-- Teguh Prasetyo
PROVINSI Lampung kerap disebut oleh para penyair di Indonesia sebagai negerinya para penyair. Sebab, di daerah ini, sejak era 80-an lahir banyak penyair yang sudah mendobrak pentas nasional dengan karyanya. Bahkan, di era 90an akhir dan tahun 2000-an awal, mulai bermunculan para penyair muda yang notebene perempuan dari Lampung.
Fenomena ini tentu saja sangat menarik untuk menjadi perhatian. "Geliat dunia sastra di Lampung sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Saat itu eranya AM Zulkarnaen dan Isbedy Stiawan ZS. Kemudian disusul Iwan Nurdaya Djafar," kata Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka.
Setelah itu, di era awal tahun 1990-an, kata Syaiful muncul berbagai nama yang berasal dari kampus seperti Iswadi Pratama, AJ Erwin, Panji Juperta Utama. "Kemudian masa mereka dilanjutkan dengan kemunculan Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga. Lalu terdapat Lupita Lukman, Anton Kurniawan, Hendri Rosevelt, hingga yang terbaru adalah Fitri Yani."
Penyair Ari Pahala Hutabarat menilai penyair-penyair yang baru, bisa dikatakannya yang paling menonjol karyanya dibandingkan dengan para penyair muda Lampung lainnya yang saat ini mulai bermunculan adalah Lupita Lukman, Anton Kurniawan, dan Hendri Rosevelt. "Ketiganya merupakan penyair muda yang paling berbakat. Ini bisa dilihat dari kuantitas karyanya yang bisa dilihat di berbagai koran daerah dan nasional secara kontinyu. Sehingga menyebutnya sebagai trisula penyair muda."
Selain dari segi kuantitas karya yang banyak tersebar, menurut Ari, karya ketiga penyair muda ini bisa dikatakan sangat berkualitas. "Sebab memang dalam melakukan pemilihan penyair muda yang bisa dimasukan dalam trisula penyair muda, kami juga mempertimbangkan kualitas karya yang dihasilkan. Jadi tidak semata-mata kuantitasnya yang banyak menyebar di berbagai media," katanya.
Namun memang kemunculan penyair perempuan asal Lampung di pentas nasional tidaklah lepas dari seorang Inggit Putria Marga. Cerpenis, M.Arman AZ, mengemukakan bahwa Inggit merupakan pioner penyair perempuan di Lampung dikancah dunia sastra nasional. "Karena dengan Inggit akhirnya sekarang ini mulai bermunculan penyair-penyair perempuan Lampung yang karyanya dimuat di media nasional dan mampu berbicara di pentas bertaraf nasional hingga internasional."
Bahkan, penyair yang juga seorang jurnalis, Oyos Saroso mengatakan, Inggit bisa dikatakan sebagai penyair perempuan yang berkarakter kuat di Indonesia. "Pada akhir 90-an dan awal 2000-an, banyak pembuat puisi perempuan yang tidak kuat. Paling tercatat Dorothea, dan dia pun menurut saya mengembangkan puisi Sapardi. Dan, Inggit termasuk yang kuat."
Menurut dia, awal berkaryanya, Inggit melahirkan puisi-puisi yang pendek-pendek saja. "Namun akhirnya entah ikut trend atau tidak, akhirnya mulai menulis puisi panjang. Tapi kelebihan Inggit, dia sama sekali tidak kedodoran atau menjadikan puisinya menjadi seperti prosa yang saat ini banyak bermunculan di media massa. Makanya saya melihat bahwa Inggit sudah memiliki pola tersendiri yang sangat Inggit," ujarnya.
Bahkan, Oyos berani mengatakan bahwa untuk penyair seangkatan Inggit, dia adalah yang terbaik. "Inggit sudah memiliki pola ucap tersendiri, kuat, dan berdasarkan penilaian subyektifnya, saya sangat mudah untuk menikmati puisi karyanya. Menjadi pertanyaan bisakah dia memiliki nafas panjang setelah menikah dan menyelesaikan urusan dosmetiknya?"
Selain itu juga, Oyos mengatakan bahwa karya Inggit memang layak dibicarakan. Karena selain tipografi puisinya yang cantik, juga sebagai penyair perempuan, dia telah memberikan warna lain bagi peta perpuisian Indonesia, meski pada awalnya masih samar terhalang pendahulunya namun kemudian sudah menancap jelas. Malahan dikemukakan dia, Inggit termasuk penyair Indonesia yang masih memperhatikan semantik dan gramatika.
Kultur Kepenyairan Lampung
Syaiful Irba Tanpaka mengatakan, maraknya dunia kepenyairan di Lampung ini disebabkan kultur kepenyairan yang sangat bagus yang terbangun di Lampung. "Ini tidak lain dikarenakan adanya penyair yang ditokohkan, yakni Isbedy Stiawan ZS yang hingga saat ini masih terus melahirkan karyanya. Kondisi ini memberikan motivasi tersendiri bagi para penyair untuk bisa mengejarnya."
Kondisi ini sangat berbeda di era Syaiful. "Dulu ketika di masa saya, yang menjadi patron atu panutan adalah mereka penyair asal luar daerah. Kami waktu itu hanya berpatron para penyair luar yang karyanya dimuat di media massa nasional," kata Syaiful.
Bahkan, dia mengatakan bahwa keadaan tersebut bisa ditemui di Padang. "Di sana culture kepenyairannya sudah sangat berkembang dikarenakan memang banyak sekali terdapat penyair yang menjadi tokoh karena sudah banyak bermunculan di pentas nasional. Makanya, dimana ada tokoh yang sudah bertaraf nasional, bahkan internasional, bisa dipastikan akan tumbuh subur dunia kepenyairannya."
