March 20, 2011

Pukau Kampung Semaka: Suara Lain dari Tanggamus

Oleh Iswadi Pratama


Vok Audita Perit Littera Scripta
(Suara yang didengar akan hilang, kalimat yang dituliskan akan tetap tinggal)

SAYA percaya puisi bisa lahir dari tangan siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan dengan niat apa saja. Ia bisa ditulis oleh seorang Mc Arthur, komandan tempur pasukan AS pada PD II, di tengah kecamuk perang dan diniatkan sebagai ungkapan rasa kemanusiaannya yang tercabik dalam perang juga sebagai nasihat bagi anaknya.

Puisi juga bisa ditulis oleh seorang pemimpin bangsa seperti Ayatullah Khamaeni dan merupakan buah dari permenungannya tentang kebangsaan dan kebajikan. Puisi juga bisa ditulis oleh seorang penyair seperti Chairil Anwar dan memberi api bagi perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonialisme;

Dalam konteks perkembangan sastra di Indonesia saat ini—jika kita ibaratkan puisi seperti tetumbuhan—maka puisi telah tumbuh di lahan bahkan yang bukan lahan di mana pun. Di tengah silang sengkarut pertarungan ide, gagasan, wacana, isu sosial, budaya, dan politik. Di antara deru dan bising jalanan yang berdebu dan di samudra spiritualisme.

Itulah mengapa, hingga saat ini kita masih sering bergetar dan terpesona pada sebuah atau sebait, atau selarik kalimat—misalnya dari puisi karya Chairil Anwar. Puisi bisa mengaktifkan kembali sensibilitas kita, imajinasi, ingatan, gagasan, perasaan, atau bahkan mengaktifkan kembali saraf-saraf pada jantung atau otak kita yang lama tertidur.

Dengan paparan yang semenjana saja di atas, saya hendak memaklumkan kepada pembaca tentang apa yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus melalui penyelenggaraan Batu Bedil Award 2010 dan menerbitkan sebuah antologi bertajuk Pukau Kampung Semaka. Ini adalah sebuah upaya yang sangat cerdas yang pernah dilakukan oleh sebuah kabupaten di Provinsi Lampung dalam memperkenalkan dan mengembangkan potensi pariwisata di daerahnya.

Saya katakan sangat cerdas karena dengan adanya event ini menunjukkan sebuah orientasi yang lain dalam konsep pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan. Selama ini, kita hanya mengenal bagaimana sebuah daerah mempromosikan dan mengembangkan potensi pariwisata di daerahnya dengan melulu berorientasi pada fisical arthefac (pendekatan pada pembangunan fisik semata). Sementara cultural arthefac, kurang mendapat perhatian—kecuali di daerah Jawa dan Bali.

Penulisan dan penerbitan buku puisi Pukau Kampung Semaka ini adalah produk intelektual sekaligus kultural yang sangat penting bukan saja untuk memperkenalkan keindahan alam dan pariwisata di Kabupaten Tanggamus. Lebih jauh dari itu, dengan kemahiran dan ketaksaan bahasa yang dimiliki para penyair yang karyanya termuat dalam antologi Pukau Kampung Semaka (selanjutnya saya singkat PKS) ini, kita tidak cuma diajak tamasya secara imajinatif ke lembah, gunung, laut, teluk, bukit, kebun lada, atau sawah. Tetapi juga disodori sejumlah ihwal yang pasti pernah, sedang, atau akan ada dalam ingatan seseorang tentang kampung halaman, tentang damai yang pernah singgah, cinta yang sempat merekah, rindu yang tak hendak kalah, hati yang kembali berdarah, atau sekadar angin mendesah, bukit-bukit yang pecah, rumah panggung yang rebah, desa kehilangan pesirah, atau ombak laut yang gelisah. Ah..

Dengan lembut Ahmad Musabbih melukiskan perasaan-perasaan semacam itu dalam sajaknya Menjaga Cinta di Teluk Kiluan: .....Di lubuk yang dijaga bukit-bukit/di teluk permohonan/tak ada yang dapat kucatat/juga kugambar/selain hati yang terus bergetar/berdebar oleh angin yang berpusar/dari hulu ke hilir/seperti sebelum kukulum bibir/yang rindu.

