November 13, 2010

I Wayan Sumerta Dana Arta: Lestarikan Cetik Tanpa Pamrih

Oleh John Joseph Sinjal

Jakarta - Program sosial budaya bertajuk Mutiara Bangsa yang diprakarsai Kraftig Advertising telah mencapai puncaknya di tahun kedua pemyelenggaraannya dengan penetapan 15 duta dari sektor lingkungan, pemberdayaan perempuan, kesehatan, kemandirian, pendidikan, kesejahteraan, dan kebudayaan daerah.

‘’Lima belas orang tersebut telah mengabdikan hidupnya demi kebaikan bagi orang lain. Mereka bekerja tanpa pamrih untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat,’’ kata Direktur Kreatif Kraftig Advertising, Paul Bernadhi, saat menyerahkan penghargaan untuk ke-15 Mutiara Bangsa terpilih pada acara Malam Berbagi Baik di Hotel Sultan, Rabu (10/11) malam.

Salah satu yang terpilih adalah I Wayan Sumerta Dana Arta asal Lampung. Pria perantauan Bali ini dinilai berjasa melestarikan alat musik cetik, instrumen tradisional dari wilayah Skala Brak, Lampung Barat.
“Pertama kali saya terdorong untuk melestarikannya justru karena laras nada yang dimiliki instrumen ini berbeda dengan laras pentatonik alat musik Bali, Jawa dan Sunda,” kata Wayan kepada SH.

“Laras peloknya terdiri dari enam nada pentatonik, jadi memang lain seperti yang umumnya di Bali, Jawa, dan Sunda yang sekitar 5 dan 7 nada,” sambungnya.

Lagi pula tekad pelestarian yang dilakukan Wayan dilatarbelakangi pula oleh langkanya dan sedikitnya orang yang tertarik pada alat musik cetik.

“Kini alat musik itu mulai diperhatikan lagi sejak saya rajin melakukan lokakarya di sekolah-sekolah, dan belakangan ini telah dibuka studi pendidikannya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, ISI Denpasar, ISI Surakarta, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, dan STSI Padangpanjang. Semua itu saya lakukan secara cuma-cuma. Saya mengadakan penelitian untuk itu sejak tahun 2003 agar menghasilkan kekuatan akademis,” paparnya.

Daya Upaya

Ia bersyukur upaya tersebut telah diakui dan cetik sudah didaftarkan hak ciptanya di Kementerian Kehakiman.

“Mulanya saya menghadapi tantangan berat ketika mengajarkannya langsung pada masyarakat pemilik budayanya sendiri, dan hingga sekarang pun masih ada saja yang belum rela menerima,” ungkap pendatang asal Bali yang menetap di Lampung sejak 1997 itu.

Tekad kuat Wayan Sumerta dalam mengangkat materi asli kesenian musik daerah Lampung, akhirnya memang tak sekadar melestarikan saja. Menurutnya, para mahasiswa kesenian musik Indonesia penting untuk memahami bahwa mendalami instrumen tradisional jangan hanya terfokus pada kesenian Bali, Jawa, dan Sunda saja.

“Saya belum berharap pada hasil finansialnya karena sampai sekarang belum ada dan sifatnya masih kerja sukarela. Hingga sekarang mengisi acara di TVRI Lampung pun masih gratis. Bagi saya, yang penting cetik bisa dikenal dulu secara luas,” ujar sarjana karawitan yang sehari-hari bekerja di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Lampung ini. n

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 13 November 2010

No comments:

Post a Comment