March 23, 2014

[Lampung Tumbai] Orang Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda

Gadis-gadis di Kampung Besar, Gunungsugih,
Lampung, 1901 (KITLV, Leiden)
KEDUDUKAN sosial yang tinggi sangat penting bagi orang Lampung dan dianggap berkaitan erat dengan harga diri seseorang. Banyaknya orang yang bergelar eatoe, dalem, pangherang, dan eadjah merupakan petunjuk betapa pentingnya hal itu walaupun saya sendiri menyangsikannya.

Menurut F.G. Steck, gelar-gelar itu dapat diperoleh dengan menyumbangkan sejumlah uang dan menyembelih beberapa ekor kerbau. Gelar itu, kata dia, dengan nama baru pula, seolah-olah dapat digunakan untuk menghapuskan kedudukan sosial yang lebih rendah di masa lalu seseorang.


Kegemaran mengubah nama itu tidak hanya berlaku bagi nama diri, tetapi juga bagi nama dusun, sungai, dan tempat-tempat lain. Dalam penelitian yang dilakukannya pada 1853—1854, ternyata nama berbagai sungai dan sebuah kampung—yang dicatatnya pada tahun 1847—telah berubah.

Runyamnya, tidak semua perubahan nama itu dilaporkan kepada yang berwenang sehingga nama tempat di peta terkadang tidak dapat lagi ditemukan, bukan hilang atau ambles ditelan bumi, tetapi berganti nama. 

Anehnya, kecenderungan ini ternyata masih disukai dan dilakukan sampai sekarang. Barangkali bukan hanya diriku yang sudah sering ke Tanjungkarang, tetapi belum pernah ke Bandar Lampung. Hal ini tampaknya tidak hanya terjadi di Lampung. Mengapa? Walahuallam.

Orang Lampung ramah-tamah. Pergaulan diatur dengan tata-cara sopan santun yang ketat. Menurut Steck, orang yang melanggar tata cara itu—pun secara tidak sengaja—dikenai denda.

Sayangnya, ia tidak memberikan contoh pelanggaran atau pun jumlah yang dijatuhkan. Seandainya orang yang melanggar aturan itu adalah pendatang (yang tidak tahu-menahu perihal adat setempat), keluarga yang menampungnya sebagai tuan rumah ikut menanggung denda yang dijatuhkan.

Orang Lampung juga jujur. Dalam perdagangan, terkadang terjadi penipuan, tetapi dalam konteks ini, hal itu bukanlah dianggap sebagai ketidakjujuran, melainkan sebagai kelihaian berdagang. Bila taktiknya tidak berhasil, ia bahkan akan menggerutu, menyesali dirinya yang kalah lihai dibandingkan lawannya.
Generasi muda Lampung bergaul tanpa banyak aturan. Pemuda-pemuda Lampung tampak selalu siap menjadi pahlawan dan menyingsingkan lengan demi gadis-gadis yang diincarnya. Sikap perkasa seperti ini tidak diamati oleh F.G. Steck di daerah-daerah lain di Nusantara. Lagak ini pula yang barangkali menyebabkan orang Lampung begitu memperhatikan penampilan mereka dengan berdandan dan berhias. Bahkan, orang-orang tua pun masih menganggapnya penting.

Konon, orang Lampung merupakan salah satu penduduk pertama di Pulau Sumatera. Di masa kekuasaan Kesultanan Banten, Lampung didatangi oleh orang Sunda. Sebagian datang karena memang tertarik tinggal di daerah itu; sebagian lagi terpaksa pindah karena dikucilkan ke Lampung. Oleh karena itulah, terkadang tampak pengaruh kebudayaan Sunda dalam kehidupan orang Lampung.

Banyak orang dari daerah lain tinggal di daerah pantai dan pusat-pusat perdagangan Lampung. Pendatang-pendatang itu, terutama berasal dari Bugis, Linga, dan berbagai suku bangsa dari Pulau Jawa. Orang China hanya ada di daerah Telok Betoeng dan Menggala.

Orang Lampung sendiri jarang pindah-pindah. Hanya penduduk yang tinggal di perbatasan dengan Palembang sesekali melakukannya. Hal ini barangkali lebih sering terjadi di daerah ini karena di masa lalu, Distrik Toelang Bawang di Lampung dan Distrik Kommering Oeloe di Residensi Palembang merupakan satu wilayah. Penduduk di kedua distrik itu tidak hanya mempunyai kesamaan adat dan kebiasaan, tetapi juga berkerabat satu sama lain.

Orang Lampung membangun rumah bergaya khas di atas tiang. Rumah orang yang berada terbuat sepenuhnya dari kayu dengan atap sirap. Bagian depan rumah-rumah panggung itu berhiaskan ukir-ukiran dengan warna-warna yang menarik. Bagian dalamnya ditata dengan sederhana.

Sebuah ruangan besar terdapat di bagian depan. Di kiri-kanannya, atau di satu sisi saja, terdapat kamar-kamar yang lebih kecil untuk anggota-anggota keluarga yang sudah menikah. Di bawah atap, sering dipasangkan semacam lantai tambahan yang kecil saja, cukup untuk menjadi tempat tidur anak-anak gadis.
Lantai tambahan itu juga digunakan untuk menyimpan peralatan dan barang-barang kebutuhan rumah tangga serta bebuahan. Di bagian belakang rumah terdapat ruangan yang berfungsi sebagai dapur dan wilayah kerja kaum perempuan di dalam keluarga.

Biasanya pintu-pintu di rumah panggung itu teramat kecil dan sempit. Jendela-jendelanya pun kecil sekali dengan bukaan yang tidak lebih besar dari kepala seorang lelaki dewasa. Terkadang, sebuah lubang angin dibuat di atap. Ini memungkinkan sinar matahari menerangi bagian dalam rumah yang sering terkesan gelap.
Bagi F.G. Steck—yang terbiasa dengan iklim Belanda yang jarang dikaruniai matahari—hal ini agak mengherankan. Barangkali ia tidak terpikir di alam Lampung—dengan matahari berlimpah—orang cenderung berusaha membangun rumah sedemikian rupa (dengan pintu dan jendela kecil) supaya hawa panas tidak sampai masuk ke rumah.

Ruang di bawah tiang-tiang rumah acap tertutup dengan tumpukan kayu-kayu yang sudah dipotong kecil-kecil. Kayu-kayu itu digunakan untuk masak di dapur. Ruang-ruang yang terbentuk oleh tumpukan kayu bakar itu digunakan sebagai kandang kambing, ayam, dan bebek. Biasanya dusun-dusun di Lampung dibangun berdekatan dengan sebuah sungai sehingga sepanjang tahun penduduknya tidak pernah kekurangan air untuk minum, mandi, ataupun keperluan lain.

Di mata F.G. Steck, dusun-dusun Lampung hampir tidak ditata sama sekali. Setiap orang tampaknya membangun rumahnya di sembarang tempat—sesukanya sendiri. Hal ini aneh bagi Infanteri Belanda itu, karena di negerinya desa dan kota dibagi-bagi ke dalam wilayah permukiman, tempat usaha, dan arena umum. Walaupun sepertinya tidak tertata, setiap dusun memiliki sebuah alun-alun dan hampir semua rumah dibangun menghadap alun-alun itu.

Di tengah-tengah alun-alun itu terdapat balai-balai, sebuah bangunan berbentuk persegi panjang. Bangunan itu digunakan sebagai tempat penyelenggaraan rapat tetua, musyarawah dusun, dan pesta-pesta adat. Tempat itu juga digunakan sebagai penginapan bagi orang-orang yang kemalaman di jalan.

Pohon-pohon buah tidak banyak, tetapi sering penduduk menanam banyak pohon kelapa di sekitar rumah di setiap dusun. Sejak beberapa tahun sebelum Steck menuliskan laporannya, orang Lampung juga mulai banyak menanam pohon kopi yang tumbuh subur di sekitar rumahnya. n

Acuan Pustaka:
F.G. Steck (Kapten Infanteri). Topographische en Geographische Beschrijving des Lampongsche Distrikten dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie deel 4. Amsterdam, Batavia: Frederik Muller, G. Kolff. 1862.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Maret 2014

No comments:

Post a Comment