Jika keindahan alam membuat Ahmad Musabbih seperti kehabisan bahasa untuk mengungkapkannya, lebih dari sekadar ingatan tentang sesuatu yang indah, rasa kangen, atau keterpesonaan, sajak-sajak dalam antologi PKS ini acap membawa kita pada perasaan rawan. Seperti rasa sakit yang ingin segera disembuhkan, atau seperti rasa gundah dan kehilangan. Demikianlah Oky Sanjaya menulis dalam Pukau Kampung Semaka (sekaligus dijadikan judul antologi ini): Aku mulai melangkah/ingin membasuh muka/di sungai Semaka.//Dan air sungai berwarna cadas.

Ke-18 sajak dalam antologi ini seperti hendak memerikan pada kita betapa pesona dan pukau keindahan alam tidak semata-mata menjadi apa yang indah di mata (pancaindra), ia juga bergerak dari palung pikir dan rasa; yakni sebuah refleksi.

Puisi atau secara umum seni, memang hanya akan mungkin tumbuh dan berkembang dan diapresiasi dengan baik oleh masyarakatnya di sebuah tempat (peradaban) di mana nalar (akal sehat) mendapat mahkotanya sendiri. Lalu pada abad di mana industri dan pragmatisme telah menjadi darah masyarakat, hari ini kita masih bisa lega karena di Kabupaten Tanggamus ini, puisi masih bergema.

Melalui penerbitan antologi PKS ini, ketika hari-hari yang kita lewati kian terasa boyak karena nalar dan akal sehat makin sering “bolos” dari kehidupan, kita masih bisa menemukan suara dari sebuah pikiran juga ingatan yang bersendiri dan acap ditinggalkan dalam laju pembangunan. Suara lain dari sebuah puisi, sebuah suara yang mampu menggetarkan kembali dawai jiwa kita yang penat dan lelah, yang suntuk dan penuh marah, yang bingung atau putus asa.

Melalui antologi ini pula Pemerintah Kabupaten Tanggamus, khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan lebih khusus lagi masyarakat Tanggamus, bukan saja telah memiliki sebuah produk budaya dan intelektual, melainkan juga sebuah oasis budaya.

Jika ditarik ke konteks yang lebih luas, antologi ini juga mengingatkan kita akan sesuatu yang mencemaskan; ihwal memudarnya fungsi-fungsi pemimpin adat yang sebelumnya memegang peranan amat penting dalam kehidupan sosial-religi masyarakat, masyarakat tradisional yang tercerabut dari akar-budayanya atau kehilangan sosok panutan-kulturalnya.

Ada juga sajak-sajak yang mencoba menghadapkan tradisi dan tema-tema globalisasi—meski tidak secara verbal. Tentang sebuah kampong atau lokus yang yang terus berkembang dari kota yang pasca-tradisional, modern, hingga post-modern. Apa yang lampau (tradisional) berbaur dengan apa yang paling mutakhir (kontemporer). Munculnya simbol-simbol budaya baru yang demikian beragam sementara simbol-simbol budaya lama juga berkukuh untuk hadir di antara segala kebaruan itu merupakan sebuah situasi di mana “makna” harus ditemukan kembali. Di mana segala sesuatu perlu diidentifikasi, di-redefenisi, atau ditafsirkan kembali agar manusia tidak tenggelam dalam segala bentuk perubahan yang berlangsung cepat.

Masyarakat modern yang hidup di pusat-pusat kota senantiasa disibukkan oleh "transaksi", hidup dalam kepungan benda-benda sehingga naluri untuk mengonsumsi senantiasa dipacu dan seolah menjadi satu-satunya cara untuk berbahagia. Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang telah kehilangan "jeda" untuk meng-heningkan diri; untuk ber-kontemplasi. "Masyarakat robot" yang telah kehilangan empati dan kemampuan untuk meraih makna-makna afektif dalam hidup. Masyarakat yang tidak mampu menentukan—secara bebas—makna hidupnya, tetapi dibentuk oleh sebuah desain besar bernama: kapitalisme.

Dalam konteks inilah, antologi Pukau Kampung Semaka yang merupakan kumpulan puisi terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus ini menemukan alasan untuk terus menerus dibaca dan dikaji. n

Iswadi Pratama
, penyair, Direktur Artistik Teater Satu Lampung.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Maret 2011

No comments:

Post a Comment