December 23, 2007

Apresiasi: Iseng Menjual Rindu dari Tokyo

Ada perasaan tidak percaya, takjub, ataupun bingung ketika Menara Lampung Production meluncurkan film televisi bertajuk "Rindu tak Hilang di Tokyo", di Pemprov Lampung, Senin (17-12). Sebab ide awal munculnya film ini adalah dari pemikiran iseng seorang Syaiful Irba Tanpaka.

Sepulangnya dari Jepang, dalam perbincangan kecil, Syaiful mengemukakan bahwa dirinya berencana membuat film dari hasil oleh-olehnya saat melakukan perjalanan misi budaya ke Jepang. "Saya pikir kapan lagi kita bisa mengambil setting di Tokyo kalau tidak sekarang ini. Sebab kalau tidak begini, biaya yang akan digunakan akan sangat mahal."

Untuk itulah, Ketua Harian DKL tersebut mencoba mengambil gambar berbagai sudut Kota Tokyo serta mencoba mencuri gambar beberapa adegan film yang di Tokyo. "Saya seketika itu saja muncul ide untuk membuat film ini. Makanya saya menggunakan pemain yang ada saat itu. ceritanya sendiri langsung saya buat saat itu juga di hotel," katanya beberapa waktu lalu saat ditemui di Sekretariat DKL.

Dan itu pula yang dikemukakan Syaiful saat melakukan peluncuran film tersebut di Ruang Pubian, Balai Keratun Pemprov Lampung, Senin (17-12) kemarin. Dia mengatakan penggarapan film ini sebenarnya dibuat sangat spontan muncul ketika akhir bulan Maret 2007 lalu saya beserta rombongan tim kesenian Lampung melawat ke Tokyo.

Syaiful mengatakan dirinya berpikir akan sangat sayang sekali apabila perjalanan ini tidak hanya berlalu saja. "Mengapa saya tidak membuat perjalanan ini berarti? Saya akhirnya mengambil inisiatif untuk membuat film. Toh, adegan yang lain bisa diselesaikan di Lampung begitu pikiran saya ketika itu."

Sehingga akhirnya, dia pun langsung melaporkan ide tersebut kepada Ketua Umum DKL, Atu Ayi. "Setelah mendapatkan persetujuannya, akhirnya saya mulai membuat film lintas budaya yang kami berikan tajuk "Rindu7 Tak Hilang di Tokyo" yang mengangkat dialog dalam bahasa Indonesia, Lampung, dan Jepang," katanya.

Ternyata ketika diluncurkan pada Senin kemarin, film yang berlatar belakang di Provinsi Lampung dan di Tokyo, Jepang ini, secara umum sudah lumayan. Karena di film yang juga digarap oleh Ibrahim Wardan (Boim) ini, kisahnya mampu diterima oleh penonton. Bahkan bisa dikatakan pesan tersebut mampu diterjemahkan dalam bahasa gambar yang lumayan baik. Sehingga penonton pun bisa mengambil pesan-pesan serta nilai yang terkandung dalam film tersebut.

Apalagi di dalam film ini, sutradara mencoba mengangkat nuansa kelokalan Lampung dengan mengambil setting tempat yang menunjukkan kekhasan Lampung. Di antaranya adalah penggunaan rumah kayu yang berarsitektur khas Lampung, Tugu Siger, Tugu Gajah, serta beberapa sudut pengambilan lainnya.

Pun juga dengan nilai-nilai kearifan lokal yang coba diketengahkan di film ini. Misalnya saja nilai untuk tetap menjaga tradisi Lampung serta memegang petuah para tetua oleh para generasi muda, sehingga mereka tidak terbawa oleh arus yang ditawarkan zaman. Bahkan meski akhirnya meski tinggal di kota metropolitan, kerinduan akan kampung halaman tetap ada.

Selain itu juga, dalam film ini pun, Syaiful yang juga merupakan penulis skenarionya mencoba memperkenalkan penggunaan bahasa Lampung dalam beberapa dialog yang dilakukan, terutama oleh nenek, om, dan tante. Bahkan tidak hanya itu saja, di film ini pun coba ditunjukan bagaimana sosok anak muda yang gaul karena berprofesi sebagai model kondang, tetapi tidak lalu melupakan bahasa ibu yang dimilikinya hanya karena ingin disebut modern ataupun gaul. Sehingga ini sangat pas sekali ketika film televisi ini diaksikan oleh anak muda.

Namun selain nilai plus dari film ini, beberapa kekurangan terutama dari sudut sinematografi masih sangat terasa. Kelemahan yang sangat terasa adalah ketika film ini berkisah di Tokyo, penggambaran sudut yang diambil selalu berulang beberapa kali. Walaupun sepertinya ini dilakukan sutradara untuk menunjukkan adegan yang dilakukan ber-setting di Tokyo. Tapi akhirnya malahan ini menjadi sangat kontraproduktif kepada film ini sendiri.

Selain itu juga, kelemahan yang juga sangat terasa adalah ketidakcermatan sutradara terhadap detail serta kurangnya melakukan riset tempat. Di beberapa adegan misalnya ketika ber-setting di sebuah diskotik di Jepang, sangat terlihat sekali sangat biasa sekali. Hanya penggambaran permainan lampu warna warni serta backsound lagu house music saja.

Untuk mencoba menunjukkan kalau diskotek tersebut berada di Jepang, hanya ditandai dengan tulisan huruf kanji yang banyak tertempel di tembok. Itu saja. Tapi kursi diskotek yang berbentuk kursi bulat dan terbuat dari kayu, tentu saja sudah menunjukan kalau itu bukan diambil di Jepang. Begitu juga dengan orang-orang yang berada di diskotek tersebut, kelihatan sekali hanya menggunakan orang-orang dekat pembuat saja, dimana wajahnya sangat Indonesia sekali. Padahal bisa saja untuk mendukung ajak saja pelajar ataupun mahasiswa keturunan China untuk bermain di sini.

Pun begitu juga dengan latar rumah makan Jepang. Meski setting-nya sudah sangat tepat karena mengambil salah satu sudut rumah makan Jepang, Tadanama di Telukbetung, tidak didukung dengan sosok pelayan. Sebab wajahnya masih sangat Indonesia. Sehingga seharusnya ini juga menjadi perhatian dari sutradara. Walaupun tidak juga menapikan bisa saja orang Indonesia atau Melayu bekerja di rumah makan Jepang bik secara part time ataupun TKI, seyogianya tetap saja detail ini juga yang mesti diperhatikan.

Tidak hanya itu saja, persoalan penokohan serta keaktoran yang ada juga masih sangat kurang. Mesti bisa dimaklumi ini dikarenakan ide awal penggarapannya datang begitu saja, serta diburu deadline tinggal hanya beberapa waktu saja di Tokyo, yang akhirnya menjadikan pemain yang ada ala kadarnya. Misalnya sosok Rindu yang diperankan Dina yang digambarkan sebagai sosok yang tegar dan kuat serta energik namun di dalam penggambarannya malahan terkesan sangat kalem, introver, serta cenderung melankolis.

Serta sosok Tanjung yang beperan sebagai Ken, kekasih Rindu. Sebagai sosok seorang eksekutif muda yang sukses, penggambarannya masih sangat kurang pas, baik itu dari dandanannya ataupun gaya yang dikenakannya.

Tokoh yang pas berperan adalah Monica Andriani yang memerankan sosok Harum, teman SMP Rindu yang kini menetap di Tokyo. Di sini terlihat Monica yang memang berprofesi sebagai penyiar radio ini mampu bermain secara natural sekali, baik dalam dialog yang dilontarkan juga lewat acting yang diperankan. Contohnya ketika beradegan merokok, mabuk, hingga bercakap secara santai kepada Rindu ataupun Tanaka (Ch. Heru) yang merupakan kekasih Harum.

Namun paling tidak, bila dibandingkan dengan film-film televisi ataupun film indie garapan sineas lokal Lampung, apa yang digarap Syaiful dan Boim ini lebih unggul. Karena memang terlihat sekali keseriusan dalam penggarapannya. Walaupun bila dibandingkan dengan FTV produk televisi swasta nasional ataupun film indie garapan sineas kota besar, masih kalah jauh.

Dan catatan yang sangat mengganjal ketika dilakukan pemutaran perdana saat launcing adalah terdapatnya penggalan-penggalan iklan casting lima menit sekali saat film diputar. Padahal seharusnya untuk ruang apresiasi, jangan terganggu dengan penggalan yang sanggat mengganggu seperti itu, Sehingga akhirnya ritme serta keasyikan saat menyaksikan film ini menjadi sangat terganggu.

Pimpinan produksi film ini, Christian Heru Cahyo Saputro mengatakan bahwa film ini dikerjakan semuanya oleh anak-anak Lampung. "Film ini akan ditayangkan di Lampung Televisi, Selasa (18-12) pukul 19.00 sedangkan di Siger TV akan ditayangkan pada hari Kamis (20-12) sekitar pukul 20.00. Selain itu bisa diakses pada ontv4us.com."

Heru juga mengatakan film ini didukung artis lokal seperti Dina, Mona, Tanjung, Aan Ibrahim, Berti Moegni, Atu Ayi, Nia, dan Susi. "Untuk eksekutif produser dalam film perdana besutan Menara Lampung Production ini adalah Hj. Syafariah Widiati, pimpinan produksi saya sendiri, sutradara selain Syaiful serta Ibrahim Wardin, dan Unit Manager Yunanda Saputra," ujarnya.

Film ini sendiri mengisahkan tentang Rindu (Dina) yang menjalin cinta dengan Ken (Tanjung). Namun karena berbeda prinsip hidup, akhirnya keduanya putus, dan Rindu pergi ke Tokyo, ke tempat tinggal nenek serta oom dan tantenya. Bahkan di sana dia bertemu dengan Harum (Mona) yang merupakan teman SMP yang sudah menetap di sana dan bergaya metropolis dan hedonis.

Namun karena Rindu masih mendapatkan perhatian serta pesan-pesan dari neneknya yang masih mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal, Rindu tak terbawa oleh arus yang ditawarkan Harum. Sampai akhirnya dia sadar memiliki kekangenan untuk kembali ke Lampung yang diibaratkannya sebagai kampungnya. n TEGUH PRASETYO/S-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Desember 2007

1 comment:

  1. Ini sekedar masukan buat anda, saya lihat anda sudah lama jadi blogger tapi anda banyak hanya mengcopy paste artikel dari media online. Sebagai pengunjung blog anda saya tidak tahu mana yang merupakan pemikiran anda sendiri.

    ReplyDelete