February 9, 2014

[Buku] Berteaterlah secara Lebih Rasional

PADA dasarnya, dalam setiap gerakan fisik terdapat motif dalam yang secara psikologi mendorong gerakan fisik seperti yang terjadi di setiap gerakan psikologis yang memiliki pula gerakan fisik yang menunjukkan psikis secara alamiah. Gabungan kedua gerakan tersebut terdapat dalam gerakan organik di atas pentas (Konstantin Stanislavsky).

Buku ini paling tidak akan membantu setiap aktor atau sutradara memahami dan pelan-pelan dapat mewujudkan apa disebut sebagai akting yang wajar, yang organik, yang meyakinkan. Sebab, kedua penulis dengan cerdas mampu membagi dan memetakannya dengan baik, sehingga tak disangsikan lagi bahwa buku ini punya peran nyata bagi aktor, sutradara, dan juga guru drama di sekolah yang mengganggap teater sebagai sebuah pengetahuan.


Berbeda dengan buku-buku teks yang lain, dari buku ini kita akan lebih mudah memahami bahwa ada tiga bagian utama yang bekerja pada diri aktor. Pertama, kerja aktor yang berpusat pada pikiran (thinking centre). Kedua, kerja aktor yang berpusat pada emosi (emotion centre). Ketiga, kerja aktor yang berpusat pada aktivitas fisik (physical centre). Keseluruhan sistem Stanislavski memang dibangun dari tiga jenis kerja keaktoran itu. Dibangun dari tiga serangkai pemusik ini. Dibedakan menjadi tiga agar lebih mudah untuk memetakannya saja.

Panggung pertama: kerja pikiran (thinking centre). Tempat emosi (rasa) terlalu berlimpah, maka pikiran akan padam. Sebaliknya, setiap kali pikiran menjadi terlalu dominan, rasa akan susut hilang. Sering kita menemukan fakta bahwa ada sebagian seniman menganggap kerja seni adalah kerja dengan rasa, jiwa, hati. Pandangan ini sama sekali tidak salah, kecuali mereka benar-benar mengabaikan kerja si perusuh yang bernama pikiran.

Fase ini, sebagaimana yang terdapat pada salah satu bab adalah fase analisis, identifikasi, membuat perencanaan pemanggungan, menafsir teks, dan lain-lain. Ada beberapa poin dan fase penting yang ditulis-jabarkan dalam kerja yang berpusat pada pikiran (thinking centre) ini: analisis round the table, given circumstance: situasi terberi, satuan dan sasaran, subteks, super-objektif, dan tentang Imajinasi.

Panggung kedua: kerja emosi (emotion centre). Emosi (perasaan) di dalam karya seni harus diwujudkan secara cermat dan proporsional. Untuk itu, seorang seniman mebutuhkan metode, teknik, analisis, dan penguasaan data bagi karyanya. Semua itu adalah kerja pikiran. Jadi, bisa dibayangkan sebuah ekspresi seni yang tidak dilandasi kerja pikiran pada dasarnya bukanlah seni, ia hanya suatu ekspresi atau gejala kejiwaan belaka.

Pada bagian ini banyak menyajikan beberapa metode yang melandasi kerja aktor yang berpusat pada emosi (emotional centre). Harus dikatakan pembagian ini hanya bertujuan memilah wilayah kerja kreatif (internal) aktor. Dengan kata lain, dalam praktiknya semua bentuk kerja kreatif aktor baik yang berpusat pada pikiran, perasaan, maupun tubuhnya akan terjadi serempak dan saling melengkapi. Ada delapan metode penting yang dibahas dalam kerja emosi: ingatan emosi, konsentrasi, konsentrasi, communion, alur interaksi batin, adaptasi, rasa keyakinan dan kebenaran, alur yang tak terputus, situasi kreatif batin.

Panggung ketiga: menuju laku fisik. Aspek fisikal menjadi hal yang penting bagi sistem Stanislavski. Pada fase ini ia justru mengarahkan perhatiannya pada laku fisik aktor. Semua nilai spiritual dan batiniah yang sudah ditempa aktor dengan tanpa lelah tidak akan mungkin bisa dijelmakan ke dalam karakter yang diperankannya apabila aspek lahiriah (fisikal) aktor tidak memadai untuk mewadahi dan mengekspresikannya. Lima poin penting yang ditulis-jabarkan dalam panggung ketiga ini antara lain relaksasi, keliatan gerak, tempo ritme dalam gerak, wicara, menubuhkan tokoh.

Metode laku fisik juga menjadi poin yang sangat penting. Kenapa sangat penting? Karena merupakan tahap lanjutan, tahap eksekusi bagi tiga ranah kerja keaktoran ini: pikiran, emosi, dan aktivitas fisik. Untuk lebih jelasnya, bagaimana mengaplikasikan tiga ranah kerja keaktoran itu, ada baiknya para pelaku teater membeli dan membacanya sendiri. Pembagian ini saya rasa mempermudah, memperjelas kerja dalam setiap prosesnya.

Saya akan mengutip pengantar dari dua penulis buku ini, Iswadi Pratama dan Ari Pahala Hutabarat. "Mudah-mudahan dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang kami miliki, buku Pengantar Akting Berdasarkan Sistem Stanislavski ini bisa memiliki andil dalam mengurangi keserbasamaran pengetahuan dan keterampilan kita mengenai seni peran di Indonesia. Sekali lagi tentulah secara keilmuan buku ini masih banyak sekali mengandung kekurangan dan kelemahan. Karena itu, kami berharap semoga kekurangan dan kelemahan di buku ini akan memrovokasi sekian banyak ahli teater di Republik Indonesia tercinta untuk menuliskan dan menerbitkan pula gagasan-gagasan teater atau akting yang mereka (anggap) kuasai, sehingga teater di Indonesia tak hanya berkubang dalam budaya lisan atau gosip di ranah yang sesungguhnya layak didekati dengan ilmu dan bukan dengan prasangka."

Semoga, sekali lagi, buku ini mampu mengubah perspektif pelaku teater yang tadinya masih menganggap akting sebagai mitos—irasional, menjadi pelaku teater yang lebih rasional, bahwa teater juga bidang lain memiliki pengetahuan yang ada teorinya, bisa dikaji, diidentifikasi, dan jelas tolok ukurnya.

Alexander G.B., aktor, bergiat di Komunitas Berkat Yakin (Kober)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Februari 2014

No comments:

Post a Comment