February 23, 2014

[Lampung Tumbai] Tanah dan Air di Mata Infanteri Belanda

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


Wai Sekampung, 1935 (KITLV, Leiden)
ANEH juga rasanya membaca gambaran topografi negeri kita yang dibuat seseorang yang mengamatinya untuk kepentingan militer negerinya. Lingkungan alam yang biasanya dibayangkan sebagai kampung halaman dilihat sebagai lingkungan dengan pro dan kontra militaristik oleh para penjajah. Pastilah info yang dikumpulkan oleh F.G. Steck digunakan oleh KNIL untuk menentukan rute strategis militer ketika merangsek ke daerah Lampung, Palembang, dan Bengkulu.

Di antara bulan Desember sampai Februari, hujan tak henti-henti turun. Segala sungai membengkak dengan air dan daerah-daerah di pantai timur Lampung tenggelam sampai bulan Maret. Daerah di sebelah barat Umbul Mesuji, Menggala, dan Asahan sampai ke muara Sungai Penengahan merupakan tanah aluvial yang menjadi pasir di pinggir laut.


Di kaki-kaki bukit, terdapat tanah datar dengan sungai-sungai dengan pinggiran yang terjal. Daerah sekitar aliran Sungai Tulangbawang banjir dan tergenang di musim hujan. Daerah itu seolah-olah menjadi danau-danau luas yang hanya bisa dilalui dengan rakit atau perahu. Di luar musim hujan, ada jalan-jalan setapak di daerah itu walau sulit dilalui. Tanpa pemandu jalan yang baik, jalan-jalan itu sukar ditelusuri.

Menurut F.G. Steck, daerah yang berada di sebelah timur garis antara Umbul Mesuji sampai Asahan sama sekali tidak cocok untuk melakukan operasi-operasi militer. Daerah itu dataran rendah dengan ketinggian di bawah permukaan laut sehingga sering terendam sampai jauh ke pedalaman. Rawa-rawa yang terbentang itu dianggap Steck sebagai sumber penyakit yang tidak dapat diatasi oleh pasukan dan anak buahnya.

Hampir tak ada pemukiman penduduk di daerah ini. Lalu lintas dilakukan dengan perahu di atas sungai. Hanya ada satu jalan setapak dari Menggala menuju Kampung Dinte di tepi kanan Sungai Tulangbawang. Di tempat ini, sebuah pebukitan terbentang sampai ke laut. Pebukitan itu berakhir di Gunung Tanahabang.

Daerah yang terdapat di antara Way Seputih dan Pengadungan lebih tinggi. Daerah itu menjadi berbukit-bukit di dekat Surabaya Ilir, tak jauh dari tempat menyatunya kedua sungai itu. Bukit Imbong terdapat di daerah ini, di antara Way Surup dan laut.

Daerah pebukitan Lampung subur. Akan tetapi, karena sungai-sungai terdapat di antara dinding-dinding yang terjal, tanah yang subur itu hanya diairi oleh hujan. Karena itu, sawah hanya ditemukan di beberapa tempat, di perbukitan itu dan di daerah pantai Lampung dan Teluk Semaka. Di bawah lapisan tanah yang subur itu terdapat tanah liat bercampur pasir yang menyulitkan baris-berbaris. Di tempat-tempat yang lebih tinggi, tanah liat itu bercampur dengan bebatuan.

Laut adalah satu-satunya jalan menuju Lampung dari Pulau Jawa. Di sebelah selatan Lampung, terdapat dua buah teluk yang hampir sama besarnya, yaitu Teluk Semaka (atau Keizersbaai kata orang Belanda) dan Teluk Lampung (yang disebut Telokbaai padahal ‘baai’ dalam bahasa Belanda adalah ‘teluk’ dalam bahasa Indonesia).

Pantai di Teluk Semaka berbatu-batu terjal. Tak banyak tempat yang baik untuk melempar sauh. Di dekat daerah ini, terdapat Teluk Kelumbayan yang lebih kecil. Kapal-kapal yang agak kecil dapat berlabuh di teluk yang berair tenang ini. Teluk Kiluan, Bornei, dan Tampang juga cocok untuk kapal-kapal yang tidak terlalu besar. 

