February 9, 2014

Berakting ala Stanislavski

Oleh Rudiyansyah


KARPET hijau bercampur merah telah digelar. Di lantai dua gedung kemahasiswaan Universitas Lampung, sekira 50 orang duduk di atasnya membentuk persegi empat rapi serius mengikuti diskusi.


MEMBINCANGKAN DUNIA AKTING. Puluhan pencinta buku membahas Akting
Berdasarkan Sistem Stanislavski karya Iswadi Pratama dan Ari Pahala
Hutabarat, di lantai II Gedung PKM Universitas Lampung, Rabu (5/2).
(LAMPUNG POST/IKHSAN DWI NUR SATRIO)
Imel, aktivis seni di UKMBS, tampil menjadi pembuka acara bulanan yang digelar Lampung Post tersebut, Rabu (5/2). Pada kesempatan ini, Bincang Buku Lampung Post diadakan secara roadshow yang bertempat di UKMBS Unila sebagai tuan rumah. Pria muda yang aktif di Komunitas Berkat Yakin (KOber) Alexander G.B. tampil sebagai medorator acara bincang buku yang berjalan cukup semarak.



Meski awan lengas bergelayut di luar, tak membuat para pencita buku itu bersurut yang pada kesempatan ini membincangkan buku Akting Berdasarkan Sistem Stanislavski karya sutradara Teater Satu Iswadi Pratama dan sutradara Komunitas Berkat Yakin Ari Pahala Hutabarat.

Selain puluhan mahasiswa dan pecinta buku, pada acara tersebut dihadiri juga oleh kedua penulis yang semakin menyemarakkan acara. Pada kesempatan itu, Ari Pahala Hutabarat, sastrawan sekaligus tokoh teater Lampung yang belum lama menulis buku Panduan untuk Para Pemeran Teater, tampak antusias memberi semangat pencinta buku untuk melihat dunia akting secara total.

Menurut Iswadi, buku Akting Berdasarkan Sistem Stanislavski ini ditulis karena kegelisahan Ari Pahala dan dirinya akan minimnya panduan akting yang membuat para pencinta dunia akting banyak "tersesat", berakting tidak berdasarkan keilmuan yang jelas.

Bukan tanpa alasan Iswadi mengatakan hal tersebut. Dia punya pengalaman yang menggelikan sekaligus miris tentang hal tersebut. Selaku pengasuh dunia akting, dia pernah mendapatkan salah seorang pemain teater dari luar Lampung yang hendak magang di Teater Satu, asuhannya.

Ketika Iswadi bertanya bagaimana teknik latihan yang selama ini dipelajarinya, si anak mengaku selama ini setiap latihan ia musti berendam di sungai tengah malam. Selain itu, harus tidur di kuburan, dan macam-macam ritual lain yang bersifat klenik. Ini benar-benar membuat Iswadi prihatin. Maka bertemulah kegelisahan kedua tokoh teater Lampung tersebut. 

Alhasil, ia bersama Ari Pahala Hutabarat berupaya menulis sebuah buku panduan akting. Tak asal Iswadi dan Ari memilih akting, dirinya mengaku berguru berdasarkan cara akting Stanislavski. Sejak lama Iswadi mengaku belajar dari Stanislavski. Banyak kekeliruan yang akhirnya dapat ia benahi.

Usai menulis sebuah buku akting, kegamangan Iswadi dan Ari Pahala tak lantas usai untuk dunia teater. Mereka berdua melihat minat baca masyarakat yang masih kurang. Hingga dalam diskusi tersebut Iswadi menginstruksikan setiap pemain teater harus dan wajib membaca buku tersebut jika tidak ingin dijangkiti virus “Mbah Jenggot” yang diibaratkan dirinya sebagai sumber kemalasan hingga berujung pada kekeliruan.

“Saat ini hati-hati dengan virus ‘Mbah Jenggot’ bernama kemalasan,” ujar Iswadi kepada seluruh peserta diskusi.
Menurut Iswadi, virus “Mbah Jenggot” telah menjangkiti masyarakat dari yang semula belum mengenal budaya membaca hingga menjadi bangsa yang malas membaca. Akan tetapi, Iswadi merekomendasikan buku akting ala Stanislavski menjadi referensi bacaan setiap orang, meski bukan pemain teater.

Sedang untuk pemain teater yang malas atau enggan untuk membaca dan terus belajar, menurut Iswadi, merekalah seniman-seniman yang karyanya tak akan pernah laku dan malaikat pun akan membenci mereka.

Salah satu peserta Bincang Buku, Yuli Nugrahani, yang aktif di Keuskupan Tanjungkarang, dalam diskusi tersebut menanyakan kenapa harus belajar teater dari Stanislavski, bukan ludruk atau yang lain. Menurut Iswadi, dalam hal belajar tak ada kebenaran yang mutlak. Akan tetapi, saat ini dirinya mengaku sebagai tokoh teater asal Rusia yang karyanya telah banyak menjadi rujukan panggung teater dunia, Stanislavski layak untuk dijadikan sandaran untuk belajar tentang teater.

Iswadi mengibaratkan setiap seseorang yang ingin mencapai tempat yang tinggi, pastilah membutuhkan tangga untuk menggapainya. Setiap tangga harus memiliki sandaran yang kokoh sehingga, menurutnya, dalam berteater pun sama halnya. Akting berdasarkan Stanislavski dapat dijadikan sandaran yang kokoh bagi para pemain teater.

Selain itu, Iswadi juga menambahkan Stanislavski mengajarkan teater secara utuh, tidak hanya sebagian. Ada tiga kajian Stanislavski dalam berteater, yaitu emotional center, main center, dan fisikal center.

“Setiap pemain teater tidak akan bisa bermain dengan baik meski dirinya mengaku fokus, tetapi ketiga unsur teater tadi tidak terpenuhi,” ujar Iswadi dalam diskusi buku sore itu.
Sedangkan untuk ludruk, Iswadi mengaku kurang menguasai sehingga tidak mungkin menjadikan sandaran jika dirinya saja tidak paham akan hal yang akan dijadikan sandaran dalam berteater.

Di akhir diskusi yang juga disuguhi kopi panas sambil menjawab beberapa pertanyaan dari peserta, Ari Pahala Hutabarat mengungkapkan teater adalah seni di mana seorang dituntut untuk tidak menjadi individualis. Karena dalam seni berteater setiap aktor dituntut untuk pintar menguasai emosi diri bersama aktor lain di panggung. Karena berteater bukanlah mencintai diri dalam seni, melainkan mencintai seni dalam diri.

Tak lama setelah lampu gedung dinyalakan, diskusi sore itu berakhir seiring waktu yang mendekati senja sore. (P2)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Februari 2014

No comments:

Post a Comment