November 3, 2010

Otonomi Daerah Lampung (7-Habis): Menengok Kekuatan yang Tertinggal

Oleh Yuliana Rini DY

OTONOMI daerah yang digulirkan sejak tahun 2001 tampaknya belum mampu mendorong kemajuan bagi Provinsi Lampung. Selain problem politik dan birokrasi, minimnya kualitas sumber daya manusia dan sumber daya alam juga menyebabkan Lampung masih relatif tertinggal.

Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan, sebagian besar publik responden Lampung (70,5 persen) belum puas terhadap pelaksanaan otonomi selama ini. Pembangunan infrastruktur dan kondisi perekonomian merupakan dua prioritas persoalan yang dinilai responden paling menghambat gerak pembangunan Lampung. Mayoritas responden berdomisili di Kota Bandar Lampung.

Dari kacamata pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pun tampak kelemahan wilayah ini. Indeks yang mengukur capaian pembangunan manusia berbasis angka harapan hidup, angka melek huruf, lama sekolah, dan daya beli masyarakat menunjukkan IPM Provinsi Lampung (70,3) di bawah rata-rata nasional (71,17). Dari peringkat pun provinsi ini menempati posisi ke-20, jauh di bawah provinsi tetangganya, Bengkulu (11) dan Sumatera Selatan (12).

Analisis data sekunder menunjukkan, kondisi sosial ekonomi kabupaten/kota di Lampung memang cenderung kurang menggembirakan dilihat dari indikator ekonomi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kependudukan. Selama kurun waktu 2005-2008 malah terjadi penurunan indeks sosial ekonomi di sejumlah kabupaten/kota di Lampung. Hanya di Kota Bandar Lampung tercatat indeks yang meningkat, sedangkan di Kota Metro stagnan.

Meski bukan sepenuhnya menjadi potret terbaru kondisi Lampung, penurunan indeks sosial ekonomi dapat menjadi indikasi turunnya kinerja pemerintah memberikan pelayanan dasar kepada publik. Apalagi jika mengingat bahwa pemekaran yang terjadi di provinsi ini sebagian sudah berjalan satu dekade lebih. Kabupaten Lampung Tengah tercatat mekar sejak lebih dari satu dekade lalu (1999) menjadi Lampung Timur dan Kota Metro. Indeks sosial ekonomi setelah dimekarkan justru turun. Sementara tiga kabupaten baru, yaitu Mesuji, Pringsewu, dan Tulang Bawang Barat, memang baru mekar tahun 2008.

Identifikasi yang dilakukan sejumlah pengamat menyebutkan, wilayah pemekaran belum bisa berkembang lantaran tidak dapat memfokuskan pada sumber daya alam yang tersisa setelah pemekaran dan aparat pemerintah yang kurang jeli mengembangkan potensi wilayah. Sebaliknya, wilayah yang relatif cukup berhasil, seperti Kota Metro, karena sudah memiliki tata ruang infrastruktur peninggalan Belanda dan sumber daya manusia.

Ketergantungan

Wilayah yang menjadi salah satu tujuan utama transmigrasi masa Orde Baru ini tampaknya belum mampu mengonsolidasikan sumber daya yang dimiliki. Kerentanan kemampuan membangun Lampung tampak, antara lain, dari struktur keuangan daerah. Selama ini pemerintah kabupaten/kota hanya mengandalkan dana perimbangan sebagai sumber utama keuangan.

Proporsi dana perimbangan terhadap seluruh pendapatan bisa mencapai 70-95 persen. Dana perimbangan paling besar diperoleh Kabupaten Lampung Timur (Rp 850 miliar) pada tahun 2010, mencakup 95 persen dari total pendapatan daerah. Selain itu, sebagian besar dana alokasi umum yang diperoleh daerah digunakan untuk membayar gaji pegawai.

Di sisi lain, wilayah Lampung tampaknya bukan daerah yang miskin-miskin amat secara sumber daya. Dari peta Geologi Daerah Lampung disebutkan kandungan gas alam di lembah Suoh, uranium di Bukit Arahan, Gedong Surian, Bukit Semoang dan Bukit Lematang, dan juga Pulau Tabuan.

Terkandung pula batu bara muda, besi, emas, dan perak di perut bumi wilayah Lampung. Di Kabupaten Lampung Timur, sekitar Pulau Segamat, Pulau Basa, Gosong Serdang, Gosong Layang-layang, dan karang Pematang, bahkan sudah terdapat eksploitasi minyak dan gas bumi yang dikelola sebuah perusahaan PMA (penanaman modal asing) dari China.

Potensi besar

Selain potensi sektor pertambangan, komoditas sektor perkebunan sebenarnya juga masih menjadi potensi besar bagi perekonomian wilayah. Berdasarkan analisis Input Output tahun 2008 yang diperbarui, industri pengupasan kopi dapat menjadi sektor kunci yang mempunyai kemampuan kuat menarik sekaligus mendorong sektor lain untuk menggerakkan roda perekonomian.

Kemampuan menarik (backward linkage) tampak dari apabila permintaan industri pengupasan kopi meningkat, industri akan meminta bahan baku (biji kopi) lebih banyak yang mayoritas dipasok oleh perkebunan rakyat di Lampung, terutama Kabupaten Lampung Barat. Kemampuan mendorong (forward linkage) ditunjukkan lewat peningkatan produk kopi kupasan besar, maka akan menggerakkan industri penggilingan kopi agar beroperasi untuk memenuhi permintaan kopi olahan di hotel dan restoran di Lampung.

Catatan menunjukkan, komoditas kopi dan gula memang mampu menjadi andalan Provinsi Lampung, yang mencakup sekitar 20 persen produksi kopi nasional.

Sementara itu, meskipun 27 persen produksi tebu nasional disumbang oleh Lampung, kedua setelah Jawa Timur, sektor ini pada kenyataannya kurang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Penguasaan oleh perkebunan swasta dan nasional, seperti Sugar Group, Gunung Madu Plantations, dan Bunga Mayang (PTPN VII), mencakup 88 persen produksi tebu yang dihasilkan Lampung.

(Litbang Kompas)

Sumber: Kompas, Rabu, 3 November 2010

No comments:

Post a Comment