February 11, 2014

Panggung Sastrawan Lampung

Oleh Vina Aktavia

SABTU (1/2) malam lalu, suasana gedung Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung tampak ramai. Tempat yang biasa menjadi lokasi berkumpul aktivis dari berbagai organisasi di kampus itu mendapat kunjungan beberapa sastrawan dan para pencinta sastra. Malam itu, Dewan Kesenian Lampung (DKL) bekerja sama dengan Unit Kegiatan mahasiswa Budaya dan Senin (UKMBS) Universitas Lampung mengadakan pertunjukan musik dan puisi.

Penyair Panji Utama membacakan sajaknya dalam Silaturahmi dan Panggung
Sastrawan Lampung II yang diadakan Dewan Kesenian Lampung (DKL)
bekerja sama dengan Unit Kegiatan Mahasiswa Budaya dan Seni (UKMBS)
Universitas Lampung di Universitas Lampung, Sabtu (1/2) malam.
Penonton duduk di atas karpet di dalam ruangan. Pertunjukan dibuka dengan penampilan enam mahasiswa membawakan lagu tradisional lampung.

Lima pemuda memainkan gitar dan gendang.  Sementara satu-satunya perempuan menjadi vokalisnya. Lagu berjudul "Muli Tuah" dan "Sebik Hati" mengalun, memikat hadirin.

Di panggung, secara bergantian beberapa sastrawan lampung membacakan puisi. Sementara Yuli Nugrahani, sastrawan perempuan, memilih membaca cerpen. Semua karya yang dibawakan dalam pertunjukan tersebut diambil dari buku antologi Hilang Silsilah karya sastrawan Lampung dari berbagai lintas generasi yang diterbitkan tahun 2013.

Puisi yang dibacakan berbicara tentang banyak hal, mulai soal kemanusiaan sampai urusan birokrasi pemerintah yang berbelit-belit. Namun sang penyair membungkus kisahnya dengan kata-kata yang apik. Tak ketinggalan, puisi dalam bahasa Lampung ikut mewarnai khazanah sastra tersebut.

Berbaring dan Tengkurap

Panji Utama, sastrawan senior, punya cara unik dalam membacakan puisi. Malam itu, dia membacakan puisi antara lain dengan posisi tubuh berbaring tengkurap di atas lantai.

Panji juga membaca puisi dengan posisi santai, bak orang sedang membaca komik di atas kasur. Tetapi intonasinya tetap memikat, menyatu dengan jiwa puisi yang dia lantunkan.

Sastrawan lain, Jimmy Maruli Alvian, berkisah tentang birokrasi yang berbelit-belit. Puisi itu lahir saat dia harus menunggu di ruang pelayanan demi selembar akta kelahiran. Di kantor pelayanan administrasi kependudukan itu, Jimmy menuangkan protesnya dalam bentuk puisi.

Dia mengkritisi kinerja petugas yang mengurusi akta kelahiran bagi warga. Waktu menunggu yang lama sampai kesalahan nama yang sering terjadi, dia gambarkan dalam puisi berjudul "Pencatat Akte Kelahiran". Lelaki itu begitu ekspresif membacakan tiga puisinya.

Di sela-sela pertunjukan, seorang sastrawan Lampung, Udo Z Karzi, membacakan puisi dalam bahasa Lampung. Lelaki yang berprofesi sebagai wartawan salah satu media lokal di Lampung ini memang banyak menulis puisi dan cerpen dalam bahasa Lampung.

Udo banyak menggelar diskusi mengenai sastra Lampung. Mantan aktivis pers mahasiswa itu ingin sastra Lampung lebih dikenal secara luas.

Seusai pembacaan puisi, acara dilanjutkan dengan diskusi mengenai sastra Lampung, Ketua DKL, Ari Pahala Hutabarat, menjadi moderator, dengan pembicara sastrawan Ahmad Yulden Erwin.

Bincang-bincang yang berlangsung sekitar satu setengah jam itu, membahas perkembangan sastra di Lampung. Menurut Erwin, sastra Lampung harus lebih gencar dipromosikan. Dia berharap acara bagi para sastrawanm Lampung seperti malam itu lebih sering digelar.

Menurut dia, sastrawan memerlukan lebih banyak panggung untuk membacakan karyanya. Lelaki yang juga aktivis Komite Anti Korupsi tersebut, menilai acara itu sekaligus menjadi panggung silaturahim para sastrawan.

Lebih lanjut Erwin meminta agar sastrawan lebih banyak berkenalan dengan berbagai media. Alasannya, media mempunyai peran penting mempromosikan karya para sastrawan.

Dengan saling mengenal, minimal sastrawan dapat lebih mudah menghubungi media jika menggelar acara. Dengan begitu, karya sastra Lampung akan lebih banyak dimuat. "Perlu juga kita menerapkan politik sastra," ujarnya. n

Vina Aktavia, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

Sumber: Kampus, Kompas, Selasa, 11 Februari 2014

No comments:

Post a Comment