Hal itupun dibenarkan Inggit Putria Marga. Peraih penghargaan puisi terbaik Menteri Kebudayaan dan Pariwisata 2006 serta juara pertama Karya Cipta Puisi Peksiminas tahun 2004 dan juara kedua puisi Krakatau Award 2004 ini mengatakan bahwa proses kreatif dalam menulis puisi diawali sejak tahun 2000.
"Ketika itu saya mengikuti workshop penulisan puisi di UKMBS yang menghadirkan empat pembicara Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan ZS, Ahmad Yulden Erwin, dan Ari Pahala Hutabarat. Di situlah saya mulai bersentuhan dengan puisi. Karya pertama saya langsung dimuat di Harian Umum Lampung Post."
Dia mengatakan, keempat penyair itulah yang kemudian menjadi salah satu 'semangat' untuk melahirkan karya-karya puisinya. Setelah itu, begitu banyak karya puisinya yang menghampar bebas di berbagai media massa, baik nasional maupun daerah seperti Kompas, Media Indoensia, Koran Tempo, Horizon, Republika, dan Pikiran Rakyat. Ditambah lagi dengan termuatnya puisi karyanya dalam berbagai buku antologi puisi seperti Living Together (TUK, Jakarta), Gerimis Dalam Lain Versi" (DKL), Konser Ujung Pulau (DKL), Gemilang Pesona Musim, Narasi dari Pesisir (DKL), Surat Putih 2 (Risalah Badai, Jakarta), dan 142 Penyair Menuju Bulan (Banjarmasin).
Pengalaman yang sama juga dialami oleh penyair Jimmy Maruli Alfian yang saat ini sedang sibuk menggarap buku kumpulan puisinya, Mata Maya. Dia mengatakan bahwa karya yang kali dipublikasikan di media massa darinya ternyata bukan karya puisi. "Saya kali pertama membuat tulisan yang diperuntukkan bagi publik adalah resensi buku Cerpen Sutarji Calzoum Bachri, "Hujan Menulis Ayat". Begitu juga dengan tulisan esai mengenai Chairil Anwar dan Bung Karno. Ketika itu saya mulai banyak diberi bimbingan oleh Isbedy Stiawan ZS."
Jimmy mengakui bahwa dirinya mulai bersentuhan dengan dunia seni ketika memasuki dunia kampus dan aktif dalam UKMBS Unila. "Saya mulai melakukan aktivitas berkesenian ketika kali pertama memasuki kampus kuliah. Karena ketika itu saya mulai aktif dalam kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila. Bahkan, ketika itu saya kerap dibilang teman saya bahwa saya berkuliah di UKMBS. Tapi, ekstrakurikulernya saya di Fakultas Hukum Unila," kata Jimmy.
Namun ketika awal bersentuhan dengan dunia seni tersebut, Jimmy mengatakan kalau dirinya lebih awal bersentuhan dengan dunia teater. "Barulah kemudian setelah berinteraksi dengan banyak banyak teman-teman seperti Ari Pahala Hutabarat, Inggit Putria Marga, Muhammad Yunus, dan lainnya, saya mulai bersentuhan dengan dunia sastra," ujarnya.
Di samping itu, membangun culture kepenyairan juga bisa dilakukan dengan melakukan roadshow ke kampus dan sekolah-sekolah. Salah satunya yang dilakukan Syaiful Irba Tanpaka yang memperkenalkan buku terbarunya yang berjudul "Karena Bola Matamu" yang diterbitkan Bukupop Jakarta. Pada kegiatannya ini, Syaiful tidak hanya menghadirkan para pelajar yang membacakan puisi karyanya, tetapi juga menghadirkan para penyair Lampung lainnya untuk membedah puisi karyanya itu.
Roadshow-nya dilakukan di 15 sekolah, yakni diawali dari SMA di Bandar Lampung, antara lain SMA Taman Siswa, SMAN 11, SMAN 3, SMAN 10, dan SMA Perintis. Kemudian SMAN 1 Gadingrejo, Tanggamus, SMAN 1 Gunungsugih (Lampung Tengah), SMAN 1 Menggala (Tulangbawang), SMAN 2 Kalianda (Lampung Selatan), dan SMAN 3 Kotabumi, Lampung Utara. Lalu STKIP Muhammadiyah Kotabumi, Universitas Muhammadiyah Metro, Perguruan Tinggi Teknokrat, STMIK Darmajaya, dan IAIN Raden Intan, Bandar Lampung.
Kegiatan ini, menurut penyair Lampung Y. Wibowo memiliki arti penting karena sangat mencerdaskan dan bisa memberikan ruang yang lebih kepada pelajar untuk mengenal dunia kesusastraan terutama puisi.
Mungkin, apa yang dikatakan Goenawan Mohamad di bawah ini, bagi masyarakat awam hanyalah sebatas kalimat lalu saja. Namun ternyata bagi mereka yang menjadi penyair, bisa jadi kalimat ini bisa menjadi semacam motivator untuk terus berbuat dan berkarya dalam kerja-kerja kreatifnya guna melahirkan karya sebagai sebuah perwujudan eksistensi kepenyairannya. Boleh dikatakan, dengan puisi dan karya, penyair Lampung ingin menunjukkan kalau Lampung itu ada.
"Puisi merupakan tempat serta upaya untuk membuat sesuatu yang tampak sia-sia menjadi berharga," kata Goenawan.
Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 Desember 2007
No comments:
Post a Comment