March 20, 2014

FIB Berbasis Empirisme?

Oleh Destaayu Wulandari


DAHI saya berkerut kala membaca opini Lampung Post, 13 Maret 2014 bertajuk Urgensi FIB di Unila. Setidaknya dua hal saya garis bawahi dari tulisan tersebut. Sekilas, kedua gagasan yang dimaksud bukan masalah dan bahkan menjadi pemantik tambahan yang tersampaikan kepada masyarakat—selain diskusi-diskusi terkait yang tidak terpublikasi—demi terwujudnya rencana besar untuk masa depan budaya di Lampung ini. Namun, setelah dikaji lagi, ada hal-hal implisit yang menurut saya perlu untuk diperhatikan.

Pertama, rencana pewujudan yang cenderung lebih mengutamakan nilai-nilai empiris melalui fakultas ilmu budaya (FIB) yang kelak akan didirikan di Universitas Lampung (Unila). Kedua, pengerucutan fungsi yang secara tidak langsung dapat memicu disintegrasi dengan FIB di universitas lain yang lebih dulu ada di Indonesia.

Pada poin pertama, dalam artikel itu peran FIB secara teoretis memang tetap disebut dengan cakupan tepat menyentuh kemasyarakatan dan kemultietnikan budaya setempat. Akan tetapi, setelahnya lebih ditonjolkan paparan yang menimbulkan kesan pengabaian terhadap latar belakang keilmuan bakal dosen yang nantinya mengajar di FIB. Secara jelas disampaikan staf pengajar tidak harus lulusan magister apalagi doktor.

Ada hal yang tendesius saat kemudian penulisnya menunjuk beberapa nama tokoh seniman dan budayawan Lampung yang dianggap mumpuni untuk menduduki posisi dosen. Pada bagian ini, tentu saya bukan menolak ide tersebut, melainkan bermaksud melengkapinya. Kualitas sosok yang direkomendasikan memang tidak perlu diragukan. Mereka telah memiliki prestasi dan pengalaman yang jarang dimiliki masyarakat Lampung, termasuk bila nanti dimunculkan tokoh lain yang serupa. Beberapa sosok yang kapasitasnya dianggap mumpuni itu perlu, utamanya untuk mata kuliah yang sifatnya praktikal.

Sebut saja, sebagai contoh, Penulisan Kreatif, Dramaturgi (teater), serta Transliterasi Naskah pada Subjek Filologi adalah beberapa mata kuliah di FIB yang perlu staf ahli lapangan. Kehadiran mereka tentu penting di satu bagian. Pula, jangan sampai lupa ada bagian lain, yaitu teori yang juga harus diampu oleh ahlinya.

Apalagi Lampung merupakan peserta dalam ajang sastra Rancage. Oleh sebab itu, dengan memahami teori kritik sastra, karya-karya sastra berbahasa Lampung yang telah ada akan bisa dikritisi oleh para mahasiswa yang menaruh minat pada sastra Lampung secara khusus atau sastra secara umum yang ditulis oleh orang Lampung atau bukan orang Lampung. Ke depan, perolehan penghargaan sastra dari yayasan yang diketuai oleh Ajip Rosidi itu tidak lagi minimal dengan adanya kritik yang membangun.

Penekanannya, isu kesulitan (jika memang benar sulit) memperoleh staf pengajar sebaiknya tidak lantas disederhanakan sedemikian itu. Jangan sampai kabar baik bagi pegiat sastra dan budaya di Lampung justru menjadi barang antik yang aksesibilitasnya terbatas.

Semangat empirisme yang diusung dalam artikel tersebut ada baiknya tidak ditelan apa adanya. Bukankah tidak buruk merekrut yang bukan masyarakat Lampung seandainya sungguh tidak ada sama sekali di provinsi ini. Sarjana, magister, dan doktor yang memiliki latar belakang ilmu sastra atau humaniora tetap merupakan hal fundamental bagi fakultas yang masih dalam rencana pendirian itu.

Link and Mach

Selain semangat empirisme, pada poin kedua dibubuhkan pula semangat disintegrasi. Sebagai pembanding, Unversitas Gadjah Mada (Yogyakarta) mendirikan FIB pada 1946, Universitas Diponegoro (Semarang) 1965, Universitas Andalas (Padang) 1982, dan Universitas Airlangga (Surabaya) 1998.

Ingin tampil beda dengan FIB lain, sudahkah terpikirkan risiko yang muncul kemudian. Misalnya, dengan hanya mengandalkan tenaga dari intelektual berbasis empiris, mampukah nantinya FIB di Lampung menjalin kerja sama dengan para pendahulunya itu, yang meskipun concern-nya pada kebudayaan daerah, yaitu Jawa, tetapi juga mengutamakan kematangan pendidikan para pengajarnya.

Link and match yang saya pahami sebagai upaya awal untuk menyerap dasar-dasar pendirian FIB, bisa sekaligus dimanfaatkan untuk menatar para calon dosen yang berpengetahuan umum menjadi berpengetahuan khusus mengenai kelampungan, misalnya, aksara kaganga. Terlebih, hal mengenai guru bahasa Lampung yang nyaris kehilangan posisi, agaknya bisa dijawab dengan tercetusnya ide pendirian FIB. Ditambah lagi, sebelumnya LPPM IAIN Raden Intan Lampung telah memulai workshop mengenai manuskrip Lampung.

Perlu diingat gagasan perlunya pendirian FIB di Lampung ini bermula dari dikembalikannya naskah-naskah kuno yang semula disimpan oleh pihak Belanda. Jadi, saya pikir semangat yang ditularkan oleh pihak Erasmus harus diteruskan selurus-lurusnya, dengan mengutamakan penelitian atas naskah yang ada agar peradaban masa lalu Kota Siger ini terungkap, serta ada kesatuan visi dari semua pihak terkait.

Akhirnya, saya ingin mempertanyakan ke arah mana FIB ini akan dibawa. Apakah FIB yang berbasis ilmu murni atau pendidikan. Jangan sampai nantinya terjadi tumpang tindih antara FIB yang umumnya di dalamnya termasuk program sastra dengan FKIP Bahasa Indonesia yang berbasis keguruan.

Perlu ada pemisahan yang jelas di antara keduanya. Bila hanya mengkerdilkan FIB dengan fungsi empiris, tidak perlu sampai membangun fakultas baru. Gabungkan saja ke fakultas yang sudah ada dalam subjek peminatan baru. Sebab, ada perbedaan antara budaya sebagai ilmu dan budaya sebagai warisan. n

Destaayu Wulandari, Alumnus FIB Universitas Diponegoro, tinggal di Lampung

Sumber: Lampung Post, Kamis, 20 Maret 2014

No comments:

Post a Comment