March 9, 2014

[Lampung Tumbai] Malu Bertanya Sesat di Jalan

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukin di Belanda

BANYAK sungai di Lampung memang memudahkan mobilitas penduduknya. Itu tidak berarti bahwa tak ada jalan di darat. Daerah dataran rendah, yang sering terendam sama sekali pada waktu musim hujan, memiliki jalan-jalan setapak yang berkondisi jelek. Tidak mengherankan bahwa jalan-jalan itu tidak terlalu diperhatikan karena lalu-lintas air lebih mudah dan praktis digunakan oleh penduduk daerah itu.

Patroli Infanteri 11 di Telukbetung, 1949 (Gahetna.nl)
Di daerah dataran tinggi, lebih banyak jalan. Di sini pun keadaannya tidak terlalu bagus. Biasanya jalan-jalan (setapak) itu melewati umbul (permukiman sementara di ladang) yang terdapat di antara dua dusun yang lebih besar. Namun, sistem peladangan berpindah yang dilakukan di Lampung menyebabkan jalan setapak itu digunakan selama dua-tiga tahun saja.


Ketika ladang baru dibuka, dibangun pula umbul baru dan jalan baru pula. Jalan lama yang semula digunakan dibiarkan telantar dan dalam waktu singkat sudah tertutup lagi oleh ilalang dan semak belukar.

Kawanan gajah dan badak yang masih banyak di rimba Lampung membantu merusak jalan-jalan itu. Walaupun adanya jalan setapak mempermudah gerak mereka, tampaknya binatang-binatang itu suka sekali merusak jembatan dan tanggul. Jembatan, yang jumlahnya memang hanya sedikit, menjadi semakin tidak berarti. Satu-satunya jembatan yang bertahan (dan dipertahankan) adalah jembatan di jalan raya antara Telukbetung dan Menggala.

Jalan ini membentang sepanjang 155.484 km. Kondisinya baik dan menurut F.G. Steck dapat dilalui pasukan-pasukan yang membawa senjata dan peralatan apa pun. Satu kali setahun Pemerintah Hindia-Belanda merawat jalan itu. Kerusakan-kerusakan kecil biasanya diperbaiki oleh penduduk dusun-dusun di sekitarnya.

Di dusun-dusun itu selalu ada yang bersedia menampung orang yang hendak menginap semalam atau dua. Di sana pula kuda-kuda Infanteri dapat dititipkan untuk beristirahat. Ada beberapa jembatan di jalan ini, tetapi keempat buah sungai besar yang melintasinya harus diseberangi menggunakan ponton.

Selain jalan raya ini, banyak jalan yang sejak zaman entah sudah menghubungkan dusun yang satu ke yang lain. Jalan-jalan ini sebetulnya cukup lebar: 3,6 meter. Bila dibersihkan dari tetumbuhan liar, jalan-jalan itu dengan mudah dapat dilalui oleh kuda. Akan tetapi, kerap jalan-jalan itu tertutup batang-batang pohon yang tumbang, alang-alang, dan tertutup lumpur oleh banjir sehingga lebih banyak menyerupai jalan setapak di hutan—yang harus dilalui beriringan satu-satu oleh orang-orang yang melewatinya.

Jalan-jalan utama di Lampung sekitar tahun 1860-an, ketika F.G. Steck menuliskan laporannya, ada beberapa: Telukbetung (melalui pantai) ke Tarahan, Tanjungan, Tanjungkari, dan Belantung; Telukbetung ke Sabunarsangi (melalui Kateguhan, Lampasing, Gurung, Gehang, dan Menanga); Telukbetung ke Tiganenang (melalui Negerikatun, Halanganbatu, Negerisipin, dan Negarasaka) serta ke Gunungtetahan melalui Kurunganjawa; Belantung ke arah Palabu, Sumur, dan kaki Gunung Rajabasa; Tarabangi menuju Asahan melalui Lean, Gunungdalam, Sukatanah, Campangpasik, Labuanratu, Tarabangilunei, Jupara, Maringei, Nibong, Negeriagung, dan Kotabesi; Tarabangi sampai ke Katunhilir melalui Pengabuan; dari Gunungsugih menuju Segalameda (melalui Seputih); jalan dari dusun Blimbangan menuju Bumiagung (melalui Punguk, Tulangbawang, Kotabumi Besai, dan Karangan). Di Karangan, jalan ini memecah dua: satu menuju ke Palembang dan satu lagi menuju ke Negararatu, Gedongbatin, dan Pulauayu di tepian Sungai Umpu.

