October 20, 2014

Tesis Berbahasa Lampung?

Oleh Munaris


TABIK pun.

Ingat malam pertama? Bingung. Deg-degan. Nano-nano-lah yang dipikirkan. Ini, itu, bisa jadi inu. Begitulah kalau mau memulai sesuai yang baru. Hal yang dipaparkan pada tulisan ini juga nano-nano karena juga mengenai sesuatu yang baru. Bagaimana tidak, dalam tulisan ini dibahas mengenai tesis (karya ilmiah untuk S-2) yang ditulis dengan bahasa Lampung.

Pernahkah Anda membaca tesis berbahasa Lampung? Jawaban Anda tentu bisa Anda pahami. Sekalipun menugasi Hatim (tokoh utama The Adventure of Hatim), tidak akan menemukan tesis berbahasa Lampung di kolong langit ini. Namun, dua tahun lagi, kalau ada ibu mengidam nimang tesis berbahasa Lampung, kemungkinan bisa tertunaikan.


Isu mengenai tesis berbahasa Lampung mencuat karena FKIP Unila menerima mandat Dirjen Dikti Kemendikbud No. 441/E.E2/DT/2014, 19 Mei 2014, untuk menyelenggarakan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah (Lampung, pen.). Salah satu konsekuensi yang perlu dipertimbangkan adalah bahasa apakah yang akan digunakan dalam tesis mahasiswa tersebut? Perbedaan pendapat terjadi. Ada yang menginginkan tesis ditulis dengan bahasa Lampung, bahasa Indonesia, dan ada yang menginginkan bagian-bagian tertentu saja. Ketika dilontarkan penggunaan aksara Lampung untuk tesis, ada yang berteriak, “Terlalu ekstrem!” Keinginan dan reaksi tersebut wajar dan biasa-biasa saja.

Bahasa Lampung layak menjadi bahasa tesis. Bukankah masyarakat Lampung menginginkan bahasa ini lestari dan berkembang? Rusmiati via Surat Pembaca (Lampost, 9 Oktober 2014) mengajak mari lestarikan bahasa Lampung. Pasti banyak sebenarnya yang berpikir seperti ibu guru di Ambarawa ini. Ayo kita wujudkan ajakan itu. Apa sulitnya, sih. Di sini hanyalah perlu kesadaran dan komitmen dari masyarakat Lampung untuk berbahasa Lampung. Tentu terbentuknya Tim Perencana Kongres Bahasa Lampung (Lampost, 15 Oktober 2014) buah kesadaran dan komitmen tersebut. Apakah cukup hanya dengan ajakan dan kongres?

Bahasa yang hidup adalah bahasa yang digunakan. Jadi, bahasa Lampung digunakan, bahasa Lampung hidup. Paling dasar penutur asli bahasa Lampung harus tetap berbahasa Lampung.

Nah, kembali ke masalah tesis. Bahasa Lampung berpeluang besar menjadi bahasa tesis mahasiswa MPBSD. Pertama, keberadaan bahasa Lampung sebagai bahasa daerah dijamin UUD 1945, yaitu negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Kedua, bahasa daerah menjadi bahasa karya ilmiah ditegaskan dalam UU No. 24 Tahun 2009 melalui Pasal 36, Ayat (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia. Ayat (2) Penulisan dan publikasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) untuk tujuan atau bidang kajian khusus dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing.

Meskipun demikian, memang tidak bisa dinafikan bahwa masih banyak permasalahan: dialek A atau O atau O atau A atau kedua-duanya, bahasa baku, ejaan, istilah, dan aksara bagaimana? Dalam konteks tersebut, Tim Perencana Kongres Bahasa Lampung (baca Kongres Bahasa Lampung, akan dihelat Februari 2015), enak diapresiasi dan perlu.

Namun, jangan sampai hanya berkutat pada hal-hal tersebut yang tidak berujung, kasihan si ibu ngidam. Sebaiknya, mahasiswa disilakan memilih dialek A atau O. Mahasiswa MPBSD memang bisa berbahasa Lampung, bagaimana dengan pembimbing? Tidak perlu terlalu risau, bukankah kita punya X yang bisa mengatasi hal tersebut? Sementara sebelum naik cetak, tesis mahasiswa perlu dibaca pihak yang bisa memberi justifikasi layak-tidaknya bahasa Lampung dalam tesis mahasiswa. Yang ingin ditegaskan adalah Yuk, Bu Rusmiati, kita mulai!

Paling tidak, ada tiga skema untuk tesis berbahasa Lampung. Pertama, berbahasa Lampung dan ditulis dengan aksara Lampung (sudah ada aksara digital k g G). Kedua, berbahasa Lampung dan ditulis dengan aksara Latin. Ketiga, berbahasa Indonesia dan ditulis dengan aksara Latin. Jika pilihan pertama yang dipilih, kita telah mengembangkan bahasa Lampung sebagai bahasa ilmiah dan juga memberikan arena penggunaan aksara ka ga nga. Bukankah kita bangga? n

Munaris, Dosen FKIP Universitas Lampung


Sumber: Lampung Post, Senin, 20 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment