October 12, 2014

[Lampung Tumbai] Mahanay dan Moeli

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


DALAM semua kasus pertikaian, kesaksian dari dua orang yang dianggap dapat dipercaya dianggap cukup untuk membuktikan kebenaran. Perempuan dan budak tidak diperbolehkan memberikan kesaksian, kecuali bila mereka berani bersumpah. Sumpah itu dilakukan di atas Alquran, di bawah bimbingan seorang ulama atau di kuburan seorang tetua atau kepala adat buai itu.

Gadis-gadis di Metro, 1932. (KITLV-Leiden)
Jika orang yang menuntut tidak mempunyai saksi, kebenaran atau kesalahan pihak lainnya dibuktikan dengan bantuan para dewa atau arwah nenek moyang. Ada empat cara pembuktian kesalahan. Dua di antaranya adalah dengan menggunakan api. Cara ini tidak diuraikan lebih lanjut oleh JHT.


Cara yang ketiga disebut balooi. Dalam cara ini, sepotong kayu yang bagian dalamnya dikeruk seperti kentungan digulingkan di tanah. Di tanah ditarik garis yang memintas bagian tengah ketungan itu. Paruh yang satu adalah bagian si penuntut; paruh lainnya adalah bagian si terdakwa. Seekor ayam jago diletakkan di atas ketungan itu. Setelah mantera-mantera tertentu diucapkan, leher ayam jago itu dipotong di atas kentongan. Tentunya ayam itu berlari-lari ke sana-ke mari setelah lehernya disembelih. Tempat ayam itu kemudian tergeletak mati dianggap sebagai penunjuk pihak yang kalah atau bersalah.

Cara yang keempat disebut hoekom selim. Dalam cara ini, disediakan dua potong bambu. Pada bambu yang satu dituliskan: bersalah. Pada bambu yang lain dituliskan: tidak bersalah. Setelah mantera-mantera tertentu diucapkan, masing-masing potongan bambu dibungkus dengan kain putih sehingga keduanya tak dapat dibedakan satu sama lainnya. Dua orang pemuda kemudian duduk di dalam bagian sungai yang terdalam. Kedua potong bambu yang terbungkus tadi dilemparkan bersamaan ke dalam air.

Masing-masing pemuda berusaha menangkap salah satu bungkusan bambu; lalu, tanpa mengetahui tulisan yang tertera di atas bambu di tangan, keduanya menyelam ke dalam sungai. Tulisan di bambu yang dipegang oleh pemuda yang pertama muncul lagi di permukaan air diteliti. Bila tertera tulisan: tidak bersalah—si terdakwa dibebaskan dari segala tuduhan dan ia berhak menerima tanda ganti rugi.

JHT selanjutnya menggambarkan adat perkawinan di Lampung. Gadis-gadis Lampung dijaga dengan ketat. Sedapat mungkin, mereka tidak dibiarkan berlama-lama di sekitar para pemuda. Di setiap daerah, terdapat tempat-tempat berkumpul para remaja, baik lelaki maupun perempuan. Para pemuda juga mendatangi rumah gadis(-gadis) incarannya. Para pemuda mengungkapkan niatnya dengan melantunkan pantun-pantun yang dijawab oleh para gadis. Malam percintaan itu dilalui dengan berpantun, mengunyah sirih, dan merokok. Di Lampung, rokok itu dibuat dengan melinting tembakau di dalam daun-daun nipah. Rokok-rokok seperti ini juga diisap oleh perempuan Lampung.

Setiap dusun memiliki balidana, yaitu bangunan besar dengan empat sisi yang terbuka. Bangunan itu berfungsi sebagai tempat pertemuan, tempat musyawarah, dan pengadilan untuk melakukan penyelesaian pertikaian. Pada waktu-waktu tertentu, dalam pesta-pesta besar, para gadis—yang sudah berdandan cantik—dijemput oleh iring-iringan gong dan gendang dan diantarkan ke balidana. Penjemputan gadis-gadis itu dilakukan sesuai urutan kedudukan sosialnya.
Para pemuda pun berdandan. Mereka mengenakan pakaian paling bagus—yang dimiliki sendiri atau dipinjam dari orang lain. Mereka mengenakan juga cincin di jari, hiasan telinga, gelang kaki dan lengan, serta semacam mahkota yang terbuat dari lempengan-lempengan keemasan yang tipis. Mahkota itu dikenakan oleh lelaki maupun perempuan. Para gadis juga mengenakan kalung-kalung uang koin yang bagian tengahnya dilubangi.

Baik lelaki maupun perempuan mengenakan kain-kain sutera. Para gadis melengkapi pakaiannya dengan selendang-selendang yang digantungkan elegan di bahu dan leher. Kain dan selendang—yang terutama dibuat di Palembang—ditenun dengan benang-benang emas.

Para gadis duduk berjajar berdampingan. Mereka duduk berhadap-hadapan dengan jajaran para pemuda. Setiap gadis didudukkan berhadapan dengan seorang pemuda yang dianggap berkedudukan sosial yang setara dengannya. Gadis-gadis dan bujang-bujang itu dipisahkan oleh sebilah rotan yang dipasangkan kira-kira setengah meter di atas tanah.

Nah, pada waktu itu, remaja-remaja lalu berpantun, bernyanyi, mengunyah sirih, dan merokok. Seorang gadis menunjukkan tanda pertemanan (dan minat) dengan menyalakan sebatang rokok di api lampu (di atas bilah pemisah rotan tadi) dan memberikannya kepada seorang pemuda pilihannya.

Seorang pemuda yang duduk di ujung ruangan itu dianggap sebagai penuntun berpantun. Sesekali ia sendiri melantunkan sebuah pantun, yang terkadang ikut dilantunkan oleh semua yang hadir—sebagai refrein lagu. Pantun para pemuda itu dijawab dan dibalas oleh gadis (penuntut pantun para gadis) yang duduk berhadapan dengan pemuda pertama tadi.

Terkadang, dalam pertemuan itu, hadir juga beberapa orang lelaki yang sudah menikah. Namun, mereka biasanya tidak ikut berpantun dan tidak ikut bercengkerama dengan para mahanay dan moeli. n

Acuan Kepustakaan:
JHT Nederlandsche Hermes: Tijdschrift voor Koophandel, Zeevaart, Nijverheid, Wetenschap en Kunst  No. 7, 1830 (Amsterdam: M. Westerman).

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment