November 18, 2010

Menekan Tingkat Kemiskinan di Lampung

Oleh Yosep

MENURUT ahli sosiologi dan antropologi, kemiskinan merupakan fenomena yang telah ada sejak zaman Mesir kuno sebelum ada bukti tertulis. Tulisan pertama tentang kemiskinan telah dimulai sejak zaman Babilonia, Talmudic, dan Kristen mula-mula. Meski demikian, walaupun usianya sudah sangat tua, kemiskinan sampai saat ini masih belum juga dapat dihapuskan. Mungkin tepat seandainya kemiskinan diasosiasikan sebagai virus yang tidak mungkin diberantas secara langsung, obat yang mungkin diberikan hanya dalam upaya meningkatkan kekebalan tubuh untuk menekan populasi virus tersebut.

Setiap negara berupaya untuk memberantas kemiskinan khususnya negara-negara di Asia dan Afrika. Pada September 2000, sebanyak 189 kepala negara menandatangani kesepakatan Millennium Development Goals (MDGs) di KTT Milenium PBB dengan tujuan utama, memangkas setengah penduduk miskin global yang berpendapatan kurang dari 1 dolar per hari pada kurun waktu 1990—2015. Konsep kemiskinan pun sejauh ini masih merupakan bahan perdebatan seru para ahli. Para ahli belum dapat mendefinisikan secara tepat, apakah sesungguhnya kemiskinan itu?

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan dengan menghitung garis kemiskinan. Garis kemiskinan dibedakan menjadi garis kemiskinan makanan setara dengan 2100 kkal perkapita per hari dan garis kemiskinan bukan makanan yang merupakan kebutuhan untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya. Sejak Desember 1998, penghitungan kemiskinan disempurnakan dengan perluasan cakupan komoditas dengan mempertimbangkan keterbandingan antardaerah dan waktu.

Berdasarkan hasil Susenas panel tahun 2009, persentase penduduk miskin Provinsi Lampung masih tergolong tinggi dibandingkan dengan angka nasional, yaitu masing-masing 20,22 persen dan 14,15 persen. Ada beberapa variabel makroekonomi yang dapat digunakan sebagai analisa tingginya angka kemiskinan di Provinsi Lampung, yaitu pertumbuhan sektor pertanian dan inflasi bahan makanan.

Pertumbuhan Sektor Pertanian

Sesungguhnya kebijakan yang diambil baik oleh pemerintah maupun Gubenur Bank Indonesia seputar otoritas fiskal dan moneter selalu diperhadapkan dengan dua pilihan yang sulit, lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi atau stabilitas harga. Apakah para pengambil kebijakan makro adalah Hawk atau Dove? Saat pemerintah memutuskan untuk memacu pertumbuhan ekonomi berarti pemerintah siap mengorbankan stabilitas harga. Demikian sebaliknya.

Pertumbuhan ekonomi merupakan prioritas utama pemerintah dalam mengurangi kemiskinan. Pemerintah dapat memacu pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan rakyat miskin. Pertumbuhan sektor tradable sangat berkaitan erat kaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan karena rakyat miskin umumnya berada pada sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan) khususnya sektor pertanian. Peranan sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung relatif cukup tinggi, yaitu 38,63 persen dibandingkan dengan peranan pertanian secara nasional sebesar 15,63 persen. Namun, pertumbuhan sektor ini belum menggembirakan, pada 2008 sektor ini hanya bertumbuh sebesar 2,99 persen dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada saat itu 5,26 persen. Sedangkan pertumbuhan sektor pertanian secara national bertumbuh sebesar 4,77 persen dibandingkan PDB di tahun itu yang bertumbuh 4,21 persen.

Inflasi Bahan Makanan

Inflasi bahan makanan akan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Berdasarkan hasil penelitian Ravallion (2008) bahwa kenaikan harga bahan makanan di Indonesia sebesar 10 persen akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 2 juta jiwa (1 persen).

Tingkat kemiskinan penduduk Lampung sejalan dengan hasil penelitian tersebut. Pada 2008, inflasi bahan makanan Provinsi Lampung mencapai angka 22,05 persen, merupakan angka yang relatif tinggi, inflasi umum pada tahun itu 11,26 persen. Sedangkan secara nasional inflasi bahan makanan 16,35 persen, sedangkan angka inflasi secara umum nasional pada tahun itu 11,06 persen.

Orang miskin relatif lebih banyak menghabiskan pendapatannya untuk kebutuhan makanan. Oleh sebab itu, efek inflasi bahan makanan akan lebih buruk bagi orang miskin. Dampak kenaikan harga terhadap besarnya peningkatan angka kemiskinan tergantung terhadap posisi pemasaran (net marketing position) sebagai konsumen bahan makanan (net food buyer) atau produsen bahan makanan (net food seller) dan besarnya konsumsi masyarakat yang digunakan untuk membeli kebutuhan pangan. Hasil studi bank dunia 2008 juga menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk indonesia (lebih dari 75 persen) adalah konsumen bahan makanan (net food buyer) bukan produsen bahan makanan (net food producer) sehingga peningkatan harga bahan makanan ini tidak dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Seandainya posisi pemasaran penduduk Lampung diasumsikan seperti struktur posisi pemasaran sebagian besar masyarakat di Indonesia, tentunya dampak kenaikan harga bahan makanan akan meningkatkan jumlah penduduk miskin secara drastis.

Kesimpulan

Pemerintah Provinsi Lampung dapat meneruskan kebijakan memacu pertumbuhan ekonomi sejalan dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Namun, hendaknya memberikan perhatian bagi pertumbuhan tradable sektor khususnya sektor pertanian. Pemerintah daerah juga harus mewaspadai efek kenaikan bahan makanan dengan menjamin ketersediaan bahan pangan khususnya menghadapi berbagai bencana yang menghempas negeri ini. Tekanan inflasi bahan makanan akibat gagal panen dan kekurangan bahan makanan di berbagai daerah terkena bencana alam akan besar pengaruhnya terhadap meningkatnya angka kemiskinan. n

Yosep, Staf BPS Provinsi Lampung, alumnus Pascasarjana International Development Economics, Australian National University.

(Uraian ini merupakan pendapat penulis tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 18 November 2010

No comments:

Post a Comment