Barang kali ada pembaca yang berpikir buat apa segala nama dusun dan kampung itu dicantumkan satu per satu? Pertama, saya tercengang sedikit menyadari perincinya catatan Infanteri Belanda ini. Tentunya catatan perinci seperti itu (bahkan lebih perinci lagi) dimiliki oleh Infanteri Tentara Nasional Indonesia kita (tapi catatan mereka tidak terbuka untuk umum).

Kedua, saya terpesona oleh keindahan nama-nama dusun dan kota di Lampung. Bayangkan! Ada Telukbetung (masih adakah betung-betung atau bambu besar di sana?); ada Halanganbatu di dekat Negerisipin (siapakah Sipin itu dan mengapa ada halangan batu di dekatnya?); ada Kurunganjawa, Gunungsugih, Bumiagung; ada Nagararatu, Gedongbatin, dan Pulauayu.

Alangkah imajinatifnya nama-nama itu! Pastilah semua tempat itu menyimpan cerita rakyat yang teramat menarik. Adakah pembaca yang tertarik mencari dan mendokumentasikan cerita-cerita itu? Ketiga, daftar nama-nama tempat itu membuktikan bahwa dusun dan kota itu sudah ada pada 1862, bahkan barangkali sudah ada jauh sebelum itu. Sejarah perkembangan pemukiman di Nusantara belum cukup banyak dikaji walau topik itu sebetulnya sangat menarik.

Selain jalan raya (yang menurut F.G. Steck bagus sekali digunakan untuk aksi-aksi militer) dan jalan setapak antardusun, juga ada jalan-jalan setapak yang menghubungkan titik-titik di antara dua jalan raya atau lebih. Jalan-jalan setapak penghubung ini sering berliku-liku keluar-masuk hutan dan turun-naik gunung sampai masuk ke distrik yang lain.

Semak dan ilalang menyembunyikan jalan-jalan setapak itu. Seorang yang berjalan sendirian akan sulit menemukan dan membuka kembali jalan itu. Tanpa bantuan seorang pemandu, setiap orang yang tidak mengenal daerah itu pasti akan tersesat. Pasukan Infanteri takkan mungkin dapat baris-berbaris melewati jalan seperti itu tanpa terlebih dulu membersihkannya.

Ada lagi jalan-jalan setapak yang sifatnya sementara. Jalan-jalan ini digunakan untuk pergi ke dan dari umbul. Ketika di umbul ada kegiatan pertanian (menyemai dan panen), jalan-jalan itu terawat baik. Akan tetapi, setelah panen usai dan sang petani membuka ladang/umbul di tempat baru, jalan-jalan itu ditinggalkan dan dibiarkan telantar sampai menghilang ditelan rimba.

Di tepian sungai biasanya juga ada jalan setapak. Namun, jalan-jalan ini pun menghilang pada musim hujan karena tenggelam di dalam air sungai yang melimpah. Kedua jalan setapak di atas dianggap Steck tidak cocok untuk dilalui pasukan-pasukan Infanteri Hindia-Belanda. n

Acuan pustaka:
F.G. Steck (Kapten Infanteri). Topographische en Geographische Beschrijving des Lampongsche Distrikten dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indiƫ deel 4. Amsterdam, Batavia: Frederik Muller, G Kolff. 1862.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Maret 2014

No comments:

Post a Comment