling suram buat warga Gunungsari. Stigma negatif sebagai daerah para preman membuat daerah ini begitu ditakuti. "Bagaimana tidak ramai premannya, semua ada di sini. Ada pasar, terminal sama stasiun, semuanya menghasilkan uang buat mereka," kata Edi.

Rahmat, salah seorang warga Gunungsari, pun masih merasakan stigma buruk itu hingga kini. Ia kerap agak risi ketika banyak teman kuliahnya menyebut Gunungsari sebagai kampung preman. "Sudah enggak ada lagi yang seperti itu sekarang.”

Ramelan pun mengakui kini preman-preman sudah banyak yang insaf, beberapa bahkan sudah meninggal dunia. "Sekarang sudah pada tua semua. Alhamdulillah sudah pada sadar dan insaf semua," kata Ramelan.
Termasuk Ramelan, kini di usia tuanya ia membuka usaha pembuatan reklame kecil-kecilan. Ia hanya bermodal gubuk papan kecil berukuran 2 x 3 meter di salah satu sudut Jalan Teuku Umar, tak jauh dari Gedung Juang. "Sekarang cari uang dengan cara yang halal.”

Demikian halnya Lurah Gunungsari Nurjannah, mengaku stigma itu kini sudah jauh lebih berubah. Ia tak lagi melihat warga Gunungsari yang berprofesi sebagai preman. Kebanyakan dari warganya berprofesi sebagai pedagang atau bekerja di toko. "Mungkin itu dulu ya, kalau sekarang sudah tidak lagi," kata dia. (M1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Februari 2014

No comments:

Post a Comment