DI tengah pro-kontra dan kegamangan pemerintah menanggapi opsi perpindahan ibu kota, Pemerintah Provinsi Lampung selangkah di depan. Sebuah kota baru yang berwawasan lingkungan tengah dirancang, menggantikan fungsi Kota Bandar Lampung sebagai pusat pemerintahan.
Niat ini tidak main-main. Salah satunya dibuktikan dengan peletakan batu pertama pembangunan kota baru di kawasan Way Hui, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan, pada 27 Juni 2010.
Keinginan membuat pusat pemerintahan baru, yang muncul dari gagasan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, ini juga mendapatkan dukungan DPRD Lampung. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2010 terkait Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Baru dibuat pada awal tahun ini menandakan tingginya antusiasme pembentukan kota baru itu.
Kota baru pusat pemerintahan baru Provinsi Lampung ini dirancang menempati luas wilayah sekitar 1.669 hektar (ha), dengan 350 ha di antaranya untuk gedung pemerintahan, termasuk markas kepolisian daerah dan kejaksaan. Sisanya, 1.319 ha, untuk kawasan permukiman dan komersial.
Menurut Gubernur Lampung, kota baru di Jati Agung adalah proyek jangka panjang yang berkesinambungan, selesai hingga 15 tahun ke depan. ”Tak mungkin selesai di zaman saya. Namun, setidaknya sudah dirintis,” ungkap Sjachroedin, yang dua periode memimpin Lampung.
Setidaknya ada lima alasan yang membuatnya terdorong memindahkan pusat pemerintahan dari Kota Bandar Lampung, di antaranya menyebar kepadatan penduduk, membuka investasi baru, menghindari kemacetan lalu lintas, dan lebih mendekatkan pelayanan pada warga di luar pusat kota.
Dalam beberapa kesempatan, ia mengkritik praktik tata ruang dan wilayah di Bandar Lampung yang tak lagi sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Ia mencontohkan, sebuah kawasan jalan raya dipenuhi perguruan tinggi yang kerap memicu kemacetan, sementara bukit karst dirusak pengusaha.
Dengan luas wilayah 19.296 ha yang dihuni 879.651 jiwa (kepadatan penduduk 4.597 jiwa per kilometer persegi), Bandar Lampung mulai terasa tak nyaman. Pada pagi dan sore hari, seperti di Teluk Betung dan Kedaton, tak jarang terjadi kemacetan. Banjir pun kerap terjadi, terutama di pesisir. Ditambah kondisi kantor instansi Pemprov Lampung masih terpencar-pencar, ini bisa mengganggu koordinasi antarinstansi.
Berwawasan hijau
Dengan membuat kota baru di areal yang relatif masih kosong, akan lebih mudah bagi pemerintah untuk menata sesuai kebutuhan di masa depan. Menurut Fahrizal Darminto, mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan daerah (Bappeda) Lampung, yang banyak terlibat dalam rencana pembangunan kota Jati Agung, kota baru itu didesain lebih berwawasan lingkungan.
”Konsepnya green development. Lebih dari 30 persen lahan dicadangkan untuk konservasi air, seperti danau dan kawasan hijau lainnya. Tingkat building coverage ratio (BCR)-nya maksimal 60 persen. Sebuah areal hanya 60 persen yang boleh dibangun gedung. Sisanya untuk kawasan hijau,” ujarnya.
Bappeda Lampung kini tengah menyusun detail tata ruang dan cetak biru pembangunan kota baru ini. Pembuatan kota baru ini terinspirasi dari sejumlah kota baru dunia, salah satunya Putra Jaya, Malaysia. Beberapa waktu lalu, rombongan DPRD dan Pemprov Lampung studi banding ke Negeri Jiran untuk keperluan ini.
Tidak jauh berbeda dengan Putra Jaya, areal tanah yang sedianya dijadikan kota baru memakai bekas perkebunan, eks PT Perkebunan Nusantara VII Way Hui. Luas areal perkebunan karet yang tak lagi produktif itu mencapai 1.600 ha.
Saat ini dilakukan tahap awal, yaitu pembebasan tanah 350 ha dan pengerjaan badan jalan dan pintu masuk ke kawasan itu senilai Rp 18,9 miliar. ”Mudah-mudahan, tahun depan sudah terlihat boulevard-nya seperti di Monas,” ujar Sjachroedin lagi.
Ia bermimpi menjadikan kota baru ini sebagai ikon masa depan Lampung, berdampingan dengan Jembatan Selat Sunda yang sejak lama didambakan masyarakat Sumatera, khususnya Lampung.
Sejumlah kendala yang mungkin merintangi rencana ”memindahkan” ibu kota ini adalah ketersediaan anggarannya. Sejauh ini, dari APBD Lampung hanya tersedia dana Rp 19 miliar untuk pembangunan tahap awal kota baru. Pemprov Lampung juga tak mungkin bisa mengabaikan anggaran untuk sektor penting lain, yaitu perbaikan infrastruktur dan pendidikan yang menyedot APBD.
Untuk itu, dibuatlah skenario konsesi untuk menyedot dana pihak ketiga. ”Salah satu solusi, swasta kami gandeng berkonsesi, untuk membuat areal komersial, diwajibkan investasi ke infrastruktur pula,” ujar Fahrizal.
Kendala terbesar lain, menurut Syarief Makhya, pengamat kebijakan pemerintahan dari Universitas Lampung, adalah kelanjutan program mercusuar itu jika terjadi pergantian kepala daerah.
(Yulvianus Harjono/M Fajar Marta)
Sumber: Kompas, Senin, 1 November 2010
No comments:
Post a Comment