Pantai Teluk Lampung berbeda sama sekali. Pantai itu datar dan mudah didekati kapal-kapal besar maupun kecil. Teluk-teluk kecil yang tenang untuk berlabuh teramat banyak. F.G. Steck mencatat nama setiap teluk dan kemungkinannya sebagai tempat kapal berlabuh: Teluk Lada hanya dapat cocok untuk perahu; Teluk Pedada dan Pundo aman untuk berlabuh bahkan untuk kapal besar; Dermaga Palubu atau Sikepel hanya cocok untuk perahu kecil. Teluk Lagundi atau Teluk Patapan yang terdapat di Pulau Lagundi dan terlindungi oleh pulau itu cocok sebagai tempat berlabuh.

Sebetulnya hampir seluruh bentangan pantai timur Lampung sangat datar dan rendah. Air pasang dari laut masuk sampai jauh ke darat. Hampir seluruh pantai itu berlumpur, terutama di muara sungai-sungai. Mulai dari Kampung Sumur sampai Muara Mesuji, pantai itu tidak dapat didekati. Akan tetapi, perairan yang terdapat persis di depan Kampung Sumur sangat baik untuk tempat kapal besar membuang sauh.

Membaca tulisan F.G. Steck sambil melihat foto-foto pantai dan teluk yang disebutkannya membuatku terpana. Decak kekaguman melihat keindahan pantai, teluk, dan ombak yang berdebur tanpa henti adalah reaksi pertama seorang awam. Namun, biru atau hijaunya laut hanya menunjukkan kedalamannya untuk seorang infanteris seperti Steck.

Pulau-pulau yang tersebar di tiga sisi Lampung didaftarkan satu-satu oleh lelaki Belanda itu. Pun di sini, dicatatnya kelebihan dan keuntungan masing-masing pulau dan perairan di sekitarnya untuk tempat bersembunyi dan berlabuh berlabuh kapal-kapal Belanda dan sebagai tempat untuk melengkapi kebutuhan makan-minum sehari-hari awak kapal.
Di Teluk Semaka, ada Pulau Labuan, Ayu, Tongkali, Tujuh; di Teluk Lampung, ada Pulau Balak, Tengah, dan Kecil; di Teluk Pedada, ada Pulau Kelapa, Setengah, Kadogan, Kalagian, Mahitam, Tegal, Lahu, Tambikel, Kubur, Pomogotan, Pasarang, Condong Tinggi, Mengkudu, Palubu, dan banyak lagi, termasuk Krakatau. Tidak semua nama pulau-pulau itu kutemukan lagi di daftar pulau-pulau di Lampung.

Sebagian besar pulau-pulau itu berbukit-bukit vulkanis dan ditumbuhi oleh belantara yang rindang. Di hampir semua pulau itu terdapat lahan-lahan pertanian yang terutama ditanami dengan lada, kapas, dan kelapa. Walaupun demikian, tak banyak penduduk yang tinggal menetap di pulau-pulau itu. Petani-petani yang memiliki lahan-lahan pertanian itu biasanya tinggal di daerah pantai yang berdekatan dengan pulau tadi. Mereka hanya datang pada waktu menyemai dan memanen hasil. Pada waktu itu, mereka menginap di pulau, di pondokan-pondokan sementara yang segera ditinggalkan lagi bila pekerjaan itu selesai.

Konon, dahulu kala sebagian pulau-pulau itu menjadi sarang para perompak, terutama Pulau Lagundi dan Zutphense Eilanden (pulau-pulau Zutphen. Entah apa nama Indonesia gugusan pulau-pulau ini). Ketika F.G. Steck mempersiapkan laporannya, tak ada lagi kabar mengenai para perompak itu.

Di antara orang Lampung, beberapa pulau seperti Pulau Sebesi, Kalagian, Kadogan, dan Labuan dianggap sebagai tempat yang berudara sehat. Ke sanalah mereka mengungsi bila dusun-dusun mereka terkena epidemi penyakit tertentu. Sebaliknya, pulau-pulau yang lain, seperti Krakatau dan Sebuku, dihindari.

Konon, orang yang tinggal lebih dari dua minggu di pulau-pulau itu akan terserang demam tinggi. Mungkinkah banyak nyamuk malaria di sana? Walahuallam. Yang jelas, penyakit malaria baru dikenal puluhan tahun setelah F.G. Steck meninggalkan Lampung. Nama jelek kedua pulau itu membuat orang Lampung menggunakannya sebagai tempat pembuangan dan pengucilan. n

Acuan pustaka:
F.G. Steck (Kapten Infanteri). Topographische en Geographische Beschrijving des Lampongsche Distrikten.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Februari 2014

No comments:

Post a Comment