March 9, 2014

[Perjalanan] Desau Napas Hutan Way Kambas

Oleh Rinda Mulyani dan Agus Susanto

Menjaga hutan Way Kambas memang bukan perkara mudah. Namun, apakah paru-paru dunia ini akan kita biarkan sekarat karena ketidakpedulian?

Taman Nasional Way Kambas
SUARA tonggeret mengisi udara hutan seluas 125 ribu hektare itu tanpa jeda. Kicau burung, pekik siamang, dengus babi, teriakan gajah, bahkan seringai macan kadang mengisi senyap. Juga obrolan empat anggota Rhino Protection Unit (RPU) Taman Nasional Way Kambas yang sedang patroli suatu siang.


Namun, suara manusia di tengah belantara itu menjadi sesuatu bagi beberapa manusia lain yang mencari peruntungan ilegal di hutan kawasan itu. Kekagetan itu menghadirkan gerak refleks seorang dalam kondisi kepepet. Dan, “Dor! dor! dor!...” senjata mouser rakitan yang sudah dalam keadaan terkokang itu menyalak keras membelah angkasa.

Berikutnya, baku tembak berlangsung antara tim patroli dan kawasan pemburu liar. “Satu anggota kami tertembak di kaki. Mereka pakai senjata laras panjang jenis mouser rakitan. Bekas pelurunya kecil di depan, tetapi di tembusannya menganga,” kata Dedi Chandra, dokter hewan dari Sumatera Rhino Sactuary (SRS) Way Kambas, menceritakan insiden itu, Selasa pekan lalu.

Menurut dia, kejadian beberapa bulan lalu itu merupakan pengalaman pahit yang dialami rekannya selama menjelajah hutan Way Kambas. Di hutan ini, bertemu binatang buas seperti harimau, beruang, dan gajah jauh lebih beruntung dibandingkan pemburu liar.

Beberapa kejadian membuktikan para pemburu liar dilengkapi dengan senapan rakitan, tombak beracun, dan puluhan anjing yang siaga menyerang korban. Jika bertemu dengan rombongan lain, tidak peduli tim patroli Polisi Kehutanan, RPU atau peneliti, para pemburu tidak segan-segan memberondongkan peluru.

“Sekarang, kalau RPU mau patroli, minimal harus ditemani satu polisi hutan yang bawa senapan. Kami juga melengkapi diri dengan kamera sebagai dokumentasi atau barang bukti,” ujarnya.

Perambahan dan pemburu liar memang menjadi tantangan terbesar menjaga kelestarian hutan kawasan ini. Banyak hewan langka yang menjadi sasaran para pemburu liar. Selain membunuh gajah untuk diambil gadingnya, para pemburu juga kerap membunuh rusa, dan menangkap burung-burung langka untuk dijual dengan harga mahal. Pembalakan liar juga kerap terjadi di hutan terlarang ini.

Dugaan keterlibatan orang dalam atau beking oknum aparat dalam beberapa kasus pembalakan liar bukan isapan jempol. Suatu ketika tim telah siaga mengepung, tiba-tiba harus mundur teratur saat ada teriakan “konco dewe (teman sendiri).”

Syukurnya, kondisi sudah berubah. Dalam beberapa tahun terakhir, polres bekerja sama dengan Polhut menindak siapa pun yang terindikasi melakukan pencurian kayu dan perburuan hewan. “Oknum itu dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan internal sendiri,” kata dia.

Humas Taman Nasional Way Kambas Sukatmoko mengatakan pemburu liar memang menjadi musuh utama dalam menjaga kelestarian hutan alami ini. Area hutan Way Kambas seluas 125 ribu hektare ini sangat terbuka, bisa diakses dari berbagai penjuru. Hutan ini dikelilingi laut dan dilewati sungai-sungai besar sehingga sulit mengontrol pintu masuk para pencuri atau perambah menelusup kedalam hutan.

“Kami punya 12 resort. Ada petugas yang dibantu polisi kehutanan dan 220 masyarakat yang diangkat menjadi pasukan swaskarsa (pamswakarsa) untuk menjaga hutan ini. Tapi, semua itu tidak mungkin bisa mengawasi hutan yang sangat terbuka ini. Sebenarnya yang paling penting itu adalah kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan ini bersama-sama,” kata Sukatmoko.

Namun, Sukatmoko bersyukur beberapa tahun terakhir ini polisi kehutanan bersama Polres Lampung Timur berhasil menurunkan para perambah dan juga menindak tegas para pemburu liar termasuk oknum-oknum aparat yang terlibat di dalamnya.

“Pencuri itu tidak mungkin habis semuanya, tapi setidaknya beberapa tahun belakangan ini sudah sangat berkurang. Boleh dibilang, persentasenya sangat kecil,” ujar Sukatmoko.

Bahkan, dia mengaku feeding ground (tempat mencari makan) bagi hewan-hewan hutan seperti harimau, gajah, tapir, badak, dan lainnya sudah tersedia cukup banyak. Area bekas perambahan ditanami kembali dengan kayu-kayu keras meranti, merbau, dan nibung. Kini tantangan yang tengah mereka antisipasi adalah kebakaran hutan dan kerusakan tanaman oleh gajah-gajah yang turun ke perkampungan penduduk.

Spekta Alam Way Kambas

Statement Sukatmoko cukup bisa dibuktikan. Lampung Post didampingi petugas Polhut sempat menjajal trip alas suaka itu menyusuri sungai yang membelah kawasan, yakni Way Kanan menuju Kalibiru yang jika diteruskan bermuara ke laut di pantai timur. Spektakulasi kawasan ini sesungguhnya bisa dijadikan objek wisata terbatas, yakni bagi wisatawan peminat lingkungan dengan pengawalan khusus.

Sepanjang perjalanan menuju kamp Way Kanan, hutan berdesau oleh angin darat. Spekta pemandangan hutan alami menjadikan perjalanan panjang menuju hutan tidak terasa.

Dalam kawasan ini terdapat sungai panjang yang bermuara ke laut Jawa. Beberapa lokasi yang cukup menakjubkan antara lain Kali Biru, Kuala Wako, dan Kuala Kambas. Di pinggir sungai tumbuh berbagai vegetasi alami, seperti rengas, nibung, meranti, dan sejuta tumbuhan liar lain.
Muhammad Budi Wiyono, salah satu petugas TNWK yang kerap mengantarkan para peneliti atau peninjau berkeliling di sungai Way Kanan, siang itu mengantarkan tim Lampung Post menyusuri sungai dengan kedalaman 17 meter itu.

Cerita tentang sungai yang menjadi habitat buaya ini sempat menciutkan nyali. Buaya adalah nama satwa yang sempat membuat hati berdegub. Tetapi, feeding ground (sediaan makanan) yang baik di habitat ini, kata Mamat, sapaan Muhammad Budi Wiyono, menjaga buaya selalu kenyang sehingga tidak pernah menyerang manusia. Kondisi inilah yang membuat kami lega untuk menelusuri sungai sampai sore hari.

Kami melaju diatas speed boat kecil bermuatan delapan penumpang. Sepanjang perjalanan, setiap mata awas menjelajahi pinggir sungai. Tujuannya cuma satu, menangkap fragmen kehidupan alam liar.

Namun, selama setengah jam menelusuri Sungai Way Kanan sampai Kali Biru, kami hanya menikmati pesona alam, vegetasi tanaman, dan beberapa burung yang terbang di atas kepala kami. Sempat beberapa kali riakan cukup besar di pinggir sungai membuat tersentak. “Buaya!”. Tapi, tidak tampak wujud monster sungai itu, kami kembali menikmati percik air akibat speed boat yang melaju kencang.

Sampai di Kali Biru, kami turun ke kamp yang sudah hancur dirusak gajah. Di sana hanya tersisa arang bekas manusia membakar kayu. “Ini dulu kamp kami. Kalau sedang patroli, ya tidur di sini,” ujar Mamat.
Selain di kamp Kali Biru, para petugas sering patroli di Kuala Wako yang terkenal dengan habitat bebek hutan, serta Kuala Kambas yang merupakan habitat tapir. Tapi, wisata alam memang tidak bisa dipredikasi, terkadang bagi pengunjung yang beruntung bisa bertemu dengan hewan-hewan langka yang hidup di hutan Way Kambas. Namun, ada kalanya perjalanan panjang dilalui tanpa pertemuan yang diharapkan.
Menjelang sore, kami memutuskan memutar arah speed boat balik ke kamp Way Kanan. Mata kami tak seawas sebelumnya, selama perjalanan kami mengakrabkan diri dengan senda gurau. Tiba-tiba, seorang teman berteriak, “Itu buaya!”.

Kali ini penguasa sungai itu menampakkan dirinya seolah sengaja melepas penasaran kami tentang keberadaan mereka. Buaya itu tidur di atas sebatang pohon tumbang yang memanjang ke arah sungai. Sayang, momen itu terlalu cepat, speed boat melaju kencang berkejaran dengan senja.

Sesampainya di kamp, kami segera bergegas untuk keluar kawasan. Di beberapa titik sepajang jalan masuk ke lokasi berceceran kotoran gajah yang mulai kering. Ini menandakan jalan tersebut merupakan perlintasan kelompok gajah Way Kambas. Artinya, kami harus segera keluar dari kawasan itu sebelum gelap merapat. Sebab, pada malam hari kawasan ini menjadi milik para penghuni rimba. (M1)


Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Maret 2014

No comments:

Post a Comment