March 20, 2011

[Perjalanan] Sekelebat Festival Megou Pak

FESTIVAL Megou Pak kembali digelar di Menggala. Meskipun sudah yang ke-14, pergelaran budaya Tulangbawang itu tetap sebatas seremonial dan sesaat.

Melintas di jalintim Cakat Nyenyek, Menggala Timur, Rabu (16-3), suara gamelan tradisional membahana masuk telinga. Menengok ke kiri dari arah Menggala menuju Unit Dua, di jalan yang membelah rawa-rawa, terlihat kemeriahan pesta. Di lokasi yang ingin didedikasikan untuk wisata budaya itu sedang digelar acara Festival Megou Pak ke-14.

Akses masuk ke lokasi ini memang kurang menggambarkan aura pariwisata. Hanya gapura di jalan sempit dengan penunjuk arah di tengah perkampungan yang menjadi tanda. Ia kalah tenar dengan jembatan Way Tulangbawang atau tanjakan Cakat Nyenyek yang sering menelan korban kendaraan terbalik karena tidak sanggup menaiki tanjakan.

Luas lokasi itu tak terlalu lebih dari luas lapangan sepak bola. Beberapa bangunan etnik berupa rumah gadang, banjar Bali, rumah arsitektur Batak, dan miniatur candi mengelilingi lapangan.

Dari lokasi ini, pandangan mata memang bisa leluasa berkelana ke atas amparan ribuan hektare rawa-rawa Cakat Nyenyek. Lalu lintas jalintim dan Jembatan Tulangbawang menjadi aspek lain pemandangan.

Festival tahunan prakarsa Pemkab Tulangbawang itu digelar di lokasi itu, Rabu lalu. Sayang, ajang pariwisata ini hanya sekilas, sekelebatan seremonial dengan atraksi budaya. Selebihnya, sunyi lagi, senyap lagi. Padahal, berbagai pertunjukan yang sudah dipersiapkan itu cukup bagus. Namun, rakyat tidak sempat menikmati secara paripurna. Seolah mereka tampil hanya untuk menyambut tetamu yang hadir, bukan untuk tontonan rakyat sehingga masyarakat bisa ikut kebagian kebahagiaan.

Setelah para pejabat undur diri, tetabuhan dan atraksi budaya lainnya lerap, hening, dan hilang. Berikutnya, para seniman membusak make up, berganti pakaian, dan mengemas aneka gamelan ke kotaknya untuk diangkut truk. Karpet-karpet merah digulung, tenda diserimpung, dan Taman Wisata Cakat Raya sunyi kembali. Siang bersimpuh, lalu suara jangkrik menggantikan hiruk-pikuk.

Pada acara yang sekaligus memeriahkan HUT ke-14 Kabupaten Tulangbawang itu, Titin Sunarya hadir mewakili Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam sambutannya, Titin menyatakan Tulangbawang punya potensi pariwisata yang cukup bagus jika dikelola serius.

Meskipun selintas, Festival Megou Pak Tulangbawang yang sudah diselenggarakan ke-14 kali bukan sekadar ajang pariwisata. Ini merupakan suatu wadah para seniman untuk menampilkan aktivitasnya.

Sebab, seniman tidak akan berkreasi kalau tidak ada tempat dan tidak ada wadah untuk menampilkan hasil karyanya dan tidak ada yang menontonnya. “Jadi kalau bupati bikin festival setiap tahunnya seperti ini sangat tepat dan bagus,” kata Titin.

Soal potensi pariwisata, Titin menilik banyaknya rawa pasang surut yang cukup luas, adanya lahan tebing, adanya sungai Tulangbawang yang cukup bagus. Ini semua, kata dia, merupakan modal untuk mengembang-tumbuhkan pariwisata.

Untuk memiliki tempat parawisata yang bagus dan banyak dikunjungi orang, perlu kerja keras dan harus bias mengemas dan meracik. Hal ini merupakan faktor penentunya. Peran pemerintah daerah juga sangat dibutuhkan. “Ajak rekan-rekan dari industri pariwisata tingkat lokal maupun nasional. Harus ada yang menjualnya ke Jakarta atau orang-orang di provinsi ini yang mestinya diajak bekerja sama”.

Pembukaan Festival Megou Pak Tulangbawang ditandai dengan melepaskan balon dan puluhan burung merpati di lokasi Wisata Cakat Raya.

Berbagai acara digelar, antara lain lomba lagu Lampung dan makan seruit Lampung bersama.

Defile kebudayaan yang diikuti oleh 15 kecamatan juga digelar dengan aneka budaya dan jenis prosesi tradisional, antara lain mengarak pengantin Lampung, tradisi cukuran bayi, dan berbagai karya tari tradisional dan kreasi, dan lain-lain.

Bupati Tulangbawang Abdurrachman Sarbini mengatakan di lokasi wisata Cakat Raya telah dibangun rumah adat. Di antaranya rumah adat Jawa, Bali, Batak, Minangkabau, dan Bali.

“Tahun ini akan kembali dibangun tujuh rumah adat lagi. Yaitu, rumah adat Aceh, Ambon, Papua, Bugis, Palembang, dan lainnya. Juga akan dibangun kolam renang dan kereta luncur.” (GUNTUR TARUNA/M-1)

Sumber: Lampung Post
, Minggu, 20 Maret 2011

No comments:

Post a Comment