February 2, 2014

[Lampung Tumbai] Balas Dendam dan Harga Diri

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda

PANTAI-pantai yang terlindung dari hantaman ombak dan tiga sungai besar yang dapat dilayari sampai jauh ke pedalaman seharusnya dapat menjadikan Lampung sebagai pusat perdagangan di bagian selatan Pulau Sumatera.

PP Roorda van Eysinga memperkirakan impor barang ke daerah Lampung mencapai 72 ribu gulden per tahun. Dari Batavia, datang pedagang-pedagang menjual aneka barang ke Lampung. Akan tetapi, dagangan mereka dijual dengan harga yang agaknya terlalu mahal. Orang di Lampung lantas membeli keperluannya di tempat-tempat lain dengan harga 50% lebih murah daripada dari pedagang-pedagang Batavia itu.


Karena sedikitnya hasil pertanian dan kehutanan, ekspor komoditas dari kedua bidang itu tidak terlalu banyak. Yang dihasilkan petani dan peramu di hutan tampaknya sebagian besar habis digunakan masyarakat daerahnya sendiri dan oleh pegawai-pegawai dan pasukan militer Hindia-Belanda yang ditugaskan di Lampung.

Ketika buku ini diterbitkan, belum banyak orang Lampung yang memeluk agama Islam. Bukan pula agama Buddha yang menjadi keyakinan mereka. Selain beberapa orang yang tinggal di daerah pantai, tak ada pendeta Kristen dari Belanda yang ditugaskan ke Lampung (apalagi dibandingkan dengan banyaknya pendeta Belanda yang bekerja di Pulau Jawa).

Orang Belanda pada waktu itu cenderung berpikir nilai dan norma dalam agama Kristen dapat mengubah masyarakat menjadi beradab—dengan catatan bahwa adab yang dimaksud adalah adab atau norma yang berlaku dalam kebudayaan Barat, khususnya kebudayaan Belanda sendiri. Tidak mengherankan upaya mengirimkan zendelingen atau para misionaris ke segala daerah dianggap penting.

Salah satu hal yang menarik perhatian dan mencemaskan Belanda adalah budaya membalas dendam yang ada ada dalam berbagai masyarakat di nusantara, karena budaya ini boleh dikatakan tidak dikenal di negeri Belanda (walau masyarakat daerah-daerah Mediteran di Eropa, seperti Italia dan Spanyol, mengenalnya).

Ada anggapan bentuk budaya itu dapat dihilangkan dengan memperkenalkan nilai dan norma agama Kristen kepada masyarakat. Akan tetapi, hal itu sulit dilakukan di Lampung karena penduduknya tidak mudah tunduk dan terpengaruh pendatang-pendatang dari luar.

Belanda tidak begitu saja menugaskan pegawai atau pendetanya ke suatu daerah yang tidak dikenal. Daerah Lampung termasuk kategori ini. Walau letaknya tak jauh dari Residensi Banten yang sudah didatangi Belanda sejak abad ke-17, jejak kehadiran Belanda di Lampung hampir tak ada di Lampung pada pertengahan abad ke-18. Setiap pegawai Belanda yang diutus ke daerah seperti itu sedapat mungkin disertai pasukan militer yang dapat membantunya membela diri. Begitu pula halnya dengan para misionaris.

Di Lampung, hal itu dianggap perlu dilakukan karena antara lain petaka yang menimpa beberapa orang Belanda di sana. Pada 1821, Letnan Mathieu le Liévre ditugaskan di Telukbetung. Empat tahun kemudian, lelaki itu tewas ketika hendak menangkap Raden Intan yang dianggap sebagai pemimpin kelompok perampok. Lelaki Belanda yang lain, de Coenraad, mengalami nasib yang sama. Lelaki itu adalah pedagang dan pemasok madat (pada waktu itu penggunaan madat masih lazim dilakukan).

Keterangan ini menarik. Barangkali dalam catatan kesejarahan Belanda, kedua orang itu dianggap sebagai korban pemberontakan masyarakat. Bagi kita, catatan mengenai kematian orang-orang Belanda yang ditugaskan ke berbagai daerah di mancanegara dapat dilihat sebagai bukti (sudah) adanya perlawanan terhadap kekuasaan asing. Peristiwa yang dianggap malapetaka bagi suatu bangsa (dalam hal ini, Belanda) menjadi peristiwa heroik di mata bangsa yang lain (baca: Lampung).

Ketika PP Roorda van Eysinga menerbitkan bukunya, perilaku membalas dendam (untuk mempertahankan harga diri) tampaknya dianggap sebagai perilaku yang diharapkan, bahkan merupakan semacam kewajiban yang harus dijalankan bila situasi memerlukannya.

Sanksi denda yang dijatuhkan bila korban pembunuhan berasal dari kasta teratas (konon, pada waktu itu, ada lima kasta di Lampung) mencapai 1.000 gulden. Denda terendah untuk korban dari kasta terendah adalah sebanyak 180 gulden. Pelaku pembunuhan yang tidak dapat membayar dendanya terpaksa membayar dengan jiwanya atau menyerahkan diri menjadi budak.

Denda-denda itu digunakan oleh kerabat korban untuk membayar biaya penguburan dan mengadakan selamatan penebusan (bersama kerabat pihak pembunuh). Kewajiban membayar denda itu tidak hanya ditanggung pelaku itu saja, tetapi menjadi tanggung jawab yang dipikul bersama oleh kerabatnya. Orang yang mengabaikan kewajiban itu mendapatkan cemooh karena dianggap sebagai manusia yang tidak memiliki harga diri.

Hukuman badan yang biasanya dijatuhkan sebagai sanksi tindak pembunuhan dalam sistem hukum Barat tidak akan memuaskan di Lampung. Hukuman seperti itu tidak memberikan solusi bagi kewajiban-kewajiban budaya yang harus dilakukan ketika seseorang dihadapkan dengan kematian. Bila seorang pembunuh hanya ditahan di bui, tanpa keharusan membayar denda sesuai dengan status sosial korban yang dibunuhnya, lalu siapa yang dapat mengembalikan harga diri keluarga si korban? Siapa yang akan membayar biaya segala upacara adat yang wajib dilakukan bila seorang warga masyarakat meninggal dunia? n

Pustaka Acuan:
P.P. Roorda van Eysinga, 1832, Beschouwing van den staat der nog weinig bekende Lampongs dalam Verschillende Reizen en Lotgevallen van S Roorda van Eysinga, Amsterdam: Johannes van der Hey & Zn.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Februari 2014

No comments:

Post a Comment