Oleh M. Edy Bisri Mustofa
SESUNGGUHNYA Allah telah menjanjikan kepada mereka yang menghadiahkan kebaikan dengan sembelihan hewan kurban sebagai golongan muhsinin yang akan mendapatkan limpahan pahala. Maka berbahagialah orang-orang yang berkurban.
Iduladha setiap tahun mestinya menjadi lebih penting dari sekadar ritual simbolis dan seremonial formal yang memamerkan kehidupan meterialistis dan hedonis. Iduladha hendaknya dapat menjadi peluang introspeksi semua pihak terhadap keprihatinan moral bangsa yang tampak semakin terpuruk. Bukankah lebih baik momentum ini kita jadikan sebagai hari kebangkitan solidaritas dan kemanusiaan, terutama untuk mengentaskan kemiskinan bukan menetaskan kemiskinan.
Dalam konteks kekinian, Iduladha mengandung sifat memanusiakan manusia. Implemetasinya dalam kehidupan sehari-hari adalah rela berkorban, rela berbagi rata dan rasa sesama umat, terutama kepada kaum miskin, orang-orang telantar dan orang-orang lapar. Sedangkan relevansi keibadatannya adalah persamaan hak, harkat, dan martabat kemanusiaan, solidaritas, dan kesetiakawanan sosial.
Pemaknaan ini semakin menjadi penting manakala manusia dihadapkan pada perilaku kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam kasus keindonesiaan, betapa mirisnya hati kita ketika menyaksikan masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Masih banyak orang-orang yang menganggur, masih banyak anak-anak yang kekurangan gizi dan bahkan masih ada yang kelaparan, masih banyak anak dan orang-orang telantar. Dalam prinsip pengentasan kemiskinan itulah Iduladha seharusnya dimaknakan.
Sayang, banyak di antara kita setelah melaksanakan ritual Iduladha justru lupa atau bahkan kehilangan rasa kemanusiaan, rasa solidaritas, dan kesetiakawanan sosial. Banyak di antara kita memaknakan Iduladha dan melaksanakan ibadah kurban sekadar peristiwa simbolis dan seremonial belaka. Kesan duniawi lebih terasa menonjol sehingga makna dan hakikat kurban nyaris tenggelam oleh nafsu ria semata dan sikap pamer kemampuan menyumbangkan sekian ekor sapi dan sekian ekor kambing. Setelah itu mereka tertawa-tawa sambil bertepuk tangan, lalu saling bersalaman, merasa puas dan kembali ke sosok keakuan dan kepura-puraan.
Mungkin itulah sebabnya, krisis ekonomi bangsa terus berkepanjangan dan makin diperparah pula oleh berbagai musibah dan bencana alam seakan silih berganti tiada henti. Ada bencana alam banjir, gelombang tsunami, gempa bumi, dan tanah longsor. Ada demam berdarah, flu burung dan flu babi, penyakit kaki gajah, campak, cacar air, malaria, muntaber, dan busung lapar atau gizi buruk. Ada pesawat jatuh, tabrakan kereta api, kapal tenggelam, dan feri terbalik. Ada serangan hama belalang, padi hampa, sawah kekeringan. Ada kerusuhan antarpenduduk, tawuran pelajar dan mahasiswa, teror bom, dan perompak kapal.
Ironinya, negeri beragama ini justru dicap oleh pihak asing sebagai negeri korupsi peringkat atas di dunia. Lebih celaka lagi, ribuan masjid dibangun, ribuan musala didirikan, ratusan majelis taklim dibentuk, dan ribuan pesantren berkembang di bumi Indonesia. Ratusan ribu orang tiap tahun berangkat haji ke Mekah, bahkan hampir setiap bulan kaum selebritas pergi umrah, dan hampir setiap pekan dilaksanakan doa dan zikir bersama dengan tayangan langsung melalui televisi.
Tapi pada saat yang sama, ribuan orang pula justru melakukan korupsi, pungli, tilap, sogok, dan suap. Pelakunya acap disebut sebagai rampok berdasi atau maling berseragam. Mereka digolongkan sebagai kelompok kejahatan kerah putih. Pada saat yang sama pula pornografi makin subur berdalih kebebasan berekspresi, narkoba kian meluas, penyelundupan makin berani.
Memang, pada saat Iduladha atau pada hari-hari keagamaan lainnya, banyak di antara kita untuk sesaat merasa mengenali ketuhanan, merasa lebih alim, merasa paling dermawan, merasa lebih beragama, dan merasa paling banyak berkorban. Tapi begitu ritual Iduladha usai, dalam keseharian kebanyakan di antara kita justru menjadi seorang pelupa. Karena lupa, banyak orang beragama tidak mengenal agamanya, banyak orang kaya makin loba sehingga banyak di antara kita justru menjadi seorang pemangsa yang menelan banyak korban. Para pemimpin dan elite politik hanya rela berkorban untuk kepentingan meraih kedudukan dan kekuasaan pribadi dan kelompoknya. Akibatnya, rakyat kebanyakan bukanlah menerima daging kurban, melainkan justru menjadi korban. Maka ada korban tabrak lari, ada korban politik, ada korban penggusuran, ada korban salah tembak, dan ada korban perasaan.
Apakah kita biarkan negeri dan bangsa ini tenggelam dalam kehancuran? Jawabnya, ada pada diri kita semua, wabilkhusus pada segenap pemimpin dan elite politik. Selamat Iduladha. n
M. Edy Bisri Mustofa, Pengurus KAHMI Wilayah Lampung
Sumber: Lampung Post, Jumat, 12 November 2010
No comments:
Post